Minggu, 30 Maret 2014

TEORI KARIR CIP (CAREER INFORMATION PROCESSING)

Makalah ini menyajikan tentang teori pemrosesan informasi karir (CIP) yang dikembangkan oleh Gary W. Peterson, James P. Sampson Jr., Janet G. Lenz, dan Robert C. Reardon. Teori ini menunjukkan bagaimana konselor karir tidak hanya dapat membantu individu membuat pilihan karir yang tepat hari ini, tapi dapat membantu mereka memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang akan memungkinkan mereka untuk membuat pilihan karir yang tepat untuk seumur hidup. Tujuan utama dari pendekatan teoritis yang disajikan di sini adalah untuk menyediakan kerangka kerja konseptual untuk membantu individu menjadi terampil sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan karir sepanjang hidup mereka.

A. Latar Belakang Pendekatan
Pemecahan masalah karir perspektif teori kognitif dapat ditelusuri dari pekerjaan Frank Parsons, yang menjelaskan tiga faktor kunci dalam membuat pilihan karir. Ketiga faktor kunci tersebut adalah (1) pengetahuan diri; (2) pengetahuan tentang pekerjaan; dan (3) kemampuan untuk menarik hubungan antara keduanya. Parsons beralasan bahwa jika individu memiliki atribut ini, mereka tidak hanya akan membuat pilihan yang tepat bagi diri mereka sendiri tetapi juga fungsi produktif masyarakat akan lebih besar pada orang yang memiliki kecocokan pekerjaan. Ketiga faktor tersebut sekarang diwakili dalam teori CIP dengan domain pengetahuan diri, domain pengetahuan kerja, dan domain keterampilan pengambilan keputusan (Peterson dkk., 2002).
Pengetahuan diri. Prinsip dasar pertama dari model Parsons berkaitan dengan membantu individu memperoleh pengetahuan diri melalui pengukuran traits dan factors (Patterson & Darley, 1936, Williamson, 1939 dalam Peterson dkk., 2002). Berbagai macam pengembangan instrumen telah dikembangkan seperti Kuder Preference Record yang dikembangkan oleh Kuder tahun 1946 dan Strong Vocational Interest Blank yang dikembangkan oleh Strong tahun 1943. Kemudian instrumen yang lebih canggih adalah Self-Directed Search yang dikembangkan oleh Holland tahun 1994, Strong Interest Inventory yang termuat dalam Consulting Psychologists Press tahun 1994. Kemudian dikembangkan pula tes bakat seperti Inventory of Work-Related Abilities yang termuat dalam American College Testing tahun 1998, dan inventori nilai-nilai seperti Life Values Inventory yang dikembangkan oleh Crace & Brown, 1996 dan Skala Nilai yang dikembangkan oleh Super & Nevill tahun 1985.
Pengetahuan pekerjaan. Prinsip dasar kedua dari model Parsons adalah pengetahuan pekerjaan. Sistem klasifikasi kerja dikembangkan untuk memfasilitasi penyimpanan dan pengambilan informasi tentang sifat dan karakteristik pekerjaan (Peterson dkk., 2002). Beberapa sistem klasifikasi modern adalah Standard Occupational Classification Manual (U.S. Department of Commerce, 2000), the Dictionary of Holland Occupational Codes (Gottfredson & Holland, 1996), dan the O*NET (U.S. Department of Labor and the National O*NET Consortium, 1999)
Pengambilan keputusan karir. Proses berpikir seorang individu mengintegrasikan pengetahuan diri dan pengetahuan kerja untuk sampai pada pilihan pekerjaan dapat dilihat sebagai garis ketiga dari penyelidikan perkembangan karir. Awal teori keputusan karir dari Janis & Mann (1977), Gelatt (1962, 1989), Katz (1963, 1969), dan Miller-Tiedeman (1977), yang merumuskan model model keputusan karir dapat ditempuh melalui lima langkah menyeluruh, yaitu: (1) mendefinisikan masalah; (2) memahami penyebabnya; (3) merumuskan alternatif; (4) memprioritaskan alternatif dan tiba di pilihan pertama; (5) melaksanakan solusi dan mengevaluasi hasil (Peterson dkk., 2002).
Seiring dengan perkembangan dari garis-garis penyelidikan, kekuatan paralel dalam psikologi kognitif atau ilmu kognitif telah muncul yang menawarkan alternatif cara berpikir tentang pilihan karir dan perkembangan karir. Paradigma ini, disebut sebagai teori pengolahan informasi karir (CIP), yang awalnya dirumuskan dalam karya-karya dari Hunt (1971), Newell & Simon (1972), dan Lackman, Lackman, dan Butterfield (1979). CIP memperkenalkan konsep-konsep perspektif baru yang penting untuk teori-teori pilihan karir dan perkembangan karir dan praktek konseling karir, terutama jika konselor karir berusaha untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah karir individu. Dengan paradigma CIP, dapat berpikir lebih komprehensif dan sistematis tentang bagaimana konseli dapat menjadi mandiri dan bertanggung jawab sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan karir (Peterson, Sampson, & Reardon, 1991; Reardon dkk., 2000 dalam Peterson dkk., 2002).

B. Konsep Teori Career Information Processing (CIP)
Tujuan pendekatan CIP adalah untuk membantu individu-individu membuat suatu pilihan karir yang tepat, dan belajar meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir yang diperlukan untuk pilihan-pilihan di masa mendatang. Pendekatan CIP memungkinkan para konselor untuk secara terus-menerus menangani permasalahan-permasalahan karir konseli saat ini dan juga mengajari mereka keterampilan-keterampilan untuk membuat keputusan-keputusan karir selama rentang kehidupannya (Peterson dkk., 2002). Dalam paradigma CIP kita bertanya, “Apa yang dapat kita lakukan sebagai konselor karir untuk memungkinkan individu memperoleh pengetahuan diri, pengetahuan pekerjaan, dan pemecahan masalah karir serta keterampilan pengambilan keputusan untuk menjadi efektif dan bertanggung jawab dalam pemecahan masalah dan pengambil keputusan karir?” Paradigma selanjutnya dijelaskan berusaha untuk menjawab pertanyaan ini.

1. Definisi
Definisi berikut adalah pusat dari paradigma CIP, yang meliputi penjelasan dari definisi permasalahan karir, ruang masalah, pemecahan masalah karir, pengambilan keputusan karir, kesiapan untuk pemecahan masalah karir dan pengambilan keputusan, perkembangan karir, dan gaya hidup (Peterson dkk., 2002). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Permasalahan karir adalah sebuah gap/kesenjangan antara keadaan sekarang yang bimbang/meragukan dan keadaan yang lebih diinginkan (Peterson dkk., 2002; Sampson dkk., 1999). Kesenjangan menciptakan disonansi kognitif (Festinger, 1964 dalam Peterson dkk., 2002) yang menjadi sumber motivasi utama yang mendorong proses pemecahan masalah. Sebagai konselor karir, sebaiknya dapat membantu konseli dari permasalahan karir, yang terlibat dalam keraguan, kecemasan, depresi, dan lokus kendali eksternal menuju keadaan yang lebih teratur dengan atribut seperti integrasi, kemampuan untuk merencanakan, harapan, rasa percaya diri, dan lokus kendali internal.
b. Ruang masalah adalah semua komponen kognitif dan afektif yang terkandung dalam memori kerja sebagai pendekatan individu dalam melakukan pemecahan masalah karir (Peterson dkk., 2002).
c. Pemecahan masalah karir adalah seperangkat kompleks dari proses berpikir yang melibatkan pengakuan keadaan keraguan karir, analisis penyebab, perumusan dan klarifikasi program alternatif tindakan, dan memilih salah satu alternatif tersebut untuk mencapai keadaan yang lebih terintegrasi. Masalah karir terselesaikan jika pilihan karir yang diambil adalah alternatif yang layak (Peterson dkk., 2002).
d. Pengambilan keputusan karir adalah sebuah proses yang tidak hanya meliputi pilihan karir tetapi melibatkan membuat komitmen untuk melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan pilihan (Peterson dkk., 2002; Sampson dkk., 1999).
e. Kesiapan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir adalah kemampuan individu untuk membuat pilihan karir yang tepat, dengan mempertimbangkan kompleksitas keluarga, faktor sosial, ekonomi, dan organisasi yang mempengaruhi perkembangan karir individu (Peterson dkk., 2002).
f. Perkembangan karir adalah pelaksanaan serangkaian keputusan karir yang merupakan jalur karir yang terintegrasi sepanjang hayat (Peterson dkk., 2002).
g. Gaya hidup adalah integrasi keputusan dalam karir, pribadi, dan hubungan keluarga, spiritualitas, dan rekreasi yang menghasilkan tujuan membimbing, memaknai, dan arah dalam kehidupan seseorang (Peterson dkk., 2002).

2. Hakekat permasalahan karir
Banyak dari apa yang diketahui tentang kognisi dalam pemecahan masalah telah diperoleh dari penelitian tentang bagaimana individu memecahkan masalah matematika, masalah fisika, dan analogi verbal. Proses kognitif yang digunakan untuk memecahkan jenis-jenis masalah biasanya muncul pada tes standar. Dalam jenis-jenis masalah, isyarat didefinisikan dengan baik, semua informasi yang dibutuhkan disediakan, dan hanya satu solusi terbaik memenuhi kondisi yang diberikan dalam pernyataan masalah.
Namun, berbeda dengan pemecahan masalah karir yang merupakan persoalan lain. Menurut Peterson dkk., (2002) tanda-tanda terkait masalah karir seringkali rumit dan tidak jelas, dan reaksinya membebani secara emosional. Tanda-tanda ini mungkin berisi informasi yang terlalu banyak atau terlalu sedikit untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara efektif. Selain itu, opsi untuk memecahkan masalah harus diciptakan oleh pemecah masalah, dan mungkin tidak ada pilihan yang benar atau terbaik. Bahkan, dengan masalah karir itu lebih berguna untuk merujuk pada jawaban sebagai solusi optimal daripada solusi akurat, karena tidak ada alternatif tunggal yang dapat memenuhi semua kondisi dalam keadaan tertentu.

3. Asumsi dan proposisi
Menurut Peterson dkk., (2002) empat asumsi pokok mengenai penerapan teori CIP untuk pemecahan masalah karir dan pengambilan keputusan adalah sebagai berikut.
a. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir melibatkan interaksi proses afektif dan kognitif. Meskipun CIP menekankan kognisi, emosi juga merupakan bagian integral dari tugas manusia yang kompleks seperti pemecahan masalah karir (Epstein, 1994; Heppner & Krauskopf, 1987; Lazarus, 1982; Saunders dkk., 2000; Zajonc, 1980 dalam Peterson dkk., 2002).
b. Kemampuan untuk pemecahan masalah karir tergantung pada ketersediaan operasi kognitif serta pengetahuan (Sampson dkk., 2000).
c. Pengembangan karir melibatkan pertumbuhan terus-menerus dan perubahan struktur pengetahuan (Peterson, 1998 dalam Peterson dkk., 2002). Pengetahuan diri dan pengetahuan kerja terdiri dari jaringan struktur memori yang disebut schemata (bentuk tunggal adalah skema) yang berkembang dari tahun ke tahun. Karena dunia kerja dan individu selalu berubah, kebutuhan untuk mengembangkan dan mengintegrasikan domain ini tidak pernah berhenti.
d. Tujuan konseling karir adalah peningkatan keterampilan pengolahan informasi. Dari perspektif CIP, konseling karir melibatkan menyediakan kondisi belajar yang meningkatkan pengetahuan diri dan pengetahuan pekerjaan, serta pengembangan keterampilan pemecahan masalah karir yang mengubah informasi menjadi keputusan karir yang memuaskan dan bermakna. Semakin berkembangnya kemampuan ini diperlukan bagi individu untuk mengelola kejadian tak terelakkan dari masalah karir yang muncul sepanjang perjalanan seumur hidup (Peterson dkk., 2002).

4. Operasi
Menurut Peterson dkk., (2002) dua bentuk proses pembelajaran mendasar dari CIP adalah (a) perkembangan pengetahuan diri dan struktur pengetahuan pekerjaan yang mendasari pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir dan (b) perkembangan keterampilan transformasi informasi yang mengambil salah satu pengakuan masalah karir untuk pelaksanaan keputusan dalam mengurangi atau menghilangkan masalah karir. Dari sebuah adaptasi karya Sternberg 1980, 1985 (dalam Peterson dkk., 2002), kemampuan ini dapat dibayangkan dalam bentuk piramida domain pengolahan informasi dengan tiga tingkat hirarki seperti yang ditampilkan pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Piramida domain pengolahan informasi
Untitled4
Sumber: Career Development and Services: A Cognitive Approach by G. W. Peterson, J. P. Sampson, and R. C. Reardon. Copyright © 1991 yang dikutip oleh Peterson dkk, 2002.
Perkembangan pengetahuan diri. Menurut Peterson dkk., (2002) informasi diri disimpan dalam memori episodik, dan menyesuaikan perasaan-perasaan seseorang terhadap memori-memori tersebut untuk menghadirkan peristiwa-peristiwa atau pengetahuan tentang diri yang memperkuat suatu skema atau kerangka kerja untuk memahami pilihan, nilai, dan keterampilan. Penilaian-penilaian seperti daftar/inventori minat, skala nilai, dan tes kemampuan itu kemungkinan membantu para konseli mengartikulasikan dan mengembangkan apa yang mereka ketahui mengenai diri mereka sendiri. Menurut Peterson dkk., (2002) akuisisi pengetahuan diri melibatkan dua proses dasar: (a) interpretasi peristiwa dan (b) rekonstruksi kejadian. Interpretasi melibatkan pencocokan sensasi peristiwa yang hadir dengan peristiwa yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang (LTM). Sedangkan rekonstruksi melibatkan menafsirkan peristiwa masa lalu untuk menyesuaikan peristiwa yang hadir dalam konteks sosial seseorang. Dalam mengamati peristiwa ini, kita memanfaatkan skema yang ada dalam domain pengetahuan diri untuk memahami situasi.
Perkembangan pengetahuan pekerjaan. Tingkat diferensiasi dan kompleksitas pengetahuan kerja memiliki pengaruh langsung pada kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi pilihan yang tepat pada setiap titik waktu tertentu (Neimeyer, 1988, 1992; Nevill dkk., 1986 dalam Peterson dkk., 2002). Menurut Peterson dkk., (2002) pengetahuan pekerjaan terdiri atas dua proses pokok yaitu generalisasi skema dan spesialisasi skema. Generalisasi skema melibatkan tindakan menghubungkan pekerjaan-pekerjaan spesifik pada konstruk terkait kerja yang lebih abstrak. Spesialisasi skema adalah konversi dari generalisasi skema menjadi informasi menjadi lebih spesifik. Basis pengetahuan kerja mencakup apa yang diketahui konseli mengenai karir dan dikembangkan melalui pendidikan dan penelitian. Gagasan-gagasan yang dimunculkan melalui pengalaman kerja sebelumnya, pendidikan atau pelatihan, penilaian pengetahuan diri, dan pelaporan diri konseli hendaknya mengarahkan eksplorasi dan pengembangan pengetahuan kerja.
Perkembangan keterampilan pengambilan keputusan. Dalam CIP, siklus CASVE (Communication, Analysis, synthesis, Valuing, dan Execution) berfungsi sebagai suatu basis untuk membantu para konseli dengan pengambilan keputusan (Peterson dkk., 2002; Brown, 2007). Siklus CASVE dapat diilustrasikan dalam gambar 1.2 berikut ini.
Gambar 1.2 Lima tahap dalam siklus CASVE
Untitled
Sumber: Career Development and Services: A Cognitive Approach by G. W. Peterson, J. P. Sampson, and R. C. Reardon. Copyright © 1991 yang dikutip oleh Peterson dkk, 2002.
a. Communication. Dalam tahap komunikasi, informasi diterima oleh organ-organ indera dan ditafsirkan dalam korteks serebral. Masalah muncul ketika otak memberikan sinyal munculnya kesenjangan antara keadaan yang ada sekarang dan keadaan yang diinginkan. Sinyal mungkin berasal dari tuntutan eksternal (misalnya, kebutuhan untuk memilih jurusan perguruan tinggi, mendapatkan pekerjaan, atau untuk bereaksi terhadap masukan dari orang lain yang signifikan) atau dari keadaan internal seperti kecemasan, depresi, kebingungan, perilaku menghindar, atau stres. Kemudian menanyakan pada diri sendiri dan lingkungan untuk mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan yang ada dan keadaan yang lebih diinginkan, permintaan seperti itu berfungsi untuk membingkai masalah (Cochran, 1994 dalam Peterson dkk., 2002). Identifikasi terhadap kesenjangan menciptakan ketegangan (disebut disonansi kognitif) yang menyediakan sumber daya motivasi untuk mencari resolusi untuk masalah karir (Festinger, 1964 dalam Peterson, 2002).
b. Analysis. Dalam tahap analisis, penyebab masalah diidentifikasi dan berhubungan dengan komponen-komponen masalah ditempatkan dalam kerangka konseptual. Dalam tahap ini, pemecah masalah yang efektif mundur dan terlibat dalam refleksi untuk memahami dimensi dari masalah dan penyebabnya.
c. Synthesis. Dalam tahap sintesis, kemungkinan program aksi yang dirumuskan melalui dua proses, yaitu elaborasi dan kristalisasi. Elaborasi melibatkan generasi kreatif berbagai solusi yang mungkin, bahkan yang tidak mungkin, melalui teknik seperti brainstorming, membuat analogi atau metafora, dan terlibat dalam relaksasi mental untuk membebaskan pikiran dari kendala realitas. Kristalisasi adalah penyempitan pilihan potensial untuk satu perangkat alternatif yang layak melalui penerapan konstruksi pribadi.
d. Valuing. Tahapan penilaian mencakup evaluasi dari alternatif-alternatif, menentukan kelangsungan hidup pilihan yang potensial, dan memprioritaskan kesempatan karir. Selama tahapan ini, para konseli secara cermat memperhatikan bagaimana nilai-nilai mereka berinteraksi dengan pilihan-pilihan karir.
e. Execution. Pada tahap eksekusi, melibatkan upaya memunculkan suatu rencana aksi (action plan) untuk menutup gap/kesenjangan dan mengejar pilihan pertama konseli ke arah pengembangan karir dan gaya hidup yang diharapkan.
Setelah melaksanakan rencana, kembali ke tahap komunikasi untuk mengevaluasi apakah keputusan berhasil menghapus kesenjangan. Jika demikian, individu bergerak untuk memecahkan masalah berikutnya yang timbul dari pelaksanaan solusi. Jika tidak, menggunakan kembali siklus CASVE dengan informasi baru terkait pemasalahan yang timbul untuk memecahkan masalah tersebut. Tahap terakhir ini memerlukan perenungan dan peninjauan proses pemecahan masalah itu sendiri untuk meningkatkan keterampilan pemecahan masalah karir berikutnya atau bahkan generalisasi untuk masalah kehidupan nyata lainnya.

5. The executive processing domain
Masih ada seperangkat fungsi kognitif tingkat tinggi yang diperlukan untuk memantau, membimbing, dan mengatur fungsi-fungsi yang lebih rendah dari piramida domain pengolahan informasi, yaitu, akuisisi, penyimpanan, dan pengambilan informasi, serta untuk melaksanakan strategi kognitif untuk memecahkan masalah (Belmont & Butterfield, 1977 dalam Peterson dkk., 2002). Keterampilan domain ini disebut sebagai metakognisi (Flavell, 1979; Meichenbaum, 1977 dalam Peterson dkk., 2002). Metakognisi terdiri dari domain (a) self-talk; (b) self-awareness; dan (c) monitoring and controlling (Peterson dkk., 2002; Sampson, 1999).
Self-talk. Untuk menjadi pemecah masalah yang mandiri dan bertanggung jawab, individu juga harus menjadi sahabat mereka sendiri sebagai pemecah masalah. Individu yang menggunakan dan percaya pada self-talk positif seperti, “Saya bisa belajar untuk menjadi pemecah masalah karir yang baik” atau “Saya tahu dan percaya bahwa keputusan karir saya ambil akan menjadi keputusan yang tepat untuk saya,” akan menjadi tugas pemecahan masalah karir yang baik dibandingkan orang yang menggunakan self-talk negatif seperti, “Saya sudah mencoba untuk menemukan pekerjaan yang baik berkali-kali sebelumnya, tapi aku tidak pernah bisa sampai pada keputusan yang baik”.
Self-awareness. Salah satu karakteristik individu yang memiliki kinerja yang baik adalah individu memiliki kemampuan untuk mempertahankan kesadaran diri bahwa individu yang bersangkutan memiliki kesadaran untuk menjadi bagian dari pekerjaan tertentu. Kesadaran diri memungkinkan pemecah masalah untuk melemahkan self-talk negatif dan memiliki kebutuhan untuk lebih memahami diri atau memahami informasi pekerjaan.
Monitor and Control. Melalui monitoting, pemecah masalah yang baik akan merasakan jika jumlah informasi yang cukup telah diperoleh dalam setiap tahap dalam siklus, maka akan melanjutkan ke tahap berikutnya. Fungsi controling kemudian bergerak maju ke tahap berikutnya ketika satu tahap selesai atau kembali ke tahap sebelumnya untuk dipertimbangkan lebih menyeluruh bila diperlukan. Sehingga monitoring dan controlling berfungsi sebagai “kualitas kontrol” mekanisme untuk memastikan perkembangan yang lengkap, teratur, dan tepat waktu melalui siklus CASVE.

6. Pertimbangan budaya dalam penggunaan CIP
CIP seringkali diartikan memiliki paradigma budaya bebas, akan tetapi, dalam prakteknya perbedaan latar belakang etnis dan ras konseli berpengaruh terhadap bagaimana konseli memecahkan masalah pengambilan keputusan karir (Peterson dkk., 2002). Untuk mendapatkan rasa bagaimana keragaman manusia dikelola dalam kerangka CIP, contoh pertimbangan budaya disajikan sebagai berikut.
Akuisisi Self-Knowledge. Prinsip perkembangan struktur pengetahuan diri terletak pada penggunaan tes dan inventori bernorma dalam penilaian konstruksi kepribadian dan kemampuan. Skor dari instrumen tersebut sering digunakan dalam konseling karir untuk memeriksa adanya persepsi diri dimensi kepribadian dalam perumusan dan identifikasi peluang karir. Namun, validitas pengukuran tersebut dapat dipertanyakan ketika pengalaman hidup yang menentukan perkembangan pengetahuan diri dan kesempatan untuk menguasai keterampilan kognitif berbeda dari budaya yang dominan (Peterson dkk., 2002). Dengan demikian konselor perlu memberi penekanan kebenaran tes untuk mengeksplorasi minat dan kemampuan konseli ketika budaya konseli berbeda dari budaya yang dominan.
Akuisisi Occupational Knowledge. Masalah budaya dan antar generasi dalam perolehan pengetahuan pekerjaan berhubungan dengan (a) luasnya pengalaman dan kesempatan untuk belajar tentang kompleksitas dunia kerja; (b) makna dan sikap yang melekat pada pengetahuan yang diperoleh; dan (c) proses melalui pengetahuan kerja berasimilasi dan disimpan (Peterson dkk., 2002). Jika individu kurang membuka diri terhadap lingkungan di mana anggota keluarga atau orang lain bekerja, kemungkinan pengetahuan dunia kerja mereka juga sempit. Selain itu, jika pengetahuan kerja yang berasimilasi dan berhubungan dengan sikap negatif, dunia kerja tidak akan dipandang sebagai tempat di mana potensi kreatif seseorang dapat diaktualisasikan tetapi sebagai ancaman, tempat menindas dengan sedikit imbalan, finansial atau sosial. Akhirnya, anggota kelompok budaya tertentu dapat memperoleh pengetahuan kerja lebih efektif melalui proses konstruksi sosial, bukan melalui proses konstruksi individu (Lyddon, 1995 dalam Peterson dkk., 2002). Jadi belajar tentang pekerjaan dalam kelompok keluarga dan masyarakat mungkin lebih bermakna dan relevan daripada belajar secara individual dari media cetak atau media lainnya (Fouad & Arbona, 1994 dalam Peterson., 2002).
Akuisisi Keterampilan Pengambilan Keputusan Karir. Menurut Peterson dkk., (2002) isu-isu budaya yang penting hadir dalam setiap tahapan siklus CASVE. Pada tahap komunikasi, anggota kelompok minoritas harus menjadi sadar dan menjelajahi berbagai komponen afektif dalam ruang masalah yang dihasilkan dari bias kelembagaan dan budaya, rasisme, dan penindasan dalam pendidikan dan tempat kerja. Pada tahap analisis, anggota kelompok minoritas dapat mengeksternalisasi masalah karir seperti, “Saya ragu-ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi karena rasisme dan penindasan masyarakat, itu benar-benar tidak peduli apa yang saya lakukan”. Dalam sintesis, anggota kelompok budaya atau etnis mungkin dapat merenggut pekerjaan yang mereka kenal di mana mungkin ada kesempatan terbatas untuk sukses. Dalam proses menilai, pertimbangan menonjol melibatkan keseimbangan relatif pentingnya antara keyakinan sendiri seseorang dan pengaruh orang lain yang signifikan atau kelompok budaya dalam membuat pilihan karir. Akhirnya, pada tahap eksekusi, masalah umum adalah menghadapi dan mengatasi resistensi dan kendala bias budaya atau ras dan prasangka di tempat kerja sebagai satu kebenaran tes pilihan pekerjaan.
Pengolahan Domain Eksekutif. Masalah budaya dalam domain ini melibatkan sifat metakognitif, terutama self-talk, yang berperan dalam mengatur proses kognitif yang lebih rendah di piramida domain pengolahan informasi (Peterson dkk., 2002). Self-talk negatif sangat membatasi atau mendistorsi formulasi dan pertimbangan pilihan karir, yang dapat menyebabkan tindakan tidak pantas atau bahkan tidak bertindak apapun. Ungkapan-ungkapan seperti, “Aku tidak bisa karena aku….” Atau “Ya, tetapi anggota kelompok saya….” mengingatkan konselor akan adanya disfungsi dalam domain pengolahan eksekutif (metakognisi). Anggota kelompok yang kurang beruntung harus menyadari kendala metakognitif yang menghambat kemajuan tahap siklus CASVE. Restrukturisasi kognitif dapat membantu memberdayakan individu untuk mengembangkan dan menerapkan self-statements dan perasaan positif baru dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir.

C. Aplikasi Teori CIP dalam Bimbingan dan Konseling
1. Model kesiapan dua-dimensi untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir
Pada tahap komunikasi dari siklus CASVE, ketika individu menyadari masalah karir dan mencari bantuan, mereka bervariasi dalam hal keadaan kesiapan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Kesiapan didefinisikan sebagai “kapabilitas seorang individu untuk membuat pilihan karir dengan mempertimbangkan kompleksitas dari faktor keluarga, sosial, ekonomi, dan organisasi yang mempengaruhi pengembangan karir individu” (Sampson dkk., 2000). Kapabilitas berkaitan dengan faktor internal, sedangkan kompleksitas berkaitan dengan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir (Peterson dkk., 2002).
Dimensi kapabilitas. Kapabilitas didefinisikan sebagai “kemampuan kognitif dan afektif individu untuk terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir yang efektif” (Sampson dkk., 2000). Menurut Peterson dkk., (2002) kapabilitas orang yang sukses dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir dipengaruhi oleh:
a. Kesediaan untuk mengeksplorasi pengetahuan tentang diri (misalnya, nilai-nilai, minat, dan keterampilan) yang mengarah pada pengetahuan diri.
b. Motivasi untuk belajar tentang dunia kerja (domain pengetahuan kerja)
c. Kesediaan untuk mempelajari dan terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir, termasuk kapasitas untuk berpikir jernih tentang masalah karir, kepercayaan pada kemampuan untuk membuat keputusan, komitmen untuk menindaklanjuti dengan rencana aksi, dan penerimaan tanggung jawab pribadi untuk pengambilan keputusan (domain pengambilan keputusan keterampilan)
d. Kesadaran tentang bagaimana pikiran dan perasaan negatif dapat membatasi kemampuan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan, kesediaan untuk mencari bantuan terkait pilihan karir bila diperlukan, dan kemampuan untuk memonitor dan mengatur proses kognitif yang lebih rendah dalam pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (domain pengolahan eksekutif).
Dimensi kompleksitas. Kompleksitas menyinggung keluasan isu-isu yang saling terkait dengan masalah karir dalam ruang masalah dan didefinisikan sebagai “faktor-faktor kontekstual, yang berasal dari keluarga, masyarakat, organisasi yang mempekerjakan, atau ekonomi, yang membuatnya mudah atau sulit untuk memproses informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah karir dan membuat keputusan karir” (Sampson dkk., 2000).

2. Membuat keputusan tentang intervensi karir
Berdasarkan perspektif CIP, keefektifan layanan karir bergantung pada tingkat pertemuan dukungan konselor, tetapi tidak melebihi kebutuhan konseli (Peterson dkk., 2002). Oleh karena itu, konseli yang memiliki kesiapan pengambilan keputusan karir tinggi, paling efektif dilayani dengan layanan self-help. Konseli yang memiliki kesiapan pengambilan keputusan karir menengah, paling efektif dilayani dengan brief staff-assisted services. Konseli yang memiliki kesiapan pengambilan keputusan rendah, paling efektif dilayani dengan individual case-managed services. Gambar 1.3 menunjukkan hubungan antara kapabilitas dan kompleksitas dengan tingkat pelayanan karir yang meliputi self-help services, brief staff-assisted services, dan individual case-managed services.
Gambar 1.2 Model dua dimensi kesiapan pengambilan keputusan karir
Untitled
Sumber: Sampson dkk., 2000. Using Readiness Assessment to Improve Career Services: A Cognitive Information-Processing Approach. The Career Development Quarterly, 49: 146-174.
Self-help services. Layanan karir self-help ditujukan untuk konseli yang memiliki kesiapan tinggi dalam mengambil keputusan karir. dalam layanan ini, menekankan pada potensi individu untuk membimbing diri dengan menggunakan sumber-sumber yang ada dalam perpustakaan atau internet, yang mana sumber-sumber tersebut digunakan oleh konseli untuk pengambilan keputusan karir (Sampson dkk., 2000).
Brief staff-assisted services. Layanan karir brief staff-assisted melibatkan penggunaan panduan yang disusun praktisi sebagai sumber daya karir di kelas, atau kelompok dari konseli dengan kesiapan menengah untuk pilihan karir. Contoh layanan karir brief staff-assisted meliputi (1) mengarah diri dalam pengambilan keputusan karir; (2) program karir dengan interaksi kelompok besar; (3) konseling kelompok jangka pendek; dan (4) lokakarya (Sampson dkk., 2000).
Individual case-managed services. Layanan karir individual case-managed melibatkan penggunaan panduan yang disusun praktisi sebagai sumber daya karir di kantor, kelas, atau kelompok konseli dengan kesiapan rendah untuk pilihan karir. Contoh layanan karir individual case-managed meliputi (1) konseling individu; (2) kursus karir dengan interaksi kelompok kecil; dan (3) konseling kelompok jangka panjang (Sampson dkk., 2000).
3. Sikuen penyampaian tujuh langkah
Pendekatan CIP dapat disampaikan dalam self-help, brief staff-assisted, dan intervensi pengelolaan kasus individual melalui urutan tujuh langkah (Peteson dkk., 2002). Siklus CASVE seringkali dilaksanakan melalui pengembangan dan pelaksanaan Perencanaan Pembelajaran Individu (Clemens & Milsom, 2008).
a. Wawancara awal
Dalam langkah ini, konselor menggali informasi tentang konteks dan sifat dari masalah dan ruang masalah karir. Dimulai pada wawancara awal dan terus berlanjut sampai tujuh langkah, konselor (1) hadir untuk kedua komponen emosional dan kognitif masalah konseli; (2) mengembangkan hubungan dengan konseli dengan menerapkan keterampilan-keterampilan dasar konseling seperti empati, klarifikasi, membuat kesimpulan, dan pertanyaan-pertanyaan terbuka; (3) menggunakan self-disclosure yang tepat untuk meningkatkan hubungan konseling; dan (4) menggunakan kedekatan untuk meningkatkan hubungan konseling dan mengidentifikasi masalah yang perlu diperhatikan.
b. Asesmen permulaan
Langkah kedua dalam mengimplementasikan pendekatan CIP adalah asesmen permulaan. Asesmen permulaan diperlukan untuk menentukan kesiapan individu untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara awal dan hasil penilaian kesiapan individu untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir, hasil dari proses asesmen permulaan adalah penentuan tingkat kesiapan konseli untuk pengambilan keputusan apakah rendah, sedang, atau tinggi.
c. Mendefinisikan permasalahan dan menganalisis sebab
Konselor dan konseli mendefinisikan masalah sebagai kesenjangan antara keadaan keraguan karir saat sekarang dan keadaan yang diinginkan dari keputusan karir. kemudian, konselor dan konseli menganalisis sebab-sebab terjadinya permasalahan.
d. Merumuskan tujuan
Konselor dan konseli bersama-sama mengembangkan tujuan yang ingin dicapai untuk mengatasi permasalahan. Tujuan yang dicapai tersebut dinyatakan dalam Individual Learning Program (ILP). Kesediaan konselor untuk berkolaborasi dengan konseli dalam menetapkan tujuan memberikan pesan penting bahwa konseli mengendalikan proses dan mampu memberikan kontribusi positif terhadap proses konseling.
e. Mengembangkan individual learning program (ILP)
Pada tahap yang kelima adalah konselor bekerjasama dengan konseli mengembangkan ILP untuk membantu konseli mencapai tujuan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir. Dalam ILP tersebut menjelaskan kegiatan-kegiatan, tujuan kegiatan tersebut, waktu yang diperlukan untuk tiap-tiap kegiatan, dan prioritas dari tiap kegiatan
f. Melaksanakan ILP
Pada tahap yang keenam ini, konseli melaksanakan ILP yang telah dibuat sebelumnya. Dalam tahap ini konselor memainkan peranan supportif/mendukung, menginterpretasikan hasil-hasil tes standar dan memberikan dorongan dan klarifikasi melalui proses penyelesaian aktivitas-aktivitas yang disetujui.
g. Reviu sumatif dan generalisasi
Konseli menyelesaikan ILP yang telah disusun dan bertemu dengan konselor untuk suatu sesi akhir untuk merangkum, mereviu, dan menggeneralisir informasi yang dikumpulkan dari proses tersebut. Konseli mengakui bahwa ia lebih dekat untuk mencapai gaya hidup yang diinginkannya, sesuatu yang terhormat dan stabil.

D. Hasil-Hasil Penelitian Teori CIP
Penelitian yang dilakukan oleh McLennan & Arthur (1999) berjudul “Applying the Cognitive Information Processing Approach to Career Problem Solving and Decision Making to Women’s Career Development”. Hasil penelitian tersebut adalah penerapan pendekatan CIP dapat membantu memecahkan masalah dan mengambil keputusan karir dalam pengembangan karir perempuan. Peneliti percaya bahwa kerangka yang disajikan memiliki kekuatan untuk digunakan kepada konseli perempuan. Ini merupakan integrasi dari perspektif dan teori yang sudah ada dan memberikan hubungan yang kuat antara teori dan praktek.
Penelitian yang dilakukan oleh Reardon & Wright (1999) yang berjudul “The Case of Mandy: Applying Holland’s Theory and Cognitive Information Processing Theory”. Penelitian ini berusaha menjelaskan kasus yang dialami oleh mahasiswa bernama Mandy yang sedang dalam mengalami kebingungan karir. Peneliti berusaha membantu Mandy untuk mencapai pengetahuan diri dengan menggunakan instrumen Self-Directed Search (SDS) yang berakar pada teori Holland. Setelah Mandy mencapai pengetahuan diri, peneliti membantu Mandy untuk mendapatkan pengetahuan pekerjaan berdasarkan hasil intrumen SDS. Kemudian, yang terakhir peneliti membantu Mandy dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir yang tepat, yaitu menjadi guru.
E. Kesimpulan
Pemecahan masalah karir perspektif teori kognitif melibatkan tiga faktor kunci dalam membuat pilihan karir. Ketiga faktor kunci tersebut adalah pengetahuan diri, pengetahuan tentang pekerjaan, dan keterampilan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir. Jika individu memiliki ketiga atribut ini, mereka tidak hanya akan membuat pilihan karir yang tepat bagi diri mereka sendiri tetapi juga fungsi produktif dalam masyarakat akan lebih besar pada orang yang memiliki kecocokan pekerjaan.

Daftar Pustaka
Brown, D. 2007. Career Information, Career Counseling, and Career Development. USA: Pearson Education, Inc.
Clemens, E.V. & Milsom, A.S. 2008. Enlisted Service Members Transition Into the Civilian World of Work: A Cognitive Information Processing Approach. The Career Development Quarterly, 56: 246-256.
McLennan, N.A. & Arthur, N. 1999. Applying the Cognitive Information Processing Approach to Career Problem Solving and Decision Making to Women’s Career Development. Journal of Employment counseling, 36: 82-96.
Peterson, G.W., dkk. 2002. A Cognitive Information Processing Approach to Career Problem Solving and Decision Making (D. Brown & Associates, Ed.). San Francisco: John Wiley & Sons, Inc.
Reardon, R.C. & Wright, L.K. 1999. The Case of Mandy: Applying Holland’s Theory and Cognitive Information Processing Theory. The Career Development Quarterly, 47: 195-203.
Sampson, J.P., dkk. 1999. A Cognitive Information Processing Approach to Employment Problem Solving and Decision Making. The Career Development Quarterly, 48: 3-18.
Sampson, J.P., dkk., 2000. The Viability of Readiness Assessment in Contributing to Improved Career Services: Response to Jepsen (2000). The Career Development Quarterly, 49: 179-185.
Sampson, J.P., dkk., 2000. Using Readiness Assessment to Improve Career Services: A Cognitive Information-Processing Approach. The Career Development Quarterly, 49: 146-174.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar