TEORI
PENDEKATAN FEMINIST THERAPY
RESUME
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Teori dan Pendekatan Konseling
Yang dibina oleh Bapak Dr. Triyono,
M.Pd dan Dr. M. Ramili, M.A
Oleh
Akhmad Sugianto
130111809209
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN KONSELING
DESEMBER
2013
A. Nama Pendekatan
Nama
pendekatan ini adalah Feminst Therapy. Feminist
terapi pendekatan feminis memperhatikan faktor-faktor psikologis sekaligus pengaruh sosiologis terhadap konseli.
Konseling feminis
berfokus pada isu gender dan
kekuatan (power) sebagai inti dari proses terapi. Terapi feminis dibangun dari premis bahwa untuk dapat
memahami masalah
konseli dengan benar, kita juga
perlu memahami konteks sosial, budaya, dan politik yang berkontribusi pada masalah tersebut.
B. Sejarah Perkembangan
1. Perkembangan
sejarah
Terapi Feminis dikembangkan untuk menanggapi tantangan
dan kebutuhan yang muncul dari wanita (Brabeck & Brown, 1997). Terapi
Feminis berawal dari paham feminis sekitar akhir 1800-an. Para psikolog
mulai sadar akan kepentingan perempuan. Pada tahun 1876 Mary Putman Jacobi
menyatakan bahwa perempuan membutuhkan istirahat fisik dan mental secara khusus
saat menstruasi. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan mulai
diperhatikan.
Pada tahun 1960-an terapi feminis mulai berkembang.
Perempuan mulai sadar untuk membentuk kelompok-kelompok untuk memperjuangkan
keinginan mereka. Perempuan-perempuan menyatukan suara mereka untuk
mengekspresikan ketidakpuasan mereka dalam pembatasan peran perempuan
tradisional. Mereka berkumpul bersama untuk berbagi pengalaman dan
persepsi serta membantu wanita lain menjadi sadar bahwa
mereka tidak sendirian. Suatu persaudaraan dikembangkan dan beberapa
layanan berkembang untuk
meningkatkan kualitas masyarakat seperti tempat penampungan bagi
perempuan korban kekerasan, pusat palayanan
korban perkosaan, pusat kesehatan perempuan. Perubahan dalam
psikoterapi muncul ketika terapis perempuan berpartisipasi dalam
kelompok dan membantu perempuan-perempuan lain dari pengalaman
mereka sebagai terapis.
Pada 1970-an adanya penelitian tentang gender yang
membantu masa depan terapi feminis dan organisasi formal mulai
mendorong perkembangan dan pengesahan terapi feminis.
Diantaranya adalah Asosiasi for Women in Psychologi (AWP) dan
American Psychological Association (APA). Tahun 1980-an, adanya upaya
untuk mengesahkan terapi feminis sebagai model terapi yang
berdiri sendiri sehingga hal ini membuat terapi feminis berubah
drastis, menjadi lebih beragam karena terfokus pada
masalah yang semakin spesifik dan isu-isu seperti body image,
hubungan yang salah, gangguan makan, inses, dan kekerasan seksual lainnya
(Enns, 1993).
Enns (1993, 2004, Enns & Sinacore, 2001) mengidentifikasi empat
filosofi feminis yang disebut "gelombang kedua". Dapat
diuraikan sebagai berikut:
a. Liberal Feminists
Feminis Liberal berfokus pada membantu
perempuan mengatasi batas-batas dan kendala peran gender tradisional. Feminis
Liberal berusaha untuk mentransformasi peran gender tradisional agar perempuan
dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama. Tujuan utama dari
terapi feminis liberal ialah memberdayakanperempuan, meningkatkan martabat perempuan, meningkatkan
kepuasan diri perempuan, laki-laki dan perempuan berbagi
kekuasaan dalam pengambilan keputusan dalam hubungan dan kesetaraan. Tujuan
lain adalah untuk menghilangkan praktek psikoterapi yang telah mendukung
sosialisasi tradisional dan didasarkan pada pandangan bias tentang perempuan
dan laki-laki (Enns, 2004).
b. Cultural Feminists
Feminis budaya percaya penindasan berasal
dari rendahnya nilai masyarakat terhadap kemampuan,
nilai-nilai dan peran perempuan. Mereka percaya bahwa untuk
menghilangkan kekerasan terhadap perempuan maka harus dilakukannya feminisasi
budaya atau dengan kata lain dengan melakukan transformasi nilai-nilai feminis
ke dalam budaya.
c. Radical Feminists
Feminis
radikal menyatakan penindasan terhadap perempuan terdapat
dalam sistem patriarki(sistem masyarakat yang menyatakan bahwa ayah
sebagai kepala keluarga atau ayah yang memiliki kuasa) dan feminis
radikal berusaha untuk mengubah masyarakat melalui aktivisme dan
menyamakan kekuasaan. Mereka menantang pandangan bahwa perempuan
tidak bisa berkuasa. Tujuan utama adalah mengubah relasi gender,
mengubah pandangan lembaga-lembaga sosial terhadap kekuasan
perempuan dan meningkatkan peran perempuan serta dengan
kreatif mendukung perempuan untuk menentukan nasib sendiri.
d. Socialist Feminists
Tujuan feminis sosialis sama dengan
feminis radikal yaitu merubah sosial. Namun penekanan mereka
berbeda dimana feminis sosialis lebih mengurusi banyak jenis masalah dan
mengatakan bahwa solusi untuk masalah-masalah masyarakat harus
mempertimbangkan golongan/kelas, ras, orientasi seksual, ekonomi,
kebangsaan, dan sejarah. Tujuan utama dari terapi adalah untuk mengubah
hubungan sosial dan lembaga-lembaga sosial.
Pada tahun 1993 para psikolog yang
memeluk terapi feminis bertemu pada National Conference on
Education and Training in Feminist Practice. Mereka menyapakati tema
dasar yang mendasari praktik feminis dan mengambil langkah yang
signifikan menuju integrasi dari sejumlah perspektif feminis. Enns (2004)
menyatakan bahwa "gelombang ketiga" dari terapi feminis.
Perkembangan terapi ini dijelaskan sebagai berikut:
a. Postmodern Feminists
Feminis Postmodern memberikan model untuk
mengkritisi nilai pendekatan tradisional dan feminis
lainnya yaitu menangani masalah yang merupakan realitas
dan mengusulkan beberapa kebenaran yang bertentangan dengan kebenaran tunggal.
b. Women of color
feminists
Women of color feminists berjuang
agar teori terapi feminis diperluas dan dibuat lebih
inklusif yaitu dengan memasukkan analisis penindasan ganda, penilaian
akses terhadap hak dan kekuasaan dan aktivisme. Mereka mengkritik
beberapa feminis kulit putih yang lebih menggeneralisasi pengalaman
perempuan Putih agar sesuai dengan pengalaman semua wanita.
c. Lesbian Feminists
Feminis lesbian berjuang
terhadap penindasan perempuan yang terkait dengan orientasi
seksual. Perspektif ini berjuang agar teori feminis menyertakan
analisis keragaman identitas dan hubungan mereka dengan
penindasan serta mengakui keragaman yang ada dikalangan lesbian.
d. Global International
Feminists
Feminis internasional Global mengambil
perspektif seluruh dunia dan berusaha untuk memahami cara-cara dimana rasisme,
seksisme, ekonomi, dan classism mempengaruhi perempuan diberbagai negara.
Feminis global berasumsi bahwa setiap wanita hidup dibawah system penindasan
yang unik. Dan mereka juga mengatakan bahwa perbedaan budaya
berkontribusi terhadap penindasan perempuan.
2. Tokoh-Tokoh
Terapi Feminst
Terapi feminis berbeda dari teori atau pendekatan konseling
lainnya. Terapi ini didirikan atas usaha bersama oleh banyak orang sehingga tidak
ada pendiri tunggal. Corey (2009) mengatakan bahwa ada beberapa
pribadi yang telah memberikan kontribusi penting terhadap terapi
feminis yaitu sebagai berikut:
a.
Jean Baker Miller, MD (1928-2006)
Jean Baker Miller adalah seorang Profesor Klinik
Psikiatri di Boston University School of Medicine dan Direktur Institute Jean
Baker Miller Training di Stone Center, Wellesley College. Miller memberikan kontribusi dengan memperluas
teori ini dan mengeksplorasi aplikasi baru untuk masalah yang lebih kompleks seperti
masalah-masalah keragaman, aksi sosial dan masalah penyesuaian pekerjaan.
b.
Carolyn Zerbe Enns, PhD
Carolyn Zerbe Enns adalah Profesor Psikologi
dan berpartisipasi aktif dalam program Women’s Studies di
Cornell College di Mt. Vernon, Iowa. Usahanya ialah mengartikulasikan
pentingnya terapi feminis multikultural, memperkenalkan praktek terapi
feminis diseluruh dunia (terutama di Jepang) dan menulis tentang
pendidikan multikultural feminis.
c.
Oliva M. Espin, PhD
Oliva M. Espin adalah Profesor Women’s Studies di San
Diego State University dan di Sekolah Psikologi
Profesional California, San Diego. Dia adalah pelopor teori dan
praktek terapi feminis dengan perempuan yang berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda-beda dan telah melakukan berbagai penelitian, pengajaran
dan pelatihan tentang isu-isu multikultural dalam psikologi.
d.
Laura S. Brown, PhD
Laura S. Brown adalah anggota pendiri Institut Terapi
feminis. Institut terapi feminis adalah suatu organisasi yang
didedikasikan untuk mendukung teori dan praktek terapi
feminis. Brown juga adalah anggota teori kelompok kerja
pada National Conference on Education and Training in Feminist Practice.
Brown menulis beberapa buku dan bukunya yang berjudul Theory in Feminist
Therapy (1994) diangap sebagai buku dasar teori terapi
feminis. Brown memberikan kontribusi tentang
bagaimana berpikir tentang etika
dan pembatasan-pembatasan serta kompleksitas praktek etis dalam
komunitas kecil. Dan saat ini ia berminat terhadap praktek feminis untuk
masalah-masalah forensik dan penerapan prinsip-prinsip feminis untuk mengobati
traumatik.
C. Hakikat Manusia
Perspektif feminis didasari oleh
sebuah keyakinan bahwa teori-teori tradisional mengenai hakikat dan
perkembangan manusia, yang ditemukembangkan dengan perspektif pria-pria Barat,
tidaklah dapat diterapkan secara universal. Kebanyakan teori-teori tersebut
dikembangkan berdasarkan studi atas laki-laki (sementara perempuan dianggap
sama). Para feminis menentang hal ini karena mereka memandang bahwa perempuan
dan laki-laki bersosialisasi dengan cara yang berbeda. Ekspektasi peran gender
berpengaruh sangat besar pada laki-laki dan perempuan, sehingga teori-teori
tradisional tersebut tidak mengena secara tepat pada perempuan. Sosialisasi
peran gender (gender-role socialization) merupakan proses multifase,
terjadi selama rentang kehidupan, serta menguatkan keyakinankeyakinan dan
perilaku-perilaku tertentu yang oleh masyarakat dianggap sebagai hal yang tepat
berdasar jenis kelamin biologis (Remer, Rostosky & Wright, 2001).
Proses tersebut berdampak
membatasi kepada perempuan dan laki-laki. Sebagai contoh, mitos dan
cerita-cerita yang sering kita sampaikan pada anak-anak bahwa laki-laki adalah
sosok yang kuat, cerdik, dan mampu dalam banyak hal, sementara wanita adalah
sosok yang pasif, tergantung, dan tidak memiliki banyak harapan. Contoh-contoh
cerita tersebut seperti: Oedipus yang memecahkan teka-teki Sphinx; Arthur yang
mencabut pedang Excalibur dari batu untuk menunjukkan bahwa ia adalah sang
raja; dan Jack yang memanjat batang pohon kacang raksasa untuk mendapatkan
kekayaan dan keberuntungan. Sebaliknya, Rapunzel dipenjara di sebuah menara
tanpa pintu, ditakdirkan menunggu pria penyelamat; nyawa Cinderella bergantung
pada pangeran yang memakaikan sepatu kaca di kakinya; dan Putri Tidur yang baru
dapat bangun jika dicium oleh laki-laki (Polster, 1992). Cerita-cerita dan hal
sejenis demikian akan berdampak luas bagi wanita yang sedang bertumbuhkembang
yang belajar bahwa femininitas adalah kebalikan dari kekuatan, asertivitas,
kompeten, dan bagi laki-laki yang mempelajari bahwa maskulinitas merupakan
kebalikan dari rasa takut, ketergantungan, emosionalitas, atau kelemahan
(Lerner, 1988)
D. Perkembangan Perilaku
1. Struktur
Kepribadian
Ada
beberapa pandangan terapi feminis tentang perkembangan kepribadian
yaitu sebagai berikut:
a. Kepribadian seseorang dipengaruhi
atau dibentuk oleh harapan peran gender dalam masyarakat
b. Politik gender dari Amerika
yang mengharapkan gadis-gadis menjadi manis, sensitif dan patuh sementara anak
laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, tabah, dan berani
c. Perkembangan identitas dan
moralitas perempuan dalam konteks budaya yang didasarkan pada
isu-isu tanggung jawab dan perawatan untuk orang lain
d. Kepribadian seorang
perempuan dipengaruhi interaksi dengan orang lain
e. Kepribadian seorang
perempuan dipengaruhi oleh maskulin dan patriarki
2. Pribadi
Sehat dan Bermasalah
a. Pribadi
Sehat
Pribadi sehat menurut terapi feminis adalah individu yang mampu memiliki
kesetaraan gender dan memiliki kekuasaan/control terhadap dirinya.
b. Pribadi
Bermasalah
Pribadi yang bermasalah menurut terapi feminis adalah individu yang
mengalami penindasan dan ketidaksetaraan gender.
E. Hakikat Konseling
Hakikat
Konseling Feminis terapi ialah sebagai berikut :
1. The Personal is political
Feminis
terapi mengatakan bahwa masalah seseorang berasal konteks politik dan
sosial. Hal ini ialah inti dari terapi feminis.
2. Commitment to social change
Feminis
bertujuan tidak hanya untuk perubahan individu tetapi
untuk melakukan sebuah transformasi masyarakat
3. Women’s and girl’s voices and ways
of knowing are valued and their experiences
Perspektif
perempuan dianggap sentral dalam memahami penderitaan mereka. Tujuan terapi
feminis adalah untuk menggantikan sistem patriarchal dengan
kesadaran feminis. Perempuan didorong untuk menghargai emosi dan intuisi mereka
dan menggunakan pengalaman pribadi mereka sebagai batu ujian untuk
menentukan suatu reality
4. The counseling relationship is
egalitarian
Perhatian
terhadap kekuasaan adalah penting dalam terapi feminis dan hubungan
terapeutik dianggap sebagai hubungan yang sederajat. Karena terapis
beranggapan bahwa konseli adalah ahli bagi dirinya atau
hidupnya dan juga karena tujuan terapi ini ialah untuk mengangkat derajat
konseli maka dalam proses konseling kesetaraan ini mulai dibentuk
5. A focus on strengths and a
reformulated definition of psychological distress
Terapis
feminis memfokuskan pada kekuatan atau kelebihan seseorang dan membingkai
kembali tekanan psikologis seseorang. Menurut mereka tekanan psikologis terjadi
karena komunikasi sistem masyarakat yang tidak adil. Mereka
menolak pelabelan diagnostik dan "model penyakit" penyakit
mental
6. All types of oppression are
recognized
Terapis
feminis menyatakan bahwa untuk memahami konseli secara baik maka kita perlu
memperhatikan kehidupan sosial budayanya. Mereka mengakui bahwa
ketidakadilan sosial dan politik memiliki efek negatif
pada semua orang. Terapis feminis membantu individu untuk
berkembang dan juga melakukan perubahan sosial.
F.
Kondisi
Pengubahan
1. Tujuan
Menurut Enns (dalam Corey, 2009),
tujuan konseling feminis berkisar
pada pemberdayaan, menghargai
perbedaan, berusaha melakukan perubahan (daripada hanya sekedar penyesuaian),
kesetaraan, menyeimbangkan independesi dan interdependensi, perubahan sosial, dan
self-nurturance (peduli diri). Enns juga menambahkan bahwa tujuan kunci
konseling adalah untuk membantu individu agar dapat memandang diri sebagai agen
kepentingan dirinya dan kepentingan orang lain. Yang pasti, tujuan akhir dari
konseling ini adalah untuk menghilangkan seksisme serta segala bentuk
diskriminasi dan penindasan lainnya di masyarakat.
2. Peran,
Sikap, dan Tugas Konselor
Terapi
ini menggunakan berbagai model peran terapis dari berbagai teori dan pendekatan
konseling lainnya. Peran dan fungsi terapis akan bervariasi
sampai batas tertentu tergantung pada teori apa yang dikombinasikan
dengan prinsip-prinsip dan konsep feminis. Berikut ini ada beberapa peran
terapis feminis yaitu sebagai berikut:
a. Feminisme
b. Memantau prasangka dan penyimpangan-penyimpangan
mereka sendiri terutama dimensi sosial dan budaya dari pengalaman perempuan
c. Terapis feminis memahami segala
bentuk penindasan dan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesejahteraan
psikologis
d. Terapis feminis secara total hadir
dalam konseling
e. Self-disclosure
f. Terapis Feminis berbagi diri selama
jam terapi dan terapi sebagai sebuah perjalanan bersama
g. Genuineness, empati dan proaktif
h. Percayaan kemampuan klien untuk
bergerak maju dengan cara yang positif dan konstruktif.
3. Peran,
Sikap, dan Tugas Konseli
Konseli merupakan partisipan aktif
dalam proses konseling. Konselor feminis akan memastikan bahwa konseling tidak
akan menjadi arena di mana konseli (terutama konseli wanita) tetap pasif dan
menjadi dependen. Sangatlah penting agar konseli bercerita dan memberikan
pendapat mengenai pengalamannya.
4. Situasi
Hubungan
Hubungan antara terapis dan
klien dalam terapi feminis didasarkan pada pemberdayaan dan
egalitarianisme. Terapis dan konseli mengembangkan model-model
hubungan yang terstruktur yaitu mereka mengidentifikasi dan menggunakan
kekuasaan secara bertanggung jawab. Terapis feminis menyatakan dengan
jelas nilai-nilai mereka untuk mengurangi kemungkinan konseli
mendapatkan kerugian dari hubungan mereka. Hal ini memungkinkan klien untuk
membuat pilihan apakah melanjutkan konseling atau tidak. Ini
merupakan langkah dalam proses demistifikasi.
Untuk
melaksanakan egalitarianisme terapis feminis menggunakan sejumlah strategi
(Thomas, 1977). Yaitu sebagai berikut :
Pertama,Para terapis sangat sensitif mempergunakan kekuasaan/jabatan
mereka dalam hubungan konseling. Seperti mendiagnosis, menafsirkan
atau memberikan nasihat, mampu menempatkan diri sebagai seorang
ahli atau dengan mengurangi dampak ketidakseimbangan dalam
hubungan.
Kedua, Para terapis aktif
berfokus pada kekuatan para konseli yang mereka
miliki dalam hubungan terapeutik dan memberikan ruang bagi
konseli dalam proses konseling. Terapis mendorong konseli untuk
mengidentifikasi dan mengekspresikan perasaan mereka, untuk menyadari cara mereka
melepaskan kekuasaan dalam hubungan dengan orang lain dan untuk membuat
keputusan.
Ketiga, Terapis feminis berbagi persepsi
dengan klien, menjadikan konseli sebagai mitra dalam menentukan
diagnosis. Jika terapis menunjukkan teknik tertentu, ia akan menjelaskan mengapa
dia menggunakan teknik itu dan dia menghormati sepenuhnya keputusan klien
untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan konseling. Beberapa terapis
feminis menggunakan kontrak sebagai cara untuk membuat tujuan dan proses terapi
yang jelas.
Untuk
membuat hubungan konselor dengan konseli lebih efektif maka
konselor menyertakan konseli dalam asesment dan proses
pengobatan. Konselor menyertakan konseli dari sesi
awal sampai sesi terakhir. Walden (2006) menekankan nilai
mendidik dan memberdayakan klien. Ketika
konselor memberikan informasi tentang sifat dari proses
terapi maka konseli partisipasi aktif dalam terapi
mereka. Jika konselor membuat keputusan untuk klien
daripada dengan klien, maka sesungguhnya konselor
telah merampok kekuasaan konseli dalam hubungan terapeutik.
Kolaborasi dengan klien dalam semua aspek terapi mengarah ke kemitraan sejati
dengan klien.
G. Mekanisme Pengubahan
1. Tahap-Tahap
Konseling
a.
Peran Penilaian dan Diagnosis
Terapis
feminis telah bersikap sangat kritis dari system klasifikasi dan penelitian
menunjukkan nahwa jenis kelamin, budaya, dan ras dapat mempengaruhi penilaian
gejala klien. Pada tingkatan penilaian penilaian dipengaruhioleh bentuk0bentuk
halus dari seksisme, rasisme, etnosentrisme, heterosexisme, usia atau classisme,
adalah sangat sulit untuk sampai pada penilaian yang bermakna.
Untuk
menjadi sementara terapis dalam mendiagnosis orang dari berbagai
latar belakang dan sebagai bagian dari hubungan lebih egaliter,
membangun kembali pemahaman tentang masalah dengan klien,
bukan memaksakan diagnosis pada konseli. Sesuai dengan fokus
pada pemberdayaan konseli, diagnosis adalah proses bersama dimana
konseli adalah ahli tentang makna penderitaan mereka. Penilaian dipandang
sebagai proses yang berkelanjutan antara klien dan terapis dan terhubung ke
intervensi pengobatan (Enns, 2000).
2. Teknik-Teknik
Konseling
Terapis feminis telah mengembangkan beberapa
teknik dan beberapa telah dipinjam dari pendekatan
tradisional dan disesuaikan dengan model terapi feminis. Teknik-teknik
terapi feminis ialah sebagai berikut:
a.
Empowerment/Pemberdayaan
Strategi
utama dari terapi feminis adalah memberdayakan klien.
Terapis menjelaskan harapan, mengidentifikasi tujuan
dan melakukan kontrak dengan konseli yang akan memandu
proses terapi. Konselor juga menjelaskan cara kerja
terapi sehingga tidak membingungkan dan menjadikan konseli
sebagai mitra yang aktif dalam proses terapi.
Hal ini membuat konseli belajar bahwa dia bertanggung jawab atas arah, waktu dan
prosedur terapinya
b.
Self-disclosure/Penyingkapan
diri
Terapis
feminis menggunakan terapi penyingkapan diri untuk
menyamakan derajat terapis dan konseli dalam konseling, untuk
memberikan contoh bagi konseli, berbagi pengalaman bersama
dan memberdayakan konseli. Penyingkapan diri ini harus
menunjukkan keaslian dan rasa kebersamaan dari terapis dan harus
dilakukan dengan waktu dan sifat pengungkapan yang tepat
c.
Gender-role
Analysis
Analisis
peran gender mengeksplorasi dan menilai dampak harapan peran
gender pada kesejahteraan psikologis
konseli dan menggunakan hasil
analisis ini digunakan untuk membuat keputusan
tentang perilaku peran gender dimasa yang akan datang. Analisis peran
gender berperan untuk mendukung perubahan konseli
d.
Gender-role
Intervention
Terapis menggunakan
intervensi peran gender untuk memberikan wawasan bagi konseli
tentang bagaimana harapan sosial telah mempengaruhi kondisi
psikologisnya. Pernyataan terapis akan memberikan
pencerahan bagi konseli untuk berpikir lebih positif
tentang kaum perempuan dan bagaimana dia bisa
berkontribusi untuk anak-anak perempuan muda dimasa depan.
e.
Power
Analysis
Terapis
dan konseli mengeksplorasikan ketidakadilan dan hambatan-hambatan dalam
masyarakat tentang kekuasaan dan sumber daya perempuan
serta mengidentifikasi alternative-alternatif untuk keluar dari
ketidakadilan dan hambatan-hambatan itu. Hal ini membuat konseli
akan belajar untuk menghargai dan menerima dirinya dan
tidak bergantung kepada oranglain.
f.
Bibliotherapy
Bibliotherapy dapat
menggunakan buku nonfiksi, buku-buku psikologi dan konseling,
otobiografi, buku-buku self-help, video-video pendidikan, film dan
bahkan novel
g.
Assertiveness
Training
Terapis mengajarkan
dan mempromosikan perilaku yang tegas sehingga konseli menjadi sadar
akan hak-hak mereka yang melampaui harapan-harapan sosial, mengubah
keyakinan negatif dan melakukan perubahan dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Terapis dan konseli mempertimbangkan perilaku
tegas yang sesuai dengan budaya. Konseli membuat keputusan
tentang kapan dan bagaimana menggunakan keterampilan baru itu dan terapis
akan membantu konseli untuk mengevaluasi dan mengantisipasi
konsekuensi dari sikap tegasnya itu.
h.
Reframing
dan Relabeling
Reframing dilakukan
dengan maksud agar terapis tidak menyalahkan konseli tetapi mempertimbangakan
sumber masalah konseli dari faktor sosial masyarakat. Relabeling
adalah memperbaiki label jelek yang melekat pada dirinya menjadi
label yang baru yang baik.
i.
Social
Action
Aktivitas
sosial adalah kualitas yang penting dari terapi feminis. Terapis
menyarankan kepada konseli untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga sosial
yang mengurusi kekerasan terhadap perempuan. Hal ini membuat konseli dapat
memberdayakan dirinya sendiri.
j.
Group
Work
Kelompok
kerja adalah suatu teknik konselor untuk membuat kelompok ataupun menyarankan
konseli untuk bergabung dalam suatu kelompok untuk
mendiskusikan masalah-masalah atau pengalaman-pengalaman yang mereka alami
dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini dapat menyediakan jejaring
sosial bagi mereka, dapat mengurangi perasaan terisolasi,
menciptakan lingkungan yang kondusif dan membantu perempuan menyadari
bahwa mereka tidak sendirian.
H. Hasil-Hasil Penelitian
Srebnik,
Debra & Saltzberg, Elayne A. 2008. Dalam penelitiannya dengan tema Feminist Cognitive-Behavioral Therapy for Negative Body Image. Menunjukkan, Terapi feminis
untuk citra tubuh negatif menyeimbangkan penekanan pada isu-isu sosial-budaya
dan intrapsikis, sedangkan terapi perilaku-kognitif alamat pola pikir tertentu
dan perilaku disfungsional. Tulisan ini membahas literatur tentang pendekatan
ini dan memberikan saran spesifik untuk mengembangkan sebuah model yang
terintegrasi.
1. Enns & Hackett (1990)
College women preferred feminist
counselors to non-feminist counselors when career planning, sexual harassment,
or assault was the issue.
2. Marecek et al. (1979)
67% of women in feminist therapy and
38% of women in traditional therapy found therapy to be helpful
3. Schneider (1985)
Feminist
therapists seen as most helpful for career issues versus marriage or parental concerns
I.
Kelebihan
dan Kelemahan
1. Kelebihan
a. Praktik konseling feminis adalah
yang praktik konseling yang pertama yang
sensitif gender. Orientasi
sensitif gender ini kemudian memberikan pengaruh kepada teori konseling lain
untuk memberikan perhatian pada perbedaan peran pria dan wanita di masyarakat.
b. Konseling feminis adalah konseling
yang mempertimbangkan dampak konteks budaya dan tekanan sosial terhadap masalah
konseli. Dalam memandang masalah, sebagian besar konseling berfokus pada
faktor-faktor intrapsikis. Tidak demikian halnya dengan konseling feminis;
konseling ini memperhatikan faktor-faktor intrapsikis dan konteks sosial
sebagai penyebab masalah.
c. Konseling feminis mengusahakan
kesetaraan posisi dan power antara konselor dan konseli. Sebagian besar
teori konseling memposisikan konselor lebih tinggi dari konseli. Bagi konseling
feminis, ketimpangan posisi tersebut akan semakin meningkatkan rasa
ketidakberdayaan konseli yang muncul dalam sikap ketergantungan pada konselor,
rendah self-esteem, dan sejenisnya.
2. Kelemahan
a. Konselor feminis tidak berposisi
netral. Walaupun konselor menginformasikan orientasi konseling dan nilai yang
dianutnya di awal konseling, bila tidak hati-hati, konselor dapat memaksakan
orientasi dan nilainya tersebut pada konseli.
b. Fokus konseling feminis pada
konteks sosial sebagai penyebab masalah dapat membuat konseli tidak
bertanggungjawab atas perilakunya sendiri.
c. Terdapat banyak sekali aliran
feminisme yang saling berseberangan satu sama lain sehingga juga berpengaruh
pada sulitnya menemukan kata sepakat antara para pakar dan konselor feminis.
J.
Sumber
Rujukan
Capuzzi, D. & Gross, D. R.
2007. Counseling and Psychotherapy: Theories and
Interventions. New Jersey: Pearson Merril
Prentice Hall.
Corey, G. 2009. Theory and
Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont:
Brooks/Cole.
Ivey, A. E., D’Andrea, M., Ivey,
M. B., & Morgan, L. S. 2009. Theories of
Counseling & Psychotherapy: A
Multicultural Perspective. Boston: Pearson Education, Inc.
Seligman, L. 2006. Theories of
Counseling and Psychotherapy: Systems,
Strategies, and Skills. New Jersey: Pearson Merril
Prentice Hall.
Sharf, R. S., 2004. Theories of
Psychotherapy and Counseling: Concept and
Cases. Canada: Brooks/Cole.
Casino & Gaming in Council Bluffs - Mapyro
BalasHapusWelcome to 제천 출장샵 Council Bluffs, a 안양 출장안마 premier destination 안산 출장안마 for gaming 청주 출장샵 and gaming in Council Bluffs. Visit the Casino.com website for gaming information and information Rating: 3 · 10 대구광역 출장샵 votes
Nice
BalasHapus