Selasa, 26 Februari 2013

Teori Kepribadian Erikson


Teori Kepribadian Erikson

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang penuh misteri. Banyak hal-hal yang belum terungkap sepenuhnya dalam diri manusia. upaya-upaya untuk memahami pribadi manusia ini telah dilakukan oleh para ahli sejak lama bahkan hingga saat ini. Hal ini dibuktikan dengan buku-buku kontemporer yang membahasa tentang kepribadian manudia yang terus dicetak dan diperbaharui dari tahun ketahun.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh para ahli untuk memahami kepribadian manusia adalah dengan disusunnya teori-teori kepribadian. Menurut  Farozin dan Fathiyah (2004:3) kata kepribadian berasal dari kata personality (inggris) yang berasal dari kata persona (latin) yang berarti topeng.
Topeng adalah instrumen yang digunakan oleh para pemain peran, digunakan untuk menutupi muka, saat tampil di atas panggung. Istilah topeng ini digunakan untuk menggambarkan watak, atau perilaku seseorang yang terkadang menampilkan ekspresi berbeda antara perasaan dan wajahnya.
Untuk menjelaskan fenomena-fenomena tersebut maka lahirlah teori-teori kepribadian yang diharapkan dapat member kemudahan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman tentang manusia. Menurut Hall dan Lindzey (Farozin dan Fathiyah, 2004:5) sebuah teori kepribadian diharapkan mampu memberikan jawaban atas pertanyaan sekitar apa, bagaimana, dan mengapa tentang tingkah laku manusia.
Sejak zaman dahulu hingga saat ini telah banyak teori kepribadian yang telah diajarkan oleh para ahli-ahli psikologi. Salah satunya adalah teori kepribadian Erik Erikson. Makalah ini akan membahas tentang teori kepribadian Erik Erikson untuk memahami Konsep dasar teor kepribadian, struktur kepribadian, proses perkembangan kepribadian, dan implikasi teori kepribadian terhadap konseling.
A.    Konsep Dasar Kepribadian
Erik Erikson adalah seorang psikolog yang merupakan murid dari Sigmund Freud seorang tokoh psikoanalitik. Erikson mengambil psikoanalitik sebagai dasar teorinya namun ia mengikut sertakan pengaruh-pengaruh sosial individu dalam perkembangannya. Berbeda dengan Freud yang berpendapat bahwa pengalaman masa kanak-kanak, terutama di lima tahun awal, yang mempengaruhi kepribdian seseorang ketika dewasa. Erikson berpendapat bahwa masa dewasa bukanlah sebuah hasil dari pengalaman-pengalaman masa lalu tetapi merupakan proses kelanjutan dari tahapan sebelumnya.
Erik Erikson membantah ide Freud yang mengatakan bahwa identitas sudah ditentukan dan terbentuk sejak kanak-kanak, pada usia lima atau enam tahun. Erikson berpendapat bahwa pembentukan identitas merupakan proses yang berlangsung seumur hidup.
Manusia adalah makhluk yang unik dan menerapkan system terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan ini disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri dan lingkungannya. Sebagai makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal positif .
Konsep dasar kepribadian manusia menurut Erik Erikson tidak hanya dipengaruhi oleh keinginan/dorongan dari dalam diri individu, tapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, seperti adat, budaya, dan lingkungan tempat dimana kepribadian individu berkembang dengan menghadapi serangkaian tahapan-tahapan sejak manusia lahir (bayi) hingga memasuki usila lanjut usia (masa dewasa akhir).

B.     Struktur Kepribadian
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa Erikson dalam mengembangkan teorinya mengambil dasar dari teori psikoanalitik Freud, namun Erik Erikson tidak sependapat dengan  Freud yang mengatakan bahwa reaksi masa dewasa adalah hasil dari pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak, khususnya di usia 5 sampai 6 tahun awal.
Menurut Erikson (http://konselingindonesia.com/ : 2010), lingkungan di mana anak hidup sangat penting untuk memberikan pertumbuhan, penyesuaian, sumber kesadaran diri dan identitas. Erik Erikson percaya bahwa setiap manusia berjalan melalui sejumlah tahap untuk mencapai pembangunan penuhnya, berteori delapan tahap, bahwa manusia melewati dari lahir sampai mati.
Erikson berpendapat bahwa kepribadian manusia tidaklah didorong oleh energi dari dalam, melainkan untuk merespon rangsangan yang berbeda-beda, misalnya indvidu dalam kehidupannya perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Erikson egolah yang mengembangkan segala sesuatunya. Misalnya kemampuan individu, keadaan dirinya, hubungan sosialnya dan penyaluran minatnya. Seorang individu haruslah memiliki ego yang sehat dan kuat guna merespon kondisi lingkungan sebagai salah satu proses beradaptasi.
Erikson menguraikan tahap genital Freud menjadi remaja dan menambahkan tiga tahap dewasa. Janda Joan Serson Erikson menguraikan pada model sebelum kematiannya, menambahkan tahap kesembilan (umur tua) itu, dengan mempertimbangkan harapan hidup meningkat di budaya Barat. Erikson adalah Neo-Freudian, digambarkan sebagai seorang psikolog ego mempelajari tahap pembangunan yang mencakup seluruh siklus hidup. Setiap tahap Erikson pengembangan psikososial ditandai oleh konflik, untuk yang resolusi sukses akan menghasilkan hasil yang menguntungkan, misalnya, kepercayaan vs ketidakpercayaan dan oleh sebuah peristiwa penting, konflik ini terselesaikan sendiri.
C.    Proses Perkembangan Kepribadian
Proses perkembangan kepribadian menurut Erik Erikson adalah sebuah proses yang berlangsung sejak masa bayi hingga usia lanjut. Proses perkembangan kepribadian tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (dorongan dari dalam diri) tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada dilingkungan dimana individu tumbuh dan berkembang.
Menurut Erikson, dalam alih bahasa Fransiska dkk. 2008, kepribadian (terutama focus Erikson pada identitas) berkembang melalui 8 tahap yang saling berurutan sepanjang hidup.
Tahapan-tahapan yang dikemukakan oleh Erikson ini menggunakan tahapan perkembangan psikoseksual Freud sebagai dasar teorinya, hal ini terlihat dari lima tahapan pertama yang Erikson ajukan memperlihatkan krisis ego yang sama dengan tahapan psikoanalitik Freud.
Dalam setiap tahapan, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan
Berikut ini adalah tahap perkembangan kepribadian oleh Erikson yang kami kutip dari :http://kongkoh.blogspot.com/2010/01/teori-perkembangan-psikososial-erik. html/
Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
  • Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
  • Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
  • Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada anak.
  • Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
· Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun
  • Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
  • Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan mengendalikan dan kemandirian.
  • Kejadian-kejadian penting lain meliputi pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan juga pemilihan pakaian.
  • Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)
  • Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
  • Selama masa usia prasekolah mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
  • Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.
  • Mereka yang gagal mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
  • Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
  • Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.
  • Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan dan kemampuan mereka.
  • Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
  • Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
  • Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan pengalaman-pengalaman baru.
  • Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
  • Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
  • Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
  • Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun
  • Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
  • Anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
  • Anak dihadapkan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
  • Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
  • Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
  • Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
  • Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
  • Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
  • Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan orang lain.
  • Mereka yang berhasil di tahap ini, akan mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
  • Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
  • Jika mengalami kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
  • Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
  • Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan keluarga.
  • Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
  • Mereka yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
  • Terjadi selama masa akhir dewasa (60an tahun)
  • Selama fase ini cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
  • Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami banyak penyesalan.
  • Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus asa
  • Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan kegagalan yang pernah dialami.
  • Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
D.    Impliakasi terhadap Konseling Tujuan Konseling
Berdasarkan uraian di atas kami menyimpulkan bahwa teori konseling yang dapat digunakan adalah konseling Ego yang dikembangkan sendiri oleh erikson.
Konseling ego dipopulerkan oleh Erikson. Konseling ego memiliki ciri khas yang lebih menekankan pada fungsi ego. Kegiatan konseling yang dilakukan pada umumnya bertujuan untuk memperkuat ego strength, yang berarti melatih kekuatan ego klien. Seringkali orang yang bermasalah adalah orang yang memiliki ego yang lemah. Misalnya, orang yang rendah diri, dan tidak bisa mengambil keputusan secara tepat dikarenakan ia tidak mampu memfungsikan egonya secara penuh, baik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, meraih keinginannya. Perbedaan ego menurut Freud dengan ego menurut Erikson adalah: menurut Freud ego tumbuh dari id, sedangkan menurut Erikson ego tumbuh sendiri yang menjadi kepribadian seseorangn
adapun tujuan konseling menurut Erikson adalah memfungsikan ego klien secara penuh. Tujuan lainnya adalah melakukan perubahan-perubahan pada diri klien sehingga terbentuk coping behavior yang dikehendaki dan dapat terbina agar ego klien itu menjadi lebih kuat. Ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan dimana dia berada.

Proses Konseling
Beberapa aturan dalam konseling ego yaitu:
  • Proses konseling harus bertitik tolak dari proses kesadaran.
  • Proses konseling bertitik tolak dari asas kekinian.
  • Proses konseling lebih ditekankan pada pembahasan secara rasional.
  • Konselor hendaknya menciptakan suasana hangat dan spontan, baik dalam penerimaan klien maupun dalam proses konseling.
  • Konseling harus dilakukan secara profesional.
  • Proses konseling hendaklah tidak berusaha mengorganisir keseluruhan kepribadian individu, melainkan hanya pada pola-pola tingkah laku salah suai saja.
Teknik-Teknik Konseling
Adapun teknik-teknik dalam konseling ego adalah:
  • Pertama-tama konselor perlu membina hubungan yang akrab dengan klien.
  • Usaha yang dilakukan oleh konselor harus dipusatkan pada masalah yang dikeluhkan oleh klien, khususnya pada masalah yang ternyata di dalamnya tampak lemahnya ego.
  • Pembahasan itu dipusatkan pada aspek-aspek kognitif dan aspek lain yang terkait dengannya.
  • Mengembangkan situasi ambiguitas (keadaan bebas dan tak terbatas) yang dapat dibina dengan:
  • Konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memunculkan perasaan yang ada dalam dirinya.
  • Klien diperkenankan mengemukakan kondisi diri yang mungkin berbeda dengan orang lain.
  • Konselor menyediakan fasilitas yang memungkinkan terjadinya transference melalui proyeksi. Pribadi yang transference adalah pribadi yang mengizinkan orang lain melihat pribadinya sedangkan proyeksi adalah mengemukakan sesuatu yang sebetulnya ada pada diri sendiri.
  • Pada saat klien transference, konselor hendaknya melakukan kontra transference.
  • Konselor hendaknya melakukan diagnosis dengan dimensi-dimensinya, yaitu:
  • Perincian dari masalah yang sedang dialami klien saat diselenggarakan konseling itu.
  • Sebab-sebab timbulnya masalah tersebut, bisa juga titik api yang menyebabkan masalah tersebut menyebar.
  • Menentukan letak masalah, apakah pada kebiasaan klien, cara bersikap atau cara merespon lingkungan.
  • Kekuatan dan kelemahan masing-masing orang yang bermasalah.
  • Membangun fungsi ego yang baru dengan cara:
  • Dengan mengemukakan gagasan baru
  • Berdasarkan diagnosis dan gagasan tersebut diberikan upaya pengubahan tingkah laku
  • Pembuatan kontrak untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang telah diputuskan dalam konseling.
Langkah- Langkah Konseling
Adapun langkah-langkah dalan penyelenggaraan konego adala:
  • Membantu klien mengkaji perasaan-perasaannya berkenaan dengan kehidupan, feelingterhadap peranannya, penampilan dan hal lain yang terkait dengan tugas-tugas kehidupannya.
  • Klien diproyeksikan dirinya terhadap masa depan. Dalam hal ini konselor mendiskusikan tujuan hidup masa depan klien, sekaligus potensi-potensi yang dimilikinya. Konselor membawa klien agar mampu melihat hubunagn yang signifikan antara masa depan dan tujuan hidup klien dengan kondisinya di masa sekarang.
  • Konselor mendiskusikan bersama klien hambatan-hambatan yang ditemuinya untuk mencapai tujuan masa depan.
  • Konselor melalui proses interpretasi dan refleksi, mengajak klien untuk mengkaji lagi diri sendiri dan lingkungannya. Selanjutnya konselor berusaha agar klien melihat hubungan antara perasaan perasaannya tadi dengan tingkah lakunya.
  • Konselor membantu klien menemukan seperangkat hasrat, kemauan dan semangat yang lebih baik dan mantap dalam kaitannya dengan hubungan sosial. Kalau memungkinkan konselor melatihkan tingkah laku yang baru.

daftar pustaka
Sumber Bacaan

Farozin, H Muh., Fathiyah, Nur Kartika. 2004. Pemahaman Tingkah Laku. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Friedman, S Howard., Schustack, Miriam W.2006. PERSONALITY “Classic Theories and Modern Research ” (Terjemahan). Jakarta : Penerbit Erlangga.

Sumber web:
Ifdil.  2010. From : http://konselingindonesia.com/.25 oktober 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar