Kamis, 28 Februari 2013

TEORI KONSELING TERAPI REALITAS


Konseling realitas merupakan model konseling yang termasuk kelompok konseling cognitive-behavioral (perilaku-kognitif). Fokus terapi konseling realitas adalah problema kehidupan yang dirasakan oleh klien saat ini, dan dilaksanakan melalui interaksi aktif antara konselor dan klien. Dalam hal ini konselor mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan klien memberi jawaban sebagai respons terhadap pertanyaan konselor. Berkenaan dengan hal tersebut maka keterampilan bertanya merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh konselor realitas.
Tokoh utama model konseling realitas adalah seorang psikiater, yaituDr.William Glaser dengan dasar teorinya adalah “teori pilihan” untuk memenuhu atau memuaskan kebutuhan dasar manusia yang bersifat universal secara bertanggungjawab. Teori ini meupakan pengembangan dari “teori Pengendalian”. Ide dasarnya adalah bahwa terlepas dari apa yang telah terjadi pada manusia, apa yang telah dikerjakan oleh manusia, dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan manusia tidak terpenuhi atau dilanggar, manusia mampu mengevaluasi realitas terkini dan kemudian memilih perilaku untuk memenuhi kebutuhan secara efektif pada masa kini dan masa yang akan datang (manusia dapat memudarkan pengalaman masa lalu, dan kemudian memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan masa kini dengan perilaku yang bertanggungjawab).
TEORI DAN KONSELING DASAR
Teori dasar konseling realitas adalah “teori pilihan” yang menjelaskan bahwa manusia berfungsi secara individu, dan juga berfungsi secara sosial (kelompok atau masyarakat) dengan pilihan perilaku efektif yang bertanggungjawab.
Perilaku manusia termotivasi oleh karena faktor internal dan terpilih, yaitu bahwa perilaku manusia termotivasi oleh kebutuhan manusia yang bersifat universal dan perlu pemenuhan dengan pilihan perilaku efektif yang bertanggung-jawab. Perilaku ada disini dan saat ini—here and now (realitas terkini).
Lima Prinsip Utama Teori Pilihan :
  1. Kebutuhan Dasar Manusia
Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat universal, yaitu kebutuhan dasar : (1) kelangsungan hidup atau pemeliharaan diri—kesehatan dan reproduksi, (2) cinta dan kepemilikan—termasuk relasi/keterhubungan dengan orang lain, (3) Harga diri atau martabat atau kekuatan/kekuasaan, (4) kebebasan/ kemerdekaan membuat pilihan, dan (5) kesenangan, kegembiraan, atau kebahagiaan.
Kelima kebutuhan dasar tersebut bukan merupakan hierarki dan kebutuhan dasar saat ini yang belum terpenuhi merupakan problema (konflik) yang perlu dipenuhi melalui pilihan perilaku (prioritas) dengan cara yang spesifik.
  1. Dunia Berkualitas
Manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar yang belum terpenuhi saat ini (problema/konflik) dengan pilihan perilaku yang spesifik dan unik. Hal in terkait dengan realitas bahwa pada/dalam diri manusia terdapat hasrat-hasrat atau keinginan-keinginan spesifik dan unik untuk memenuhi kebutuhan sebagai “album foto batin” yang berisi gambaran atau simbol-simbol orang, tempat, benda, keyakinan, nilai dan ide yang penting atau spesial dan memiliki kualitas bagi manusia dan dapat dipilih—disebut sebagai dunia berkualitas.
  1. Frustasi
Perbedaan antara kebutuhan dan keyakinan yang dirasakan menimbulkan frustasi yang mendorong perilaku yang spesifik dan unik untuk mengatasinya. Perilaku spesifik dan unik tersebut merupakan upaya/usaha terbaik untuk menutup celah antara kebutuhan yang diinginkan dan kenyataan yang dirasakan sebagai totalitas fisiologi, pikiran, perasaan dan tindakan.
  1. Perilaku Total
Totalitas yang tak terpisahkan antara fisiologi, pikiran, perasaan dan tindakan/perbuatan merupakan perilaku total manusia. “ibarat mobil bagian depan mewakili pikiran dan tindakan, sedang bagian belakangnya mewakili fisiologi dan perasaan.” Dalam proses bertindak/berperilaku kendali ada pada pikiran dan tindakan. Sedangkan fisiologis dan perasaan secara otomatis akan mengikuti. Perubahan pikiran dan tindakan disesuaikan dengan kenyataan yang dihadapi oleh manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan saat ini dan disini—rencana tindakan yang realistis melalui pengubahan pikiran dan tindakan agar perilakunya efektif.
  1. Persepsi dan “Realitas Terkini”
Realitas terkini merupakan persepsi manusia/klien terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Terkait dengan hal tersebut maka merupakan hal yang penting dalam konseling realitas adalah konselor membantu klien untuk membentuk realitas terkini dengan cara : (1) memahami realitas terkini klien dan membantu mengevaluasinya, kemudian (2) menemukan pilihan perilaku yang realistis yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan secara lebih efektif.
Namun demikian konseling realitas tidak mengabaikan pengalaman masa lali klien. Memiliki informasi riwayat masa lalu klien menjadikan konselor memahami luas, dalam dan jangka waktu problema yang dihadapi oleh klien, serta ketika klien mungkin mengalami kebahagiaan atau perilaku yang lebih efektif, sebagai dasar membantu pemecahan problema saat ini dan disini.
STRATEGI KONSELING
Ada dua strategi konseling realitas, yaitu membangun relasi atau lingkungan konseling dan prosedur WDEP (Want, Doing and Direction, Evaluation, Planning) sebagai suatu sistem yang fleksibel pelaksanaannya.
  1. Want (keinginan) : langkah mengeksplorasi keinginan yang sebenarnya dari klien—ingat pada umumnya manusia membicarakan hal-hal yang tidak diinginkan—. Konselor memberikan kesempatan kepada klien untuk mengeksplorasi tentang keinginan yang sebenarnya dari dengan bertanya (mengajukan pertanyaan) bidang-bidang khusus yang relevan dengan problema atau konfliknya : misalnya teman, pasangan, pekerjaan, karir, kehidupan spiritual, hubungan dengan atasan dan bawahan, dan tentang komitmennya untuk memenuhi keinginan itu.
  2. Doing and Direction(melakukan dengan terarah) : langkah dimana klien diharapkan mendeskripsikan perilaku secara menyeluruh berkenaan dengan 4 komponen perilaku—pikiran, tindakan, perasaan dan fisiologi yang terkaait dengan hal yang bersifat umum dan hal bersifat khusus. Konselor memberi pertanyaan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dilakukan, dan keadaan fisik yang dialami untuk memahami perilaku klien secara menyeluruh dan kesadarannya terhadap perilakunya itu.
  3. Evaluation (Evaluasi) : evaluasi diri klien—merupakan inti terapi realitas. Klien di dorong untuk melakukan evaluasi terhadap perilaku yang telah dilakukan terkait dengan efektifitasnyadalam memenuhi kebutuhan atau keinginan—membantu atau bahkan menyulitkan, ketepatan dan kemampuannya, arah dan keterarahannya, persepsinya, dan komitmennya dalam memenuhi keinginan serta pengaruh terhadap dirinya. Pertanyaan tentang hal-hal yang bersifat evaluasi “diri” disampaikan dengan empatik, kepedulian, dan penuh perhatian positif.
  4. Planning (rencana) : klien membuat rencana tindakan sebagai perilaku total dengan bantuan konselor. Dalam membantu klien membuat rencana tindakan, konselor mendasarkan pada kriteria tentang rencana yang efektif, yaitu : (1) dirumuskan oleh klien sendiri, (2) realistis atau dapat dicapai, (3) ditindak lanjuti dengan segera, (4) berada di bawah kontrol klien, tidak bergantung pada orang lain— tindakan bertanggung jawab.
LANGKAH-LANGKAH KONSELING
  1. Membangun keterlibatan klien dalam proses konseling : konselor membina hubungan dan keterlibatan emosi serta kerjasama klien, dengan cara penyambutan klien, penciptaan hubungan baik, strukturing, mendengarkan keluhan klien, dan mempersetujukan tujuan.
  2. Identifikasi perilaku/tindakan kekinian dan ke-disini-an klien : pengungkapan perilaku/tindakan klien pada saat akhir-akhir ini, dengan cara mengungkapkan perilaku saat ini, keinginan, kebutuhan, dan persepsinya—apa yang dilakukan, bagaimana, waktu/kapan melakukannya dan perasaan terkait dengan perilakunya tsb.
  3. Evaluasi : konselor mendorong klien menilai kerealistikan perilaku/tindakan dengan prinsip reality, right, responsibility dengan cara klarifikasi perilaku sekarang, konfrontasi dengan tujuan hidup dalam hubungannya dengan standar etika, hukum, peraturan sekolah , adat, norma sosial, keluarga, agama.
  4. Pengembangan perencanaan perilaku yang realistik : Konselor mendorong klien untuk menyusun rencana perilaku/tindakan yang realistik sesuai dengan tuntutan lingkungan dan kebutuhan/keinginan, terinci, keterkelolaan, dan konsekuensinya.
  5. Komitmen : membangun motivasi dan kesanggupan klien, dengan cara pemberian harapan keberhasilan, wawasan manfaat, membangun motivasi dan dorongan internal dan kontrak tingkah laku.
  6. Pengakhiran tindakan : melakukan evaluasi dan konsekuensinya bilamana klien gagal melakukan tindakan/perilaku yang direncanakan, dengan cara mendorong klien untuk tidak menolak kegagalan, menyalahkan diri, kecewa, putusasa, dan memikirkan cara baru yang lebih realistis.
CATATAN PENTING
  1. Terapi realitas merupakan kelompok terapi kognitif-behavioral yang bersifat multikultural, menjelaskan “bagaimana manusia berfungsi secara individu dan sosial”
  2. Terapi realitas mendasarkan pada realita bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan yang dibawa sejak lahir dan termotivasi (secara internal) untuk memenuhi/memuaskannya. Oleh karena itu dapat digunakan oleh orang tua untuk anaknya, manajer untuk pegawainya, guru untuk muridnya, suami untuk istri, atau sebaliknya.
  3. Formulasi WDEP dapat diterapkan secara fleksibel untuk konseling kecanduan, kesehatan mental, pendidikan, pekerjaan sosial, peradilan, dan tempat kerja melalui tuntunan motivasi internal “SAYA/AKU INGIN BERUBAH” dengan prinsip reality, right, and responsibility.
  4. Untuk keberhasilan konseling realitas dituntut “konselor yang aktif” yaitu konselor yang kreatif mencari cara untuk menjadi bagian dalam dunia klien yang paling sulit ditembus dan terganggu sekalipun, dengan demikian klien akan membuka diri, mengevaluasi perilakunya, dan membuat perubahan dengan memilih perilaku yang efektif disini dan saat ini—here and now (realitas terkini).
    Teori konseling yang rasional cenderung bersifat ekletif, artinya cenderung untuk menerima berbagai macam tekhnik. Pilihan tekhnik tersebut biasanya berdasarkan akal sehat atau pengalaman konselor atau psikoterapi. Teori konseling yang rasional menaruh banyak tekanan pada “diagniosis”. Williamson menggambarkan bahwa seorang konselor adalah sebagai seorang guru yang menerapkan proses pemecahan masalah di dalam suasana pengajaran individual yang bersifat rasional. Menurut Williomson terdapat 3 (tiga) unsur utama pada tiap teori konseling yaitu :
    1. Tujuan akhir yang ingin dicapai di dalam konseling
    2. Cara-cara yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut
    3. Asumsi-asumsi implisit yang perlu sehubungan dengan hakekat manusia serta perkembangannya sebagaimana dipengaruhi oleh proses konseling dan teknik-tekniknya.

    A. Teori Kepribadian
    Glasser berpandangan bahwa semua manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis. Perilaku manusia dimotivasi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kebutuhan fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan ahli lain, sedangkan kebutuhan psikologis manusia menurut Glasser yang mendasar pada dua macam yaitu: (1) kebutuhan dicintai dan mencintai dan (2) kebutuhan akan penghargaan (George dan Cristiani, 1990). Kedua kebutuha psikologis tersebut dapat digabung menjadi satu kebutuhan yang s,angat utama yang disebut kebutuhan identitas.
    Identitas merupakan cara seseorang melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Anak yang berhasil menemukan kebutuhannya, ytaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan pengthargaan akan mengambangkan diri sebagai orang yang berhasil dan membentuk identitasnya dengan identitas keberhasilan, sebaliknya jika anak gagal menemukan kebutuhannya, akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan membentuk identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity).
    Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya dapat mencari jalan lain, misalnya dengan menarik diri atau bertindak delinkuensi. Menurut Glasser individu yang membangun identitas keggalan tersebut pada dasarnya orang yang tidak bertanggung jawab karena mereka menolak realitas sosial, moral, dunia sekitarnya. Namun demikian identitas kegagalan pada anak ini dapat diubah menjadi identitas keberhasilan asalkan anak dapat menemukan kebutuihan dasarnya.
    Orang yang menemukan gangguan mental menurut kalangan profesional sebenarnya adalah orang yang menolak realitas menurut pandangan Glasser. Penolakan individu terhadap realitas dunia sekitarnya (norma, hukum, sosial dan sebagainya) dapat sebagian saja tetapi dapat pula keseluruhan. Ada dua cra penolakan terhadap realitas itu, (1) mereka mengubah dunia nyata dalam dunia pikirnya agar mereka merasa cocok atau (2) secara sederhana mengabaikan realitas dengan menentang atau menolak hukum yang ada.
    Untuk mengenbangkan identitas .keberhasilan, individu harus mempunyai kebutuhan dasar yang dijumpai; (1) mengetahiu bahwa setidaknya seseorang mencintainya dan dia dicintai setidaknya seseorang (2) memandang dirinya sebagai orang yang berguna selain sebagai cara simultan berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna. Kedua kebutuhan itu (cinta dan berguna) ada pada individu bukan salah satunya.
    Orang tua memegang peranan penting dalam pembentukan identitas individu. Tentunya pihak lain juga sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan identitas ini, diantaranya kelompok sebaya, sekolah, aspek-aspek budaya dan lingkungan sosial lainnya dan setiap saat berinteraksi dan membentuk struktur kognitif anak (Calvin, 1980)
    Sikap cinta dan penghargaan merupakan satu hal yang integral, satu sama lain terkait. Anak yang memperoleh cinta tetapi tidak mendapatkan penghargaan akan menimbulkan ketergantungan yang lain untuk memperoleh pengesahan.
    Pemenuhan kebutuhan atas penghargaan dan cinta itu tidak hanya terjadi pada hubungan orangt tua dan anak saja dapat pula dipenuhi dalam hubunngan yang lain, seperti hubungan guru dan siswa, hubungan dengan teman-temannya Dsb. Semua itu berakibat kumulatif kepada anak, yaitu membentuk identitasnya dengan identitas keberhasilan atau kegagalan.
    Konseling realitas sebagian besar memandang individu pada perilakunya, tetapi berbeda dengan behavioral yang melihat perilaku dalam kontex hubungan stimulus respon dan beda pula dengan pandangan konseling berpusat pada person yang melihat perilaku dalam konteks fenomenologis. Perilaku dalam pandangan konseling realitas adalah perilaku dengan stadar yang objektif yang dikatakan denga ”reality”.

    B. Perilaku Bermasalah
    Reality therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas.
    Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
    Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”.
    Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubaha cara hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku.
    Maka jelaslah bahwa terapi realitas yidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memilkiki tanggung jawab untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.


    C. Ciri-Ciri Terapi Realitas
    Sekurang-kurangnya ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut.
    1. Terapi Realitas Menolak Konsep Tetang Penyakit Mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat dari ketidak bertanggung jawaban. Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis.
    2. Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah- laku sekarang.
    3. Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan dating.
    4. Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yan g membantu kegagalan yang dialaminya.
    5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang trasferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Glasser (1965) menyatakan bahwa para klien tidak mencari suatu pengulangan keterlibatan dimasa lampau yang tidak berhasil, tetapi mencari suatu keterlibatan manusiawi yang memuaskan dengan orang lain dalam keberadaan mereka sekarang.
    6. Terapi realitas menekankan asapek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran. Terapi realitas menandaskan bahwa menekankan ketaksadaran berarti mengelak dari pokok masalah yang menyangkut ketidak bertanggung jawabana klien dan memaafkan klien atas tindakannya menghindari kenyataan.
    7. Terapi realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapeutik.
    8. Terapi realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser (1965, hlm. 13) mendefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”.
    Glasser (1965) menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti dalam terapi realitas.

    D. Hakikat Manusia
    Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasrkan koseling realitas ini berdasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut;
     Perilaku manusia didorong oleh usaha untuk menemukan kebutuhan dasarnya baik fisiologis maupun psikologis. Kebutuhan dasar ini berlaku sama untuk semua orang. Kebutuhan dasar seseorang adalah (a). Kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, (b). Kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna untuk diri sendiri dan orang lain.
    Y
     Jika individu frustasi karena gagal memperoleh kepuasan atau tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dia akan mengembangkan identitas kegagalan.
    Y
     Individu pada dasarnya memiliki kemampuan untuk mengubah identitasnya dari identitas kegagalan ke identitas keberhasilan.
    Y
     Faktor tanggung jawab adalah sangat penting pada manusia.
    Y
     Faktor penilaian individu tentang dirinya sangat penting untuk menentukan apakah dirinya termasuk memiliki identitas keberhasilan atau identitas kegagalan.
    Y

    E. Tujuan Konseling
    Secara umum tujuan konseling reality therapy sama dengan tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan success identity. Untuk itu dia harus bertanggung jawab, yaitu memiliki kemampuan mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personalnya.
    Reality therapy adalah pendekatan yang didasarkan pada anggapan tentang adanya satu kebutuhan psikologis pada seluruh kebutuhannya; kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan untuk merasa unik terpisah dan berbeda dengan orang lain. Kebutuhan akan identitas diri merupakan pendorong dinamika perilaku yang berada di tengah-tengah berbagai budaya universal.
    Kualitas pribadi sebagai tujuan konseling realitas adalah individu yang memahami dunia riilnya dan harus memenuhi kebutuhannya dalam kerangka kerja. Meskipun memandang dunia realitas antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat berbeda tapi realitas itu dapat diperoleh dengan cara membandingkan dengan orang lain. Oleh karena itu, konselor bertugas membantu klien bagaimana menemukan kebutuhannya dengan 3R yaitu right, responsibility dan reality, sebagai jalannya.
    Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, karakteristik konselor realitas adalah sebagai berikut:
    1. konselor harus mengutamakan keseluruhan individual yang bertanggung jawab, yang dapat memenuhi kebutuhannya.
    2. Konselor harus kuat, yakin, tidak pernah ”bijaksana”, dia harus mampu menahan tekanan dari permintaan klien untuk simpati atau membenarkan perilakunya, tidak pernah menerima alasan-alasan dari perilaku irrasional klien.
    3. konselor harus hangat, sensitif terhadap kemampuan untuk memahami perilaku orang lain
    4. konselor harus dapat bertukar fikiran dengan klien tentang perjuangannya dapat melihat bahwa seluruh individu dapat melakukan secara bertangung jawab termasuk pada saat-saat yang sulit.
    Konseling realitas pada dasarnya adalah proses rasional, hubungan konseling harus tetap hangat, memahami lingkungan. Konselor perlu meyakinkan klien bahwa kebahagiaannya bukan terletak pada proses konseling tetapi pada perilakunya dan keputusannya, dan klien adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
    F. Teknik-Teknik Dan Prosedur-Prosedur Terapi
    Terapi realitas bisa ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedu-prosedurnya difokuskan pada kekutan-kekuatan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Terapis bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
    1. Terlibat dalam permainan peran dengan klien;
    2. Menggunakan humor;
    3. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun;
    4. Membantu klien dengan merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan
    5. Bertindak sebagai model dan guru
    6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi
    7. Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis; &
    8. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif
    Terapi realitas tidak memasukkan sejumlah teknik yang secara umum diterima oleh pendekatan-pendektan terapi lain. Para psikiater yang mempraktekkan terapi realitas tidak menggunakan obat-obatan dan medikasi-medikasi konservatif, sebab medikasi cenderung menyingkirkan tanggung jawab pribadi. Selain itu, para pempraktek terapi realitas tidak menghabiskan waktunya untuk bertindak sebagai “Detektif” mencari alasan-alasan, terapi berusaha membangun kerjasama dengan para klien untuk membantu mereka dalam mencapai tujuan-tujuanya.
    Tehnik-tehnik diagnostik tidak menjadi bagian terapi realitas sebab diagnostic dianggap membuang waktu dan lebih buruk lagi, dengan menyematkan label pada klien yang cenderung mengekalkan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan gagal. Tehnik-tehnik lain yang tidak digunakan adalah penafsiran, pemahaman, wawancara-wawancara nondirektif, sikap diam yang berkepanjangan, asosiasi bebas, analisis transferensi dan resistensi, dan analisis mimpi.
    G. Prosedur Konseling
    Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling itu terdapat proseduru yang harus diperhatikan oleh konselor realitas. Prosedur tersebut terdapat delapan diantaranya:
    a. Berfokus pada personal
    Prosedur utama adalah mengkomunikasikan perhatian konselor kepada klien. Perhatian itu ditandain oleh hubungan hangat dan pemahamnnya ini merupakan kunci keberhasilan konseling.
    b. Berfokus pada perilaku
    Konseling realitas berfokus pada perilaku tidak pada peraaan dan sikap. Konselor dapat meminta klien untuk ”melakukan sesuatu menjadi lebih baik” dan bukan meminta klien ”merasa yang lebih baik”.
    c. Berfokus pada saat ini
    Konseling realitas memandang tidak perlu melihat masa lalu klien. Konselor tidak perlu melakukan explorasi terhadap pengalaman-pengalaman yang irrasional di masa lalunya.
    d. Pertimbangan nilai
    Konseling realitas menganggap pentingnya melakukan pertimbangan nilai, penilaian perilakunya oleh diri klien akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif atau mencapai identitas keberhasilan.
    e. Pentingnya pernyataan
    Kesadaran klien tentang perilakunya yang tidak bertannggung jawab harus dilanjutkan dengan perencanaan untuk mengubahnya menjadi perilaku yang bretanggung jawab. Untuk mencapai hal ini konselor bertugas membantu klien untuk memperoleh pengalaman berhasil pada tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.
    f. Komitmen
    Perencanaan saja tidak cukup. Konselor terus meyakinkan klien bahwa kepuasaan atau kebahagiaanya sangat ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.


    g. Tidak menerima dalih
    Adakalanya renacana yang telah disusun dan telah ada komitmen klien untuk melaksanakan, tetapi tidak dapat dilaksanakan atau mengalami kegagalan. Pada saat itu konselor perlu membantu rencana dan mebuta komitmen baru Untuk melaksanakan upaya lebih lanjut.
    h. Menghilangkan hukuman
    Hukuman harus ditiadakan. Konseling realitas tidak memperlakuakn hukuman sebagai tekhnik perubahan perilaku.

    H. Proses konseling
    Salah satu fungsi utama dalam konseling adalah menolong klien mengubah keterampilan dalam menilai potensi-potensinya, aspirasi-aspirasinya, dan self-concept-nya yang sering keliru dengan pertolongan konselor. Williamson (1958) mengatakan bahwa wawancara konseling merupakan suatu latihan intelektual dalam pemecahan masalah-masalahnya sendiri menurut pemikiran yang sehat. Klien perlu belajar menggali dan memahami hal-hal yang bersangkutan dengan norma-norma kesusilaannya serta pegangan-pegangan nilai lainnya agar dapat mempertanggung jawabkan semua tindakannya.
    Bila ada unsur-unsur afektif, perlu juga ditanggulangi tetapi ini bukan tujuan akhir konselor. Konseling dapat diperluas dengan mennggunakan pendekatan pemecahan masalah yang rasional mengenai masalah-masalah yang khusus yang sedang dihadapi oleh klien. Williamson dan Darley, telah menyusun 6 langkah untuk proses clinical counseiling, yaitu diantaranya: 1) analisis, 2) sintesis, 3) diagnosis, 4) prognisis, 5) treatment, dan 6) follow up.
    William Glasser adalah psikiater yang mengembangkan konseling realitas (Reality Therapy) pada 1950-an. Pengembangan konseling realitas ini karena Glasser merasa tidak puas dengan praktek psikiatri yang ada dan dia mempertanyakan dasar-dasar keyakinan terapi yang berorientasi pada Freudian, karena hasilnya terasa tidak memuaskan (Colvin, 1980).
    Setelah beberapa waktu melakukan praktik pribadi dibidang klinis, Glasser mendapatkan kep[ercayaan dari California Youth Authority sebagai kepala psikiater di Ventura school for girl. Mulai saat itulah Glesser melakukan experimen tentang prinsip dan tekhnik reality therapy.

    I. Peranan Konselor
    Konsseling realitas didasarkan pada antisipasi bahwa klien menganggap sebagai orang yang bertanggung jawab kepada kebaikannya sendiri. Konselor dapat memberikan dorongan, dengan memuji klien ketika melakukan tindakan secara bertanggung jawab dan menunjukan penolakannya jika klien tidak melakukannya.
    Pendekatan reality therapy adalah aktif, membimbing, mendidik dan terapi yang berorientasi pada cognitive behavioral. Metode kontrak selalu digunakan dan jika kontrak terpenuhi maka proses konseling dapat diakhiri. Pendekatannya dapat menggunakan ”mendorong” atau ”menantang”. Jadi pertanyaan ”What” dan ”How” yang digunakan, sedangkan ”Why” tidak digunakan. Hal ini sangat penting untuk membuat rencana teru sehingga klien dapat memperbaiki perilakunya.
    Terdat beberapa cara terapi realitas yang digunakan dalam menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan. Pertama, keputusan pribadi tiap pemimpin pemerintahan Indonesia untuk menerapkan standar-standar kebaikan (patokan nilai-nilai) yang tinggi demi perawatan dan penumbuhkembangan keberhargaan diri (self-worth) yang bermakna. Standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna niscaya menjadi komponen hakiki kepribadian setiap pemimpin pemerintahan Indonesia.
    Kedua, keterlibatan mendalam (deep involvement) tiap pemimpin pemerintahan dengan kehidupan nyata seluruh rakyat Indonesia. Keterlibatan ini niscaya demi pemahaman realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Tanpa pemahaman utuh realitas kehidupan seluruh rakyat Indonesia, pemimpin pemerintahan tidak pernah bisa mengejawantahkan perbuatan dan perilaku kepemimpinan yang realistik dan bertanggung jawab. Seandainya para pemimpin masa kini hidup di tengah keterlibatan mendalam dengan kehidupan rakyat Indonesia, dapat dibayangkan para pemimpin pemerintahan tidak akan menelorkan kebijakan menaikkan harga BBM saat kehidupan rakyat masih sulit dan anggota DPR tidak akan meminta tambahan honor.
    Ketiga, disiplin, yang makna sejatinya adalah keberanian, kerelaan, dan kesudian manusia menerima realitas yang bersifat tidak menyenangkan, asalkan realitas yang tidak menyenangkan itu terjadi karena dirinya mempertahankan standar kebaikan yang tinggi dan keberhargaan diri yang bermakna. Berbekal disiplin dalam makna itu, para pemimpin pemerintahan tidak akan menghalalkan segala cara dalam upaya mewujudkan aneka keinginan atau sejumlah kebutuhan

    DAFTAR BACAAN

    Corey, Gerald. Teori Dan Praktek Konseling & Psikoterapi. 2010. Refika Aditama

    Pujosuwartno, Sayekti. 1997. Berbagai Pendekatan Dalam konseling. Yogyakarta :           Menara 
    mas Offset.

    Latipun. 2003. Psikologi Konseling. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.

    Universitas Semarang. 2006. Peta Kognitif Pendekatan Konseling. Semarang :        Universitas Negeri Semarang


Tidak ada komentar:

Posting Komentar