Minggu, 30 Maret 2014

TIPE KUALITATIF BERDASARKAN MAKSUD KHUSUS: TATARAN IDE DAN KONSEPSI



TIPE KUALITATIF BERDASARKAN MAKSUD KHUSUS:
TATARAN IDE DAN KONSEPSI

A.      STUDI KUALITATIF DASAR ATAU JENERIK
1.        Landasan Filosofi dan Pengertian
Istilah ‘Studi Kualitatif Dasar atau Jenerik’ (SKDJ) atau “Basic or Generic Qualitative Study” oleh Pamela O. Paisley dan Patricia M. Reeves (2001) juga bernama “Generic Qualitative Method” (McLeod, J., 2001), “Generic Qualitative Research” (Caelli, K., Ray, L., dan Mill, J., 2003) atau “Generic Qualitative Methodology” (Roy, N., Madhiwalla, N., dan A Pai, S., 2007). Ini disebut singkat “Generic Studies” oleh Lawrence F. Locke, Stephen J. Silverman, dan Waneen Wyrick Spirduso (2004). SKDJ dipandang sebagai bentuk riset kualitatif sangat umum dalam bidang konseling dan pendidikan dan menampakkan ciri-ciri riset kualitatif secara umum (Paisley, P.O., dan Reeves, P.M., 2001: 483).
Kata sifat ‘Generic’ (bahasa Inggris) berasal dari kata benda ‘Gendre’ (dibaca ‘zandra’, bahasa Prancis) yang berarti jenis, atau umum, atau dasar. Ketika diserap kedalam bahasa Inggris, menjadi ‘Generic’, menjadi suatu kata sifat yang berarti penjenisan umum, keumuman, bersifat dasar; atau dengan kata lain (bersifat) basik, basic. Ketika sifat ini menjelaskan kata ‘studi kualitatif’, maka kata ‘jenerik’ atau ‘dasar’ itu menandai adanya sifat studi yang mengandung unsur-unsur dasar saja dari sifat-sifat kualitatif ~ pro-makna, mengutamakan pemahaman. Kekhasan suatu studi atau  riset akan  ditentukan oleh keyakinan  ideologik atau teori yang dianut oleh tiap-tiap peneliti. Dengan penjelasan ini, akan mudah dipahami adanya dua filosofi penting SKDJ yang dipaparkan lebih lanjut.
Dua filosofi penting SKDJ dimaksud adalah: Pertama, mempertahankan ideologi atau teori yang diyakini peneliti, atau dengan kata lain 'prostatus-quo'. SKDJ bermaksud khusus mempertahankan supremasi sebuah teori formal ~ dalam psikologi, Filosofi kedua yang mendasari SKDJ yang memberinya label 'dasar' atau 'generik', adalah keyakinan bahwa realitas adalah berada di balik fenomena, sebagai suatu proses, dan dimiliki secara subjektif oleh orang-seorang atau sekelompok orang. Realitas diyakini senantiasa memiliki pola-pola atau tema-tema yang terkandung dalam proses suatu rangkaian fenomena. Filosofi ini adalah sama dengan tipe lain riset kualitatif. Terkait dengan filosofi kedua, SKDJ berupaya menemukan makna atau memahami suatu fenomena, suatu proses, atau sudut-pandang (perspektif) dan pandangan hidup orang-orang yang terlibat dalam studi (Paisley, P. O., dan jReeves, P. M., 2001: 483 - 184).



2.        Hakikat SKDJ
Tiga pendekatan dalam penempatan teori dalam riset konseling dan psikoterapi adalah yang disebut 'theory-informed studies', pendekatan integratif atau "trans-theoretieal", dan pendekatan yang menempatkan teori semacam 'teori grounded' (McLeod, J., 2003:188-189).
Pertama, pada yang disebut 'theory-informed studies', peneliti secara eksplisit terbimbing oleh sesuatu model teoretik tegas, dan riset dirancang untuk menguji atau memperluas model teoretik itu. Di sini periset tidak hanya mengeksplorasi hipotesis yang ditarik dari teori melainkan pula mengembangkan teknik-teknik dan alat yang menuntunnya untuk mengidentifikasi konstruk teoretik seperti konsep-diri dari Rogers atau tema-tema hubungan berkonflik dari Luborsky.
Kedua, pendekatan integratif atau 'trans-theoretical', dalam mana periset secara sengaja mendesain studinya dari meramu pengetahuan konseptual secara tidak bergantung pada sesuatu teori spesifik melainkan berbagai teori relevan yang dipadukan. Pendekatan ini, dari hasil meramu berbagai teori relevan.
Ketiga, mengkode atau mengklasifikasi unit-unit makna temuan berdasarkan banyak data, dan teori tampil di belakang dalam pemaknaan refleksif.
Lebih tegasnya, ada empat wilayah pemberi ciri suatu riset dapat disebut sebagai Generic Qualitative Research seturut Kate Caelli, Lynne Ray, dan Judy Mill (2003:9 - 20) diadaptasikan secara singkat di bawah ini:
a.              Adanya pemosisian teoretik peneliti; yaitu motif, kecenderungan, dan sejarah pribadi/profesional peneliti yang mengarahkannya untuk memiliki pendirian teoretik dan menentukan pilihan topik kajiannya.
b.             Kongruensi antara metodologi dan metode-metode yang digunakan dalam penelitian.  
c.              Lensa analitik (the analytic lens) sebagai 'alat' pengkajian data yang menjadi pegangan para peneliti tipe SKDJ adalah memakai "kaca-mata bening" yang tidak terpaku pada suara-suara   literatur atau pengetahuan yang mencampuri kebebasannya melakukan penafsiran. Di sini kekhasan kualitatif dari SKDJ.

3.        Seting Pelaksanaan dan Bidang Masalah Riset
Latar atau seting penerapan SKDJ adalah sangat luas atau tidak terbatas. Itu mencakup latar kehidupan formal seperti sekolah atau tempat kerja, latar nonformal sebagaimana sifat hubungan dalam kepelatihan, penataran atau kursus-kursus, ataupun kehidupan informal dalam masyarakat tradisional ataupun kontemporer. Oleh karena SKDJ tidak memiliki afiliasi menentu pada sesuatu perspekif kuaUtatif maka ia dapat dioperasikan dalam latar individu sebagai orang seorang (sebagaimana Fenomenologi), atau percakapan terapis-pasien atau konselor-konseli (sebagaimana Analisis Percakapan), atau interaksi dua orang atau kelompok kecil (sebagaimana Interaksionisme-Simbolik), atau pun sekelompok besar orang (sebagaimana Etnografi 'berskala-luas').

4.        Langkah-langkah dan Spesif ikasi
Tahap-tahap lebih terinci SKDJ terkandung pada pemaparan yang distilah sebagai ‘the element of a generic qualitative method’ dan juga disebutnya sebagai ‘steps’ (McLeod, J., 2001: 132-136), diadaptasikan poin-poinnya secara singkat sebagai berikut:
a.              Memilih topik penelitian yang memiliki makna pribadi, menggugah imajinasi dan enersi dan penting untuk diketahui.
b.             Mengidentifikasi para audiens atau pihak-pihak yang bersangkut paut dengan penelitian, yaitu mereka yang memungkinkan memperlancar gugahan motivasi dan memperlancar jalannya penelitian, misalnya para peneliti lain, kolega, akademisi, manajer dan pembuat keputusan, dan konseli/ klien atau pemakai jasa.
c.              Mengembangkan kesadaran penuh terhadap topik pilihan, yaitu upaya-upaya mendalami seluk-beluk penenlitian dan konsekuensinya seperti peluang akses, sumber informasi, dukungan-dukungan, serta kendala dan cara-cara mengatasi kendala.
d.             Menyusun pertanyaan penelitian, yaitu penyusunan pertanyaan awal, pertanyaan terbuka (bukan untuk mengetes hipotesis), entah bermaksud mengenali, mendiskripsikan, memahami dinamika atau fluktuasi, atau menyusun pola-pola.
e.              Mengelola suatu ‘jurnal’ pribadi atau catatan-catatan atau memo yang memuat aktivitas pengumpulan data, ide-ide dan imajinasi yang muncul sepanjang upaya penelitian.
f.              Mengembangkan kesadaran akan metode, yaitu cepat-tanggap atas keefektifan ataupun (terutama) kegagalan suatu metode sehingga secara cepat dapat dikonsultasikan, didiskusikan, dicarikan metode alternatif atau teknik tambahan.
g.             Memilih suatu pendekatan, yaitu menetapkan alur pasti filasofi~ontologi dan epistemologi~yang akan dijalankan dan di ikuti terus (misalnya Fenomenologi, Hermenutika Ganda, Etnografi, Analisis Wacana, atau lainnya; ataupun pemaduan pribadi) sejalan dengan proses pencaritemuan (inquiry).
h.             Menentukan teknik pengumpulan data dan analisis sejalan dengan filosofi yang sedang diikuti.
i.               Finalisasi rencana penelitian, yaitu memodifikasi dan melengkapi rencana penenlitian menjadi semacam desain operasional yang siap dijalankan.
j.               Periode menceburkan diri kedalam fenomena penelitian; bila mungkin membuat jarak antara kehidupan pribadi dengan aktivitas penelitian sehingga benar-benar dapat berpadu kedalam proyek penelitian dalam jangka waktu yang diperlukan, kemudian masuk dalam proses inkubasi; dengan kata lain, peneliti berkonsentrasi dalam penelitiannya.
k.             Mengumpulkan teks penelitian, yaitu mengumpulkan data kualitatif melalui interviu atau teknik lain kemudian membawa material (data berseta tafsiran lapangan), serta memastika semua aspek permasalahan penelitian dapat terliput.
l.               Memperhalus atau menyaring metode analisis, yaitu mengembangkan seperangkat kaidah dan prosedur yang dapat mencegah pengakhiran secara prematur proses analisis, misalnya dengan membuat kerangka dasar temuan untuk dilengkapi.
m.           Merampakkan atau ‘memadatkan’ teks riset, yaitu membuat ringkasan dari paparan deskripsi cikal-bakal temuan, sehingga menampak jelas apa dan bagaimana yang terjadi. 
n.             Menganalisis: analisis komprehensif dan utuh teks riset yaitu memberikan penjelasan lebih detail atau melakukan penyaringan dan penyusunan pola tegas, sampai ditemukan pemahaman tuntas atas hal yang diteliti.
o.             Pengujian kembali, ceking, yaitu melanjutkan analisis untuk memeriksa kembali kecermatan kerangka-kerja upaya pemahaman, menguji kembali konstruksi yang disusun, mendiskusikan dengan kolega, atau memeriksa kesesuainnya dengan kriteria kualitas, serta kecocokannya dengan tipe kualitatif yang diikuti.
p.             Menulis laporan lengkap secara cermat, memadatkan dan mengedit baik pada bagian tertentu atau keseluruhan teks laporan, serta mencermatkan temuan-temuan.
q.             Menteorikan (theorizing), yaitu melakukan diskusi interpretif implikasi teoretik temuan-temuan, mendiskusikan bagaimana konfirmasi temuan ini dengan temuan dari penelitian lain yang sebelumnya juga memberikan pembenaran dengan mendiskusikan fenomena dan konteks studi.

Karakteristik mendasar Studi Kualitatif Dasar atau Jenerik (SKDJ) dapat diringkaskan dibawah ini:
a.              Ada dua filosofi yang mendasarinya yaitu: Pertama, bermaksud khusus mempertahankan supremasi sebuah teori formal yang diyakini peneliti dan menunjukkan kestiaan pada terminologi dan konsep/ konstruk dari teori itu dalam penetapan isu/ topik riset; dengan kata lain, prosedur deduktif dalam penetapan isu/ topik riset. Kedua, meyakini realitas sebagai terkandung dalam fenomena lapangan yang natural sehingga memerlukan deskripsi dan interpretasi reflektif untuk menemukan pola atau tema-tema yang terkandung dalam fenomena; atau dengan kata lain prosedur induktif dalam analisis.
b.             Ada kesesuaian atau kongruensi antara metodologi yang diyakini dan metode atau teknik yang digunakan; ada penetapan secara khusus kriteria untuk kualitas, kecermatan atau ketelitian untuk memperkuat keterpercayaan proses dan hasil; menerapkan pendekatan “kaca-mata bening” sebagai lensa analisis, yaitu yang tidak terpaku pada suara-suara literatur atau pengetahuan yang mencampuri kebebasannya melakukan penafsiran, dalam mana peneliti bebas membuat penafsiran untuk penyusunan tema-tema temuan baru atas dukungan data mencapai kesimpulan sesuai permasalahan yang telah dirumuskan.
c.              Ditandai keluwesan dalam keyakinan ontologis dan epistemologis pengetahuan sehingga peneliti terdorong mengabaikan faktor-faktor filosofis dan politis yang ‘memasung’ pilihan metodologis; alih-alih peneliti berupaya meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan (atas tuntutan lapangan) untuk penyesuaian dan mempertimbangkan ciri-ciri yang ada antara jenis-jenis kualitatif tersedia untuk dikembangkan dan diterapkan keyakinan metodologik, prosedur dan metode atau tekniknya. Meskipun tiga jenis metode yang umum digunakan secara padu atau salah satu sebagai utama yaitu interviu, observasi, dan analisis dokumen, namun karena sifat fleksibelnya peneliti dapat mengembangkan metode lain misalnya FGD atau life history.
d.             Ciri seting penerapan SKDJ adalah tidak spesifik, tidak terbatas, melainkan sangat luas, mencakup latar kehidupan formal, nonformal, ataupun kehidupan informal dalam masyrakat tradisional ataupun kontemporer. SKDJ dapat diterapkan dalam latar individu, orang seorang, analisis percakapan terapis-pasien atau konselor-konseli,interaksi dua orang atau kelompok kecil, atau pun sekelompok besar orang. Bidang-bidang masalah umum tempat banyak diterapkan SKDJ adalah konseling, psikoterapi, pendidikan, medik, dan profesi helping lain, dan bidang penelitian akademik, terutama untuk proyek akhir yang terbatas waktu secara relatif ketat adalah sangat ‘favorit’.
e.              Tahap-tahap umum SKDJ: (1) Identifikasi suatu model konseptual atau kerangka-kerja teoretik; (2) Penetapan permasalahan melalui konformasi temuan awal dengan suara teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu; (3) Penegasan difinisi konseptual dan batasan penelitian; (4) Pengumpulan data melalui interviu, observasi, atau analisis dokumen; (5) Analisis data melalui suatu proses identifikasi pola dan keteraturan tematik yang terbentuk; (6) penyajian kesimpulan dalam peristilahan yang menggunakan konsep-konsep dari kerja-kerja awal.

Rumusan 17 langkah sangat terinci yang disebut oleh John McLeod sebagai ‘steps’ atau ‘the element of a generic qualitative method ‘, dapat dimasukkan dalam 6 tahap SKDJ sebagaimana tampak pada Tabel 3 ini.

Tabel 3: Enam Tahap dan 17 Langkah SKDJ
Enam Tahap SKDJ
Tujuhbelas Langkah (McLeod, 2001)
No.
Tahap
No.
Langkah atau Unsur
1
Identifikasi suatu model konseptual atau kerangka-kerja teoretik
1.
Memilih topik penelitian
2.
Mengidentifikasi para audiens atau pihak-pihak terkait.
3.
Mengembangkan kesadaran penuh terhadap topik pilihan
2
Penetapan permasalahan melalui konfirmasi temuan awal dengan suara teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu
4.
Menyusun pertanyaan penelitian
5.
Mengelola sesuatu ‘jurnal’ pribadi atau catatan-catatan atau memo
3
Penegasan definisi konseptual dan batasan penelitian
6.
Mengembangkan kesadaran akan metode
7.
Memilih suatu pendekatan, yaitu menetapkan alur pasti filosofi riset.
8.
Menentukan teknik pengumpulan data dan analisis
9.
Finalisasi rencana penelitian
4
Pengumpulan data melalui interviu, observasi, atau analisis dokumen
10.
Periode menceburkan diri dalam fenomena penelitian
11.
Mengumpulkan teks/ data penelitian
5
Analisis data melalui suatu proses identifikasi pola dan keteraturan tematik yang terbentuk
12.
Memperhalus atau menyaring metode analisis
13.
Memadatkan teks riset, klarifikasi bakal temuan
14.
Menganalisis: analisis komprehensif dan utuh teks riset
6
Penyajian kesimpulan dalam peristilahan yang menggunakan konsep-konsep dari kerja-kerja awal
15.
Pengujian kembali, ceking
16.
Menulis laporan lengkap secara cermat, memadatkan dan mengedit
17.
Menteorikan (theorizing)

B.       RISET FEMINIS/JENDER
1.        Landasan Filosofi dan Pengertian
Riset feminis/jender adalah salah satu riset yang menantang dan menarik karena, seperti juga teori yang dibangun kemudian menjadi orientasi risetnya, adalah kompleks, dinamis, dan banyak ragam (banyak pilihan). Itu terjadi karena maksud khusus Riset Feminis/Jender (RF/J) merupakan sebuah “agenda besar”. “Agenda besar” itu sedemikian luas beragam, aneka sisi kehidupan. Namun, “agenda besar” itu secara tipikal adalah merupakan perubahan sosial~terutama karakter masyarakat dari ‘patriarki’ menjadi ‘matriarki’. Didalam “agenda besar” itu gayut upaya-upaya penegasan posisi dan identitas perempuan diantara masyarakat laki-laki baik dalam bangunan teori (ilmu dan pengetahuan) maupun dalam praksisnya (peluang-peluang kiprah sosial). Secara khusus, ada beberapa variasi penekanan agenda perubahan sesuai dengan aliran teorinya, yang secara umum bertolak pada kesadaran diri feminis akan posisi perempuan.
Gambaran besarnya tampak dalam bangun teori feminis. Dalam bangunan teori feminis sosial, ada empat deskripsi pokok posisi sosial perempuan: (1) ada perbedaan dari kaum lelaki; (2) ada ketidaksetaraan dengan kaum lelaki; (3) merupakan suatu kelompok tertindas dan penindasnya adalah kaum lelaki atau sistem sosial patriarkal kontruksi lelaki; dan (4) terdapat penstrakifikasian lebih lanjut oleh vektor-vektor penindasan dan hak istimewa yang menandai perbedaan diantara kaum perempuan (Ritzer, 1996: 348-349). Deskripsi pokok posisi sosial perempuan pernah pula dirangkumkan oleh Waters dengan penonjolan ciri posisi sosial diferensiasi, distingsi, ketidakseteraan, dan patriarki (Waters, M., 1994: 250-251).
Secara umum, tujuan tipikal riset feminis, menurut naskah lainnya, adalah riset bagi perempuan untuk mendapatkan emansipasi perempuan dan meningkatkan kehidupan mereka. Lebih lanjut dikatakan: “Feminist research includes research onwomen and research for women. The aim of research on women is to elucidate bias and inequaty in the way women are treated in various social setting and institutions and to fill-in the gaps in our knowledge about women” (Robert Wood Johnson Foundation, 2008). Maksudnya: Riset feminis meliputi riset mengenai perempuan dan riset untuk perempuan. Tujuan riset mengenai perempuan adalah mengurangi bias dan ‘ketidakadilan’ dalam mana perempuan diperlakukan dalam aneka seting sosial dan lembaga dan memasukkannya ke dalam senjang pengetahuan kita mengenai perempuan.
Mary F. Rogers (2001) dalam sebuah telusuran historis mengkaji teori feminis dalam tema-tema “the Liberal Continuum”, “Anti-Liberal Feminist Theory”, “Postmodernist Feminist Theory and Feminist Standpoint Theory”, dan”Materialist Feminisms and and Feminist State Theory”. Di dalam empat tema kajian itu, diidentifikasi adanya “tiga gelombang” besar teori feminis yang berangkat dari Feminisme Liberal. Feminis Liberal adalah berbasis nilai-nilai parohan akhir abad Pencerahan (Enlightenment), seperti kebebasan dan hak-hak azasi. Ini kemudian menjadi landasan liberalisme Amerika Utara dan Eropa Barat. Selama abad 18 setra ideologi terbagi dua sosialisme disebut “kir” dan konservatisme disebut”kanan”; dan liberalisme terbagi dalam kontinum “tiga gelombang” kajian feminisme (Periksa lebih dalam pada Ritzer, G., 1996: 80-82; Rogers, M.F., 2001: 285-296). Namun, diakui bahwa, adaptasi keterangan dalam ringkasan “tiga gelombang” feminis yang ditampilkan di bawah ini adalah penyerdehanaan atas yang kompleks:
a.         Feminisme gelombang-pertama (first-wafe feminism) ~ mulai dekade awal 1900 dan puncaknya 1920 ~ ditandai memenangkan perjuangan hak-pilih, menyebar-luasnya (franchise) suara “Perempuan Barat” yang bercirikan liberalisme, namun disertai ambivalensi seperti yang disebut “highly productive for feminisme”, sementara masih mengeritik Pencerahan, yang bersifat produktif, maka muncul resistensi terhadap teori feminis liberal.
b.        Feminsme gelombang-kedua (second-wafe feminism) ~ gelora pergerakan perempuan mencapai kesetaraan dan gencar pada 1960-an ~ semakin memperkuat gaung lebralisme dengan gema hak-hak azasi. Dalam “Gelombang kedua” ini bermunculan berbagai penekanan agenda sehingga membentuk aneka varian teori-teori feminis, misalnya “radical liberal” dan “status-quo liberal”, serta antara keduanya muncul “progressive liberal”; namun masih bercirikan “kebebasan memilih”, individualisme, dan “kesamaan peluang”; sampai mencapai puncak narasi dengan munculnya konsepsi-konsepsi seperti “ecofeminist”, “cultural feminist”, “multicultural feminist”, dan “postfeminist”.
c.         Feminisme gelombang-ketiga (third-wafe feminism) ~ samapai memengaruhi teori sosiologi dalam tahun 1990-an~muncul atas kesadaran bahwa suara “postfeminist” memilki agenda sosiopolitik untuk meredam perjuangan jender. Ini menyertai menggemakan suara posmodern dengan menegaskan postfeminist sebagai mitos, dan memperkokoh perjuangan dengan agenda “Being feminist, doing feminist” ditandai kebebasan dalam gaya hidup. Kajiannya juga menjangkau kultur remaja dan kiprah perempuan muda-belia.
Tidak terlalu jauh bedanya dari kajian Mary F. Rogers di atas, Robert Wood Johnson Foundation (2008) menyajikan tiga model riset feminis yaitu: (1) Empirisme Feminis (Feminist Empirism) dengan pendirian ontologis dan epistimologis sama dengan interpretivis (subjektif) ataupun yang realis (objektif). (2) Riset Sudut-pandang Feminis (Feminist Standpoint Research) dengan ciri kritik dalam keyakinan ontologi historis dan epistemologi transaksional atau subjektivis yang dimodifikasi. (3) Feminisme Posmodern (Postmodern Feminism) dengan fokus ontologi yang meyakini bahwa realitas merupakan suatu ‘seri cerita tanpa akhir’ dan suatu teks yang tetap menyuarakan penindasan perempuan.
2.        Hakikat Riset Feminis/Jender
Di sini diyakini bahwa seorang peneliti feminis tidak harus dibingungkan oleh aneka pendapat yang menunjukkan ciri kompleks dan dinamis, dan banyak ragam riset feminis. Untuk mencegah kebingungan, ada dua cara yang ditempuh. Cara pertama adalah mengenali sifat umum riset feminis. Sifat umum dari segi agenda dan pendekatan riset dinyatakan oleh Ann Monroe-Baillargeon dan Sherry Lutzen (2004): Ada lima sosok riset feminis yang telah diidentifikasi oleh  McHugh dan Cosgrove (1998) untuk dipertimbangkan: (1) pemberian suara pada pengalaman perempuan; (2) bergerak meninggalkan pemikiran dikotomis dan bentuk-bentuk berpikir penyederhanaan lainnya; (3) pemaduan atau penerapan terpadu refleksivitas; (4) pengadopsian pendekatan kolaborasif; (5) penggunaan riset sebagai alat untuk emansipasi.
Oleh karena sosok agenda dan pendekatannya sedemikiannya itu, kebanyakan riset feminis dilakukan oleh perempuan. Perempuan sebagai peneliti membawa pengalaman pribadi dan sejarah mereka ke dalam peran sebagai peneliti dan proses riset. Periset feminis bisa “insider” (orang dalam) dan/atau “outsider” (orang luar) bagi lingkungan dan topik yang mereka kaji. Sebagai insider mereka memiliki pemahaman yang kuat mengenai dinamika dan ‘mainnya’ hubungan sosial yang terkandung di dalam situasi yang diteliti. Isu mengenai ketidaksadaran dapat dikelola melalui afiliasi peneliti dengan konteks, di mana para partisipan dapat merasa lebih nyaman berbagi informasi dengan seseorang yang berasal dari situasi itu. Sebaliknya, peneliti feminis sebagai outsider, yang tinggal di luar situasi yang diteliti mungkin pula dapat mengubah ketidakseimbangan relasi-power dengan para partisipan. Pengalaman dan perasaan pribadi dengan outsider memberikan ruang bagi perempuan untuk menafsirkan secara kritis realitas kehidupan mereka sendiri. Ini mendukung peran mereka sebagai penulis dan pakar pada situasi itu. Ini secara potensial juga memberikan perempuan itu peluang untuk secara aman mengeritik komunitasnya, organisasi atau situasi tanpa mengalami ketakutan penjajakan. Melalui penonjolan keseimbangan dan kesetaraan antara peneliti dan partisipan sering dapat menyamarkan hubungan insider/ outsider bagi keuda pihak (Brayton, J., 1997, 2009).
Monroe-Baillargeon dan Lutzen (2004) mengingatkan bahwa dalam merefleksikan unsur-unsur riset feminis, entah perempuan peneliti itu insider ataukah outsider, adalah penting diketahui bahwa tidak semua riset oleh dan mengenai perempuan adalah dengan sendirinya feminis. Sebagaimana sudah dinyatakan diatas, lanjut mereka, para peneliti feminis mempertimbangkan banyak unsur termasuk berbuat refleksif (reflexive) dalam karya mereka; hal mana memerlukan pengatahuan mengenai pengaruh nilai kontekstual yang mencakup nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang mereka yakini. Melekat dalam riset feminis, kata mereka selanjutnya, adalah pemahaman bahwa pengetahuan dan kesadaran tidaklah tetap kaku dalam nama para periset feminis perlu untuk kontinyu dalam kerja menganalisis pengetahua baru yang diperoleh melalui riset mereka. Paragraf ini mereka tutup dengan peringatan: “Inherent in this continual regeneration of knowledge are emerging complexities” (Monroe-Baillargeon, A., dan Lutzen, S., 2004).
Sifat umum metologik riset feminis yang membedakannya dari riset tradisional, ada tiga alasan: (a) secara aktif berusaha menanggalkan ketidakseimbangan kekuatan antara riset dengan subjek; (b) secara politik termotivasi dan memiliki peran dalam mengubah ketidaksetaraan; (c) memulai dari sudat/padang pengalaman perempuan (Brayton, J., 1997, 2009).
Dapat dimasukkan sebagai sifat umum riset feminis hal yang disebut sebagai sifat-sifat “the second wave of feminist research” dalam mana para sarjana diminta untuk mempertimbangkan dalam kerja risetnya: (1) Batasan riset yang sedang dikerjakan. (2) Hubungan dengan orang-orang yang dengan mereka riset dilakukan. (3) Karakteristik dan lokasi (posisi diri, status, bidang, dll) sang peneliti. (4) Kreasi dan presentasi pengetahuan yang dihasilkan dalam riset. (5) Identifikasi mengenai pengetahuan siapa, oleh siapa, untuk siapa, dan untuk maksud apa pengetahuan yang sudah diperoleh itu (dalam Monroe-Baillargeon, A., dan Lutzen, S., 2004).
Cara kedua mengatasi kebingungan dalam belajar riset feminis adalah dengan memahami variasi atau variannya ~ ciri-ciri khas pada ontologisnya, epistemologisnya, dan agenda teoretiknya  ~ serta memilih salah satu atau dua diantaranya untuk dikuasai dan diaplikasikan dalam suatu proyek riset. Dalam penjelasan agenda teoretik berbagai aliran teori feminis, dalam kajian dibawah ini bukanlah ditampilkan batasan prinsip-prinsipnya masing-masing, alih-alih pada pengkajian keyakinan dan tindakan ahli feminis dan praktik dari riset feminis.
Dengan pendirian tersebut, dapat diaplikasikan tiga model riset feminis yang dikerangkakan oleh Robert Wood Johnson Foundation (2008) dengan memasukkan informasi-informasi dari sumber lain sebagai perluasan penjelasan untuk menunjukkan sifat khusus riset feminis.
a.         Empirisme Feminis (Feminist Empirism) memiliki dua pendirian ontologis dan epistemologis berlainnan yaitu ada yang interpretivis (subjektif) ada pula yang realis (objektif).
b.        Riset Sudut-pandang feminis (Feminist Standpoint Research) memiliki ciri kritik. Mereka memilki keyakinan ontologi historis dan epistimologi transaksional atau subjektivis yang sudah dimodifikasi.
c.                   Feminisme Posmodern (Postmodern Feminism) memiliki fokus ontologi bahwa realitas merupakan suatu 'seri cerita tanpa akhir' dan suatu teks yang tetap menyuarakan penindasan perempuan (Robert Wood Johnson Foundation (2008).

3.        Seting Pelaksanaan dan Bidang Masalah Riset
Seting penerapan riset feminis adalah sangat luas terentang antara ranah privat/domestik dan ranah publik; atau di manapun terjadi hubungan a-simetris dari segi power (kekuasaan) terutama mengenai posisi perempuan di antara lelaki. Kajian pengalaman-pengalaman subjektif pribadi perempuan secara orang-seorang sering dilaporkan dalam penelitian perspektif feminis. Riset demikian ini mencakup pengalaman pribadi pembantu rumah-tangga di hadapan majikan laki-laki khususnya, pengalaman anak perempuan di antara saudara laki-laki dalam keluarga, pengalaman isteri di antara keluarga suami, dan pengalaman isteri di hadapan suaminya sendiri.
Riset feminis dalam seting atau ranah publik umumnya adalah dalam dunia kerja, instansi pemerintah ataupun swasta, misalnya dalam lembaga pendidikan, perusahaan dan dunia usaha, serta lembaga lainnya. Ada banyak contoh laporan riset feminis dalam ranah publik, namun sentralnya tetaplah pada relasi-power, peluang berkiprah, pembedayaan, dan, lebih banyak, soal-soal opressi.
Dalam bidang kepemimpinan (pendidikan) telah berkali-kali dikaji oleh Brigid Limerick secara longitudinal antara 1993 s/d 1999 dengan anggota tim yang berbeda-beda. Fokusnya adalah pada promosi karir kelompok perempuan ke tingkat senior dalam kepemimpinan bidang pendidikan, dan identifikasi cara-cara mereka sampai sukses mencapai level pemimpin (kepala sekolah) dalam konteks perubahan waktu dalam pengelolaan pendidikan (Periksa, Limerick, B., dan O'Leary, J., 2006).
Riset perspektif feminis dapat pula dilakukan dalam bidang ekonomi dengan fokus isu relasi-power. Suatu contoh adalah penelitian perspektif feminis terhadap wanita dan ibu-ibu kelas bawah di wilayah Maggarai Jakarta, yang laporannya sudah berbentuk buku oleh Alison J. Murray pada 1961.
Riset bidang etika dalam ranah publik juga dapat dilakukan baik untuk menemukan konsepsi etika, pemahaman perempuan terhadap etika, maupun penerapan etika bagi perempuan di ranah publik. Pernah dilakukan, sebagai contoh, riset dengan isu "etika dalam sektor publik dengan mendengarkan suara eksekutif perempuan" (dalam Limerick, B., dan O'Leary, J., 2006). Di sini digunakan hubungan-hubungan resiprokal kolaboratif yang dikembangkan dalam jangka waktu cukup lama.
Riset feminis dalam bidang seni dengan fokus relasi-power (kekuasaan) pernah pula dilakukan. Ada satu riset dalam bidang ini, sebagai contoh, yang memberikan analisis dengan hasil cukup menarik, yaitu analisis Denise Farran terhadap foto Marilyn Monroe,
Sebagai tambahan, dapat ditampilkan contoh-contoh riset pengalaman pribadi perempuan dalam beberapa seting. Sue Wise (1990) mengkaji hubungan dirinya dengan Elvis Presley dengan metode biografi dan otobiografi. Clara Greed (1990) meneliti pengalaman pribadinya dalam keterlibatan profesional, namun tidak menentukan nama metode, entah biografi, etnografi, ataukah riset akademik(?) diserahkannya kepada para pembaca (151).

4.        Langkah-langkah dan Spesifikasi
Prosedur pelaksanaan riset feminis adalah beragam, ada yang khas sejalan dengan metode paduan yang dipilih peneliti, ada pula yang umum. Prosedur umum yang lazim ditempuh adalah langkah-langkah: 1) Penyiapan, meliputi penentuan rancangan (disain) dan penetapan sudut-pandang ("stand-point"). 2) Penetapan situs dan fokus pertanyaan. 3) Pengumpulan data. 4) Analisis data. 5) Penyimpulan, refleksi teoretik, dan kemanfaatan (sesuai agenda).
a.         Penyiapan ~ rancangan dan penetapan sudut-pandang ("stand-point"). Pada penetapan rancangan, riset feminis sangat peduli dan tegas pada yang disebut "Criteria for 'Good' Research", yaitu: (a) Riset haruslah atas landasan kesepakatan komunitas (yang diteliti) dan peneliti mempunyai tanggungjawab untuk menyesuaikan pekerjaan risetnya dan diarahkan untuk menjawab berbagai tegangan yang muncul dengan sendirinya dalam usaha riset. (b) Meskipun pada umumnya landasan filosofis lengkap bagi keputusan riset belum dapat diartikulasikan dalam manuskrip selama riset, namun beberapa upaya harus diartikulasikan secara singkat atau garis-garis besar. Ini mencakup deskripsi perspektif atau sudut-pandang ("stand-point") peneliti sembari terlibat dalam proses riset. (c) Sejumlah deskripsi umum  pilihan-pilihan  orientasi  riset,  pendekatan  atau  cara-cara pengamatan atau menyoroti realm kajian, harus didiskusikan untuk mengedepankan akuntabilitas (Robert Wood Johnson Foundation, 2008).
b.        Penetapan situs dan fokus pertanyaan. Situs riset feminis dapat dipilih sesuai dengan sudut-pandang atau perspektif, rancangan (disain), dan peluang akses. Situs yang tersedia berada dalam rentangan luas antara ranah-ranah privat/domestik dan publik; bidang-bidang bersifat informal, nonformal, dan formal; latar penelitian keluarga (misal, dalam rumah-tangga), dunia kerja (misal instansi pendidikan dan instansi lain), dan lingkungan sosial umum (restoran dan pusat-pusat pembelanjaan); atau sumber-sumber (data) material aksi, narasi, teks, atau pengalaman(-pribadi). Meskipun beberapa dari antara situs tadi dapat implisit dalam suatu tema riset feminis, namun beberapa kategori situs perlu ditegaskan secara singkat sebelum pelaksanaan penelitian, misalnya pada ranah-ranah privat/domestik dan publik, latar penelitian, dan sumber (data). Penetapan situs manapun, periset feminis perlu mempertimbangkan 'lokasi sosial' subjek terteliti dan 'lokasi sosial' peneliti itu sendiri. "The social location of the researcher (e.g. age, race, orientation, class) plays a role in shaping the research process. It is important for the researcher to identify their own location in order to address biases that may result from their own location in the social world" (Brayton, J., 1997; 2006).
c.         Pengumpulan data pada riset feminis mutakhir dilakukan dengan kombinasi berbagai metode. Teknik-teknik seperti observasi berpartisipasi dilengkapi catatan lapangan dan interviu mendalam adalah sering dilakukan (Monroe-Baillargeon, dan Lutzen, 2004). Kombinasi teknik-teknik penuturan kisah-diri (life history) dengan interviu mendalam (tidak berstruktur) atau "in-depth semi-structured interviews" (Limerick dan O'Leary, 2006) juga sering dilakukan dalam mengungkap dan mengorganisasikan pengalaman pribadi perempuan subjek penelitian. Diakui memang bahwa "... conducting informal, semi-structured interviews is a way to provide a more relaxed atmosphere, one which facilitates a closer relationship between researcher and subject" (Monroe-Baillargeon, A., dan Lutzen, S., 2004).
d.        Analisis data riset feminis yang kualitatif pada umumnya adalah analisis kritik. Analisis kritik biasanya dilakukan dengan melihat fenomena secara negasi yaitu cara lain dari yang umum dipahami orang. Kerangka pikir feminis menyediakan perspektif baru yang segar terhadap fenomena. Analisis kritik ~ tesis-antitesis-sintesis ~ dapat dilakukan sebagaimana upaya Joice Outshoorn (2001). Di sini dilakukan analisis kritik dari debat antara pandangan yang disebut "a traditional moral view" dan pandangan "the sex-work frame" melalui kajian diskursus atau wacana lagalisasi dan anti-legalisasi pelacuran sejak tahun 1980 sampai dengan 1990-an di Eropah, khususnya Negeri Belanda. Debat itu pada akhirnya menelorkan sebuah keputusan pertama di dunia dalam mana suatu parlemen melegalkan pelacuran (umumnya  perempuan)   sebagai  kebijakan  yang  didukung  oleh Feminis Belanda pada tahun 2000 (Outshoorn, ]., 2001).
e.         Penyimpulan, refleksi teoretik, dan kemanfaatan (sesuai agenda). Sebagaimana semua riset kualitatif, riset feminis yang dibicarakan di sini tidaklah bermaksud melakukan generalisasi-berlebihan atas kesimpulan-kesimpulannya di luar sifat-sifat subjek yang diteliti sebagaimana dinyatakan oleh Monroe-Baillargeon dan Lutzen (2004). Dalam refleksi teoretik bisa terjadi proses dinamis yang melibatkan kajian teoretik berpadu pengalaman peneliti dalam menyoroti suara lapangan.
Klarifikasi yang dapat menampakkan sepesifikasi riset feminis diturunkan di bawah ini.
a.         Riset feminis memiliki "agenda besar", dengan ciri luas, beragam, aneka-sisi  kehidupan. "Agenda besar" itu secara  tipikal  adalah perubahan sosial ~ terutama karakter masyarakat dari 'patriarki' menjadi 'matriarki'. Di dalam "agenda besar" itu gayut upaya-upaya penegasan posisi dan identitas perempuan di antara masyarakat laki-laki baik dalam bangunan teori (ilmu dan pengetahuan) maupun dalam praksisnya (peluang-peluang kiprah sosial).
b.        Secara khusus, ada beberapa variasi penekanan agenda perubahan sesuai dengan aliran teorinya, yang secara umum bertolak pada kesadaran diri feminis akan posisi perempuan.  Salah  satu  cara identifikasi agenda khususnya adalah pemilahan atas tiga gelombang feminisme: (1) Feminisme gelombang-pertama (first-wafe feminism) ~ pemenangan   hak-pilih,   bercirikan   liberalisme,   namun   disertai ambivalensi. (2) Feminisme gelombang-kedua (second-wafe feminism) ~ gelora   pergerakan   perempuan   mencapai    kesetaraan   semakin memperkuat gaung leberalisme dengan gema hak-hak azasi. Ini membentuk aneka varian teori-teori feminis:  "radical liberal" dan "status-quo liberal", serta antara keduanya muncul "progressive liberal"; puncaknya adalah konsepsi-konsepsi "ecofeminist", "cultural feminist", "multicultural feminist", dan "postfeminist". (3) Feminisme gelombang-ketiga (third-wafe feminism) ~ muncul atas kesadaran bahwa suara "postfeminst"    memiliki    agenda    sosiopolitik    untuk    meredam perjuangan   jender,   sehingga   gelombang   ketiga   memperkokoh perjuangan dengan agenda "Being feminist, doing feminist" ditandai kebebasan dalam gaya hidup. Selain itu, dalam riset terdapat tiga model riset feminis: (1) Empirisme Feminis atau Feminst Empirism; (2) Riset Sudut-pandang Feminis atau Feminist Standpoint Research; dan (3) Feminisme Posmodern atau Postmodern Feminism).
c.         Seting  riset  feminis   adalah  sangat  luas  terentang  antara  ranah privat/ domestik dan ranah publik, dalam mana terjadi hubungan a-simetris dari segi power (kekuasaan). Seting keluarga (pengalaman subjektif pribadi perempuan)  sering dilaporkan dalam penelitian perspektif feminis. Riset feminis dalam seting atau ranah publik umumnya adalah dalam dunia kerja, instansi pemerintah ataupun swasta, misalnya dalam lembaga pendidikan, perusahaan dan dunia usaha, serta lembaga lainnya. Sentralnya adalah pada relasi-power, peluang berkiprah, pembedayaan, dan, lebih banyak, soal-soal opressi.
d.        Prosedur umum yang lazim ditempuh adalah langkah-langkah: (1) Penyiapan, meliputi penentuan rancangan (disain) dan penetapan sudut-pandang   ("stand-point").   Pada   penetapan  rancangan,   riset feminis sangat peduli dan tegas pada yang disebut "Criteria for 'Good' Research". (2) Penetapan situs dan fokus pertanyaan dalam mana situs riset   feminis   dapat   dipilih   sesuai   dengan  sudut-pandang   atau perspektif, rancangan (disain), dan peluang akses. Fokus pertanyaan riset   feminis    kualitatif    adalah   berangkat    dari    paduan    data empirik/lapangan (awal) dan kajian teoretik/perspektif. (3) Pengumpulan data pada riset feminis mutakhir dilakukan dengan kombinasi berbagai   metode.   Teknik-teknik   yang   sering   digunakan   adalah observasi berpartisipasi dilengkapi catatan lapangan dan interviu mendalam;  kombinasi teknik-teknik penuturan kisah-diri (life history) dengan interviu mendalam (tidak berstruktur) atau "in-depth semi-structured interviews";   atau pengumpulan data melalui permainan Drama. (4) Analisis data riset feminis yang kualitatif pada umumnya adalah analisis kritik; prosedur 'hipotesis bercabang-ranting'; analisis naratif, baik melalui "the constant comparative method" dan "conceptual specification". (5) Penyimpulan, refleksi teoretik, dan kemanfaatan (sesuai agenda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar