PERSPEKTIF
DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Hasan Mustafa
Pengantar :
Tulisan
ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi
Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh
James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994),
dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok
bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.
Akar awal Psikologi Sosial
Walau
psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan
Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri
baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu
"Introduction to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall -
seorang psikolog - dan "Social Psychology : An Outline and Source Book ,
ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog. Berdasarkan latar belakang penulisnya
maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di"claim" sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai
bagian dari sosiologi. Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam
sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu
perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan
perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi
sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini
banyak dibina oleh jurusan sosiologi - di American Sociological Association terdapat
satu bagian yang dinamakan "social
psychological section", sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin
psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya
tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga
dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.
|
Pertanyaan
yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi sosial
adalah : " Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap
perilaku kita?'". Misalnya di Prancis, para analis sosial sering
mengajukan pertanyaan mengapa pada saat revolusi Prancis, perilaku orang
menjadi cenderung emosional ketimbang rasional? Demikian juga di Jerman dan
Amerika Serikat dilakukan studi tentang kehadiran orang lain dalam memacu
prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak belajar seorang diri dan
belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik dibandingkan ketika
mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa seorang boleh
disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya
memahami, menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan
tindakan individu-individu dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan
tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya
dibayangkannya"
Teori-teori
awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua
kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari
keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan
penjelasan "nature" - dan
(2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama
kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture".
Penjelasan "nature"
dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di
mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan
serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai
seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia
didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun
banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku
sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink
merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama
cenderung ke arah kebiasaan - yaitu
pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang.
Hal ini memunculkan "nurture
explanation". Tokoh lain yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey
mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa
lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan -
"situasi kita" - termasuk tentunya orang lain.
Berbagai
alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan
berbagai perspektif dalam psikologi
sosial - seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa
dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku
sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif
(cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan
interaksionis (interactionist
perspectives).
Perspektif
perilaku dan kognitif lebih banyak
digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering
menawarkan jawaban yang berbeda atas
sebuah pertanyaan : "Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan
oleh para psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku
sosial?". Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami
perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang
dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang
yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses
mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena
seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya
tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga
berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya,
belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya
pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan
perilaku seseorang.
Sebaliknya,
perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami
perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak
menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada
bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh
informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama
yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang.
Perspektif
struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial
yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah :
" Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial
?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat
dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi
karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain.
Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang
namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari
nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan
dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai
"seorang ayah". Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa
manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan
mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama
lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah
ini diuraikan satu persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial.
1.
Perspektif Perilaku
(Behavioral Perspective)
Pendekatan
ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini
cukup banyak mendapat perhatian dalam
psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya,
dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi
pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan
alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi.
Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat
"mistik", "mentalistik", dan "subyektif". Dalam
psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat
diamati" (observable), yaitu
pada "apa yang dikatakan (sayings)
dan apa yang dilakukan (doings)".
Dalam hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya
percaya bahwa proses mental dan juga
perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial.
Para
"behaviorist" memasukan perilaku ke dalam satu unit yang
dinamakan "tanggapan" (responses),
dan lingkungan ke dalam unit "rangsangan" (stimuli). Menurut penganut paham
perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama
lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah
rangsangan " seorang teman datang ", lalu memunculkan tanggapan
misalnya, "tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman
yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan
tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada
dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme
tersebut dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan "kotak
hitam (black-box)" . Rangsangan
masuk ke sebuah kotak (box) dan
menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi - srtuktur internal atau proses mental
yang mengolah rangsangan dan tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara
langsung (not directly observable),
bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974)
membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan "operant behavior" dan "reinforcement". Yang dimaksud
dengan "operant condition"
adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara
tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut.
Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara
umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam
kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan "operant behavior". Yang dimaksud
dengan "reinforcement"
adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa
datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing
(yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita,
maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing
maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui, reinforcement atau penguat, bisa
bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat positif. Contoh
penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang
asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan
menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing
kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam
pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih
mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa
terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori
Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a.
Teori Pembelajaran Sosial.
Di tahun
1941, dua orang psikolog - Neil Miller dan John Dollard - dalam laporan hasil
percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation)
di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis.
Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn)
meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu
proses belajar, bukan bisa begitu
saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan
"social learning " -
"pembelajaran sosial". Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah
memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh
hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti
aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu
harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika
melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak
melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam
penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar
meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa
permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat
membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut
laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali
perilaku peniruan terpelajari (learned),
hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya,
anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang
sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku
"baru" melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain
tertentu, karena kita mendapatkan
imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga
dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh
tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu
perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan.
Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui
peniruan, bahkan tanpa adanya
penguat (reinforcement) sekalipun
yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan
terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut.
Proses belajar semacam ini disebut "observational
learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan
Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai
perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model,
misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura
(1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya
diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang
benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan
pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial membahas tentang
(1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita
miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita
mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational
opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
b.
Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh
yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John
Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard
Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke
dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh
imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan
menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran
sosial, teori pertukaran sosial pun
melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling
mempengaruhi (reciprocal). Karena
lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan
orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi
Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost)
dan keuntungan (profit). Imbalan
merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal
yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan.
Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang
berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,
persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat
merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan
keyakinan tersebut Homans dalam bukunya "Elementary
Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah
satunya berbunyi :"Semua tindakan
yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu
memperoleh imbalan, makin cenderung
orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi ". Proposisi ini
secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang
dilakukan jika ada imbalannya.
Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : "Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan
perbuatan tersebut diulanginya kembali". Bagi Homans, prinsip dasar
pertukaran sosial adalah "distributive
justice" - aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding
dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut
berbunyi " seseorang dalam hubungan
pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan
yang telah dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya
- dan keuntungan yang diterima oleh
setiap pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi,
makin tinggi keuntungan".
Inti
dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa
dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi
oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati
dengan lingkungan.
2.
Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita
telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit)
merupakan penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku
sosial seseorang di samping instink (instinct).
Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut
(kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem
- karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang
psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk
peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan
atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda
seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin.
Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan
proses mental atau kognitif .
Kemudian
banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk
memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan
Florian Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap,
yang diartikannya sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan
aktual dan potensial individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan
predisposisi perilaku. Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain
adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory),
dan Teori Kognisi Kontemporer.
a.
Teori Medan (Field Theory)
Seorang
psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan
konsep "medan"/"field"
atau "ruang kehidupan" - life
space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional
para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan
kebiasaan), bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan
aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya
penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi, tidaklah
lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa
tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan
fungsi dari "ruang kehidupan"- individu dan lingkungan dipandang
sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya
"ruang kehidupan" merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan,
impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan "ruang
kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang)
yang berpengaruh pada perilaku dalam satu situasi tertentu.
Bagi
Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan
konteks - lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori
medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya.
Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep "gestalt" dalam
psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak
bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya,
kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen,
kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku
individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di
mana individu tersebut berada.
b.
Teori Atribusi dan
Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency
and Attribution Theory)
Fritz
Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita
cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik.
Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti
juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi
tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita
tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang (imbalance). Akibatnya kita merasa
tertekan (stress), kurang nyaman, dan
kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang
di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya
setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih
nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain
agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
Heider
juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran
kita dalam kerangka "sebab dan akibat". Agar supaya bisa meneruskan
kegiatan kita dan mencocokannya dengan
orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan
penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses
penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?,
Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari
Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari,
kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal
dan eksternal. Penyebab internal
(internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan
kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi.
c.
Teori Kognitif Kontemporer
Dalam
tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah
"kognisi" digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri
seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang
manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan
mengalihkan informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan
masalah, dan mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara
tertentu melalui struktur kognitif yang diberi istilah "schema" (Markus dan Zajonc, 1985 ;
Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan
sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi struktur kognisi
bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan membantu kita
untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki diasumsikan
terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
Intinya,
teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi yang
datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif
percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh
informasi tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang
hal yang obyektif, lingkungan eksternal belum mencukupi.
3.
Perspektif Struktural
Telah
kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam
hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial
seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu
proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik
mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William
James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi
mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok -
yaitu adat-istiadat masyarakat - atau strutur sosial . Para sosiolog yakin
bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara
yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku
yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses
sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial
yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas
"diri" (self) - perasaan
kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self.
Sosiolog
lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat
mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan
individu- individu ke dalam berbagai
macam peran (roles). Melalui peran inilah
kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru,
mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita
tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang
melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism)
a.
Teori Peran (Role Theory)
Walau
Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan
peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah
mengembangkan Teori Peran. Teori Peran
menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain
sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini,
harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang
mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita,
dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan
peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah
seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati
pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian,
sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori
peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course”
memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya
untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang
berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika
Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun,
menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh
belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia
enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun,
punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh
lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke
dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap
masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
b. Teori
Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini
diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas Stanford
pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu
peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi.
Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas
dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan
dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi gaya
interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang
paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang
berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut
memiliki motivasi dan ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan
tugas-tugas kelompok yang diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun
juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan
tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul
adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan
kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat
tertentu, beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut
lainnya. Untuk menjadi pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan
ketimbang kemampuan. Di Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat
pertama yang harus dipenuhi. Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi
karakteristik status”; karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok
kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi
pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan
presiden. Difusi karakteristik status tersebut
( jenis kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.
c.
Posmodernisme (Postmodernism)
Baik teori peran
maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam
kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog
lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme
atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia
modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat
modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya –
kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd,
1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran
yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita
digantikan oleh kumpulan citra diri
yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..
Berdasarkan
pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan
terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya
hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme,
menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa
diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa
dihasilkannya.
Setelah Perang
Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen.
Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas.
Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya
tetapi oleh seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan
sebagai “ pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya,
sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan
yang cocok dengan tempat kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya,
kesukaan remaja Indonesia terhadap musik
“rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali
oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya.
Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai
musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku
seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya
, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap.
Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya,
teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi
perspektif struktural dalam hal
bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu.
Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang sedang
terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga
penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran
yang pasif dalam menentukan
perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang
menekannya.
4. Perspektif
Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang
sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi
sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori ini.
Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan
perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa
individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai
peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda.
Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead
tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa
perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial.
Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial
tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi,
dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam
suatu kelompok/masyarakat, namun hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita
senantiasa berkompromi dengannya.
Mead
juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami
perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku
yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama
pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada
aspek internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi,
maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada beberapa
teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori
Identitas (Identity Theory).
a. Teori
Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau Mead
menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku
sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih
tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya,
mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi
Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat
dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti
penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya,
gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body
langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Mead tertarik
mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi
mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol
yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut.
Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran,
maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain,
kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan
teori pertukaran sosial.
Interaksi di
antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa
pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan
bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin
terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal
dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan
makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada
pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol
yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus
secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas
perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang
membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan
mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan
pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan
perilaku orang lain.
b. Teori Identitas
(Identity Theory)
Teori
Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan
perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih
besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi
dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial
membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif
struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik
terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas
individu.
Teori Stryker
mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari
teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam
berinteraksi dengan orang lain, kita
mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang
lain, yang oleh Stryker dinamakan
“identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak
identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi
dengan kita.
Intinya, teori
interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif
dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial. Perspektif
iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya
struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal
tersebut kurang memadai.
RANGKUMAN
Telah kita
bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan perspektif
adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada pendekatan
psikologi sosial. Perspektif perilaku
menyatakan bahwa perilaku sosial kita paling baik dijelaskan melalui perilaku
yang secara langsung dapat diamati dan lingkungan yang menyebabkan perilaku
kita berubah. Perspektif kognitif
menjelaskan perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita
menyusun mental (pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari
lingkungan . Kedua perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog
sosial yang berlatar belakang psikologi.
Di samping
kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya diutarakan
oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif struktural memusatkan
perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku kita dibentuk
oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh masyarakat
kita. Perspektif interaksionis
memusatkan perhatiannya pada proses interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial
kita. Perbedaan utama di antara kedua perspektif terakhir tadi adalah pada
pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap pembentukan perilaku. Kaum
strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro) sebagai determinan
perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih memandang individu
(mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya sendiri.
Karena banyaknya
teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka seringkali muncul
pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang terbaik?” .
Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang salah
atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan
dalam aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk
perilaku sosial), para behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang
mendorong terjadinya perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan
pihak-pihak lain yang memberi perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi
yang tertarik pada perspektif kognitif maka obyek kajiannya adalah pada
bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan berpikir tentang perilaku
agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori medan akan
mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik
individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para
teoritisi pertukaran sosial bisa
memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang menampilkan
perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau
tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang
melekat pada posisi sosialnya harus dipenuhi.
Demikianlah,
setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak untuk
semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X
dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.
Buku Acuan :
Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw /
Philip R. Costanzo, Second Edition, 1985, McGraw-Hill, Inc.
Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.
Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B.
Wiggins, James Vander Zanden, Fifth Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.
Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H.
Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.
Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S.
Wrightsman, Fifth Edition, 1988, Wadsworth, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar