BIMBINGAN
KONSELING BAGI PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Oleh:
Dany M. Handarini
•
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 32
ayat (1) menyatakan bahwa: "Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses
pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa." Peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan sebagaimana yang di sebut dalam undang-undang itu
disebut dengan peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus.
•
Ada berbagai istilah yang digunakan untuk menamai individu yang memiliki
kebutuhan khusus; yaitu: exceptional (luar biasa), handicap (cacat),
dan disability(tak mampu). Exceptional mengacu
pada kondisi setiap individu yang performansinya "menyimpang" dari
standar normal, baik di atas maupun di bawah. Oleh karena itu perlu
diselenggarakan program-program pendidikan khusus yang sesuai dengan kebutuhan
individu tersebut. Handicap mengacu pada masalah yang dihadapi
individu, yang disebabkan oleh ketidakmampuan fisik atau karakteristik perilaku
yang dianggap luar biasa oleh masyarakat. Disabilitymenunjuk pada
masalah fisik yang menjadikan individu terbatas dalam menyelesaikan tugas-tugas
tertentu. Pengertian exceptional lebih luas daripada
pengertian handicap dan disability, karena di
dalamnya termasuk peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat yang luar
biasa. Anak-anak yang dikategorikan sebagai anak-anak exceptional adalah
anak-anak yang mengalami:
1.
Retardasi mental
2.
Kesulitan belajar
3.
Gangguan emosional
4.
Gangguan komunikasi
5.
Gangguan pendengaran
6.
Gangguan penglihatan
7.
Gangguan fisik dan kesehatan
8.
Cacat fisik ganda
9.
Cerdas dan berbakat (Heward dan Orlansky, 1984)
- Prinsip normalisasi di bidang
pendidikan luar biasa mengakibatkan berkembangnya istilah yang berbeda
dengan ketiga istilah tersebut. Normalisasi adalah suatu filosofi yang
menyatakan bahwa setiap anakexceptional berhak mendapat
pendidikan dan lingkungan hidup senormal mungkin. Anak-anak yang
dikategorikan sebagai anak-anak yangexceptional, handicap, maupun disability disebut
dengan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus (special need). Implikasi
prinsip normalisasi dalam pendidikan anak-anak tersebut adalah
penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan
khusus harus bersama-sama dengan peserta didik "normal". Dengan
kata lain, tidak dilakukan pemisahan setting pendidikan antara peserta
didik "normal" dan peserta didik berkebutuhan khusus.
- Implikasi dari normalisasi pada
program pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan khusus
adalah diselenggarakannya pendidikan yang menggunakan prinsip least
restrictive environment (LRE) dan individualized
educational program (EEP). Least restrictive environment adalah
suatu prinsip yang menyatakan bahwa setting pendidikan yang paling
memungkinkan peserta didik exceptional mencapai sukses
adalah kelas reguler. Individualized Educational Program adalah
program pembelajaran jangka panjang setiap peserta didik berkebutuhan
khusus, yang disusun dengan cara merumuskan kebutuhan peserta didik kini,
tujuan pembelajaran jangka panjang (tujuan instruksional umum), tujuan
pembelajaran jangka pendek (tujuan instruksional khusus), layanan
pendidikan khusus yang diperlukan, kriteria dan prosedur penilaian apakah
tujuan pembelajaran telah tercapai.. Program tersebut harus disetujui oleh
orang tua dan para personnel sekolah.
- Prinsip-prinsip tersebut di
atas dapat dilaksanakan dengan cara menyelenggarakan pendidikan terpadu
(mainstreaming), layanan-layanan pendidikan bersifat kontinum (continuum
of services), dan pendekatan tim(team approacfi). Pendidikan
terpadu (mainstreaming) mengacu pada proses pemberian
layanan pendidikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus, yang
dilakukan dengan cara mengintegrasikan mereka ke dalam setting pendidikan
reguler. Oleh Kaufman, Gotlieb, Agard dan Kucic (1975), mainstreaming
didefinisikan sebagai berikut:
"The
temporal, instructional, and social integration of eligible exceptional
children with normal peers based on an going individually determined,
educational planning and programming process and requires clarification of
responsibility among regular and special education administrative,
instructional, and supprotive personnel "(hal.
4)
Berdasarkan
definisi tersebut, ada tiga komponen penting dalam pendidikan
terpadu (mainstreaming); yakni: integrasi, perencanaan dan
pemrograman pendidikan, dan kejelasan tanggungjawab.
- Banyak ahli berpendapat bahwa
mengintegrasikan peserta didik di kelas reguler secara temporal tidak
banyak mennberikan manfaat. Perlu dilakukan integrasi sosial dan integrasi
instruksional dengan peserta didik 'normal", agar peserta didik
berkebutuhan khusus berkembang senormal mungkin. Main-streaming bukan
sekedar menempatkan peserta didik berkebutuhan khusus di dalam kelas
reguler. Untuk itu intervensi yang sistematis perlu dilakukan sebagai
berikut: (1) mengubah sikap peserta didik di kelas reguler; (2) menstruktur
situasi belajar yang memungkinkan peserta didik berkebutuhan khusus
memperoleh manfaat dari penempatannya bersama dengan teman-temannya yang
"normal" (Hallahan dan Kaufman; 1982).
- Integrasi antara peserta didik
berkebutuhan khusus dan peserta didik normal dapat dilakukan dengan
menggunakan continuum of educational services, yang oleh
Heward dan Orlansky (1984) digambarkan sebagai berikut:
Level
1: Kelas reguler. Di kelas ini peserta didik memperoleh program-program
pendidikan yang diberikan oleh guru-guru "biasa" di kelas-kelas
reguler.
Level
2: Kelas reguler dan konsultasi dengan guru spesialis pendidikan luar biasa. Di
kelas ini peserta didik memperoleh program-program pendidikan yang
diberikan oleh guru-guru "biasa" di kelas-kelas reguler, dengan
dibantu guru spesialis pendidikan luar biasa.
Level
3: Kelas reguler dan pembelajaran dan layanan tambahan. Di kelas ini peserta
didik memperoleh program-program pendidikan yang diberikan oleh guru-guru
"biasa" yang diberikan di kelas-kelas reguler. Sebagai tambahan
mereka memperoleh tambahan pembelajaran atau layanan yang diberikan oleh
guru-guru spesialis pendidikan luar biasa.
Level
4: Kelas reguler dan resource room. Di kelas ini peserta didik memperoleh
program-program pendidikan yang diberikan oleh guru-guru "biasa" yang
diberikan di kelas-kelas reguler. Sebagai tambahan mereka memperoleh tambahan
pembelajaran atau layanan yang diberikan oleh guru-guru spesialis pendidikan
luar biasa, yang dilakukan di ruang khusus yang memiliki peralatan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik.
Level
5 : Kelas khusus/ luar biasa penuh. Di kelas ini peserta didik memperoleh
program pendidikan yang dilakukan di kelas-kelas khusus, dan diajar oleh
guru-guru spesialis pendidikan luar biasa.
Level
6: Sekolah khusus/ luar biasa. Pada level ini peserta didik memperoleh program
pendidikan yang dilakukan di sekolah khusus, yang diberikan oleh guru-guru
spesialis pendidikan luar biasa.
Level
7: Fasilitas khusus-bukan sekolah umum. Pada level ini peserta didik menerima
program pendidikan yang lebih intensif dan protektif, Dalam setting khusus.
Dengan
dilaksanakannya pendidikan terpadu bagi anak yang berkebutuhan khusus dengan
kontinum layanan pendidikan, sebagaimana diuraikan di atas, berarti program
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus harus dilaksana-kan dengan menggunakan
pendekatan tim. Dalam pendekatan tim perlu ada kejelasan tanggung jawab di
antara. personel dan staf sekolah yang terlibat dalam penanganan peserta didik
berkebutuhan khusus. Oleh karena itu kerjasama merupakan hal yang esensial.
Salah satu anggota tim yang menangani peserta didik berkebutuhan khusus
tersebut adalah konselor.
- Konselor adalah bagian dari
personnel pendidikan yang memiliki tanggung jawab dalam perkembangan
peserta didik, termasuk peserta didik dengan kebutuhan khusus.Dengan
karakteristik mainstreaming sebagaimana diuraikan di
atas, yang menjadi pertanyaan adalah: (1) apa peran konselor agar
pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus; (2) kompetensi apa yang
dipersyaratkan untuk dapat menjalankan peran itu, dan apa implikasinya
pada pengembangan standar kompetensi konselor di Indonesia?
- Sciarra (2004) mengemukakan
bahwa ada tiga peran yang dapat dilakukan oleh konselor berkaitan dengan
pendidikan peserta didik berkebutuhan khusus; yakni bekerja dengan peserta
didik, bekerja dengan guru, dan bekerja dengan orang tua. Menurut Sciarra
(2004) tugas utama konselor dalam bekerja sama dengan setiap anggota tim
adalah mengidentifikasi sikap-sikap mereka yang secara sadar maupun tak
sadar dapat memperlambat pembelajaran atau sosialisasi peserta didik yang
berkebutuhan khusus. Namun, konselor hams menjadi orang yang pertama kali
mengukur sikapnya sendiri terhadap non-dominant culture(dominant
culture yang dimaksud adalah peserta didik "normal"), yakin bahwa
dirinya dapat merespon kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus tanpa
bias.
- Kerjasama dengan guru. Dalam menangani peserta
didik yang berkebutuhan khusus perlu dilakukan kerjasama antar semua
personel sekolah. Salah satu kerjasama tersebut adalah cooperative
teaching antara gum reguler dan guru spesialis pendidikan luar biasa.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sejumlah kerjasama dapat
berlangsung dengan baik, namun adajuga kerjasama yang tidak berlangsung
dengan baik. Bila hal terakhir terjadi, biasanya disebabkan oleh
resistensi guru reguler terhadap proses pembelajaran kooperatif kepada
peserta didik yang berkebutuhan khusus. Resistensi tersebut kemungkinan
besar disebabkan oleh bias mereka terhadap peserta didik yang berkebutuhan
khusus. Dalam menangani hal seperti itu, konselor yang terlatih dalam
keragaman dan multikulturalisme dapat membantu menyelesaikan resistensi
tersebut. Tujuan tindakan yang dilakukan konselor dalam hal ini adalah
membantu para guru memahami sikap-sikapnya dan meningkatkan pengetahuan
tentang individu yang "berbeda" dengan dirinya. Selain itu,
konselor dapat juga berperan dalam membantu guru mengem-bangkan
program-program pelatihan keterampilan sosial, yang menjembatani interaksi
sosial antar peserta didik berkebutuhan khusus dan normal, untuk
mengurangi dampak problema perilaku di kelas, baik pada peserta didik yang
berkebutuhan khusus maupun peserta didik normal.
- Kerjasama dengan orang tua. Stoll-Switzer (1990)
menyebutkan ada empat sistem keluarga yang menyebabkan peserta didik yang
berkebutuhan khusus dapat berfungsi maksimal, yakni: (1) penerimaan
keluarga pada problem belajar yang dialami anaknya; (2) keterlibatan
keluarga pada proses belajar anak; (3) metode penerapan disiplin yang
digunakan orang tua; dan (4) peran anak dalam keluarga. Oleh karena
Individualized Educational Program bagi peserta didik yang berkebutuhan
khusus. mempersyaratkan keterlibatan aktif berbagai pihak, termasuk
orang tua, maka konselor tugas utama konselor adalah memastikan bahwa
orang tua berpartisipasi aktif dalam merencanakan dan mengembangkan
program pendidikan bagi anaknya. Bila muncul ke-khawatiran pada diri
orangtua bahwa anak-anaknya akan ditolak oleh teman sebaya dan/atau
gurunya, konselor dapat bertindak sebagai mediator antara orang tua dan
pihak sekolah. Dalam hal tersebut, konselor bertugas untuk menciptakan
lingkungan sekolah yang "aman" bagi perkembangan peserta didik
yang berkebutuhan khusus.
- Kerja sama dengan peserta didik. Dalam setting
pendidikan, konselor memiliki peran untuk membantu perkembangan maksimal
semua peserta didik, normal maupun berkebutuhan khusus. Dalam
menjalankan peran tersebut konselor perlu berpegang pada prinsip-prinsip
urnum bimbingan konseling. Secara urnum jenis bimbingan konseling
(bimbingan pribadi, karier, pendidikan) maupun jenis layanan bimbingan
konseling yang perlu diberikan kepada peserta didik yang berkebutuhan
khusus sama dengan yang diberikan kepada peserta didik normal.
Perbedaannya terletak pada metode pelaksanaan bimbingan konseling. Salah
satu prinsip yang perlu diperhatikan oleh konselor dalam bekerja sama
dengan peserta didik yang berkebutuhan khusus adalah individual
differences. Peserta didik yang berkebutuhan khusus memiliki
karakteristik yang unik. Dengan demikian program-program bimbingan
konseling yang dikembangkan perlu memperhatikan kespesifikan kebutuhan
mereka.
- Pada dasamya kompetensi
konselor yang dibutuhkan dalam melayani peserta didik yang berkebutuhan
khusus sama dengan kompetensi yang diperlukan untuk melayani peserta didik
normal. Beberapa kompetensi apa yang perlu mendapat perhatian dalam
menjalankan peran membantu perkembangan peserta didik yang berkebutuhan
khusus sebagai berikut:
- Memiliki wawasan tentang
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik yang berkebutuhan khusus. Kompetensi ini diperlukan dalam rangka memahami
karakteristik dan keunikan peserta didik yang berkebutuhan khusus.
- Menguasai kemampuan assessment. Kemampuan ini sangat dibutuhkan dalam menaksir
perrormansi peserta didik yang berkebutuhan khusus. Semakin tepat dan
akurat taksiran yang dilakukan konselor, diharapkan semakin tepat layanan
pendidikan yang dapat diberikan kepada mereka.
- Menguasai kemampuan konsultasi. Pemberian layanan pendidikan kepada peserta didik
yang berkebutuhan khusus hams dilakukan secara kolaboratif, oleh karena
itu kemampuan konsultasi menjadi persyaratan agar konselor dapat
memberikan layanan bimbingan konseling sebaik mungkin.
- Secara ringkas dapat disimpulkan
bahwa konselor memiliki peran yang sama besarnya dengan guru kelas dan
guru spesialis pendidikan luar biasa dalam memberikan layanan pendidikan
kepada peserta didik yang berkebutuhan khusus. Pada dasamya kompetensi
standar yang dipersyaratkan bagi konselor yang melayani
peserta didik yang berkebutuhan khusus sama dengan kompetensi standar yang
dipersyaratkan bagi konselor yang melayani peserta didik
"normal". Agar dapat memberikan layanan bimbingan secara
nnaksimal kepada mereka yang berkebutuhan khusus, konselor pendidikan
dituntut untuk "mempertajam" kompetensi standar yang telah
dimiliki dan mengembangkan kesadaran akan adanya keragaman invididu yang
dilayaninya, serta "menghapus" bias-bias yang dimilikinya dalam
melayani individu yang masuk dalam kategori non-dominant culture.
Daftar
Rujukan
Hallahan,
D.P.; & Kauffman, J.M. (1982). Exceptional Children. Englewood
Cliff, NJ: Prentice-Hall
Heward,
W.L. ; & Orlansky, M.D. (1984). Exceptional Children. Columbus: Charles E.
Men 11
Sciarra,
D.T. (2004). School Counseling. Singapore:
Brooks/Cole-Thompson
Stoll-Switzer,
L. (1990). Family factors associated with academic progress for children
with learning disabilities. Elementary School Guidance and
Counseling, 24,200-206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar