Makalah ini menyajikan tentang teori pemrosesan informasi karir (CIP)
yang dikembangkan oleh Gary W. Peterson, James P. Sampson Jr., Janet G.
Lenz, dan Robert C. Reardon. Teori ini menunjukkan bagaimana konselor
karir tidak hanya dapat membantu individu membuat pilihan karir yang
tepat hari ini, tapi dapat membantu mereka memperoleh pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang akan memungkinkan mereka untuk membuat
pilihan karir yang tepat untuk seumur hidup. Tujuan utama dari
pendekatan teoritis yang disajikan di sini adalah untuk menyediakan
kerangka kerja konseptual untuk membantu individu menjadi terampil
sebagai pemecah masalah dan pengambil keputusan karir sepanjang hidup
mereka.
A. Latar Belakang Pendekatan
Pemecahan masalah karir perspektif teori kognitif dapat ditelusuri dari
pekerjaan Frank Parsons, yang menjelaskan tiga faktor kunci dalam
membuat pilihan karir. Ketiga faktor kunci tersebut adalah (1)
pengetahuan diri; (2) pengetahuan tentang pekerjaan; dan (3) kemampuan
untuk menarik hubungan antara keduanya. Parsons beralasan bahwa jika
individu memiliki atribut ini, mereka tidak hanya akan membuat pilihan
yang tepat bagi diri mereka sendiri tetapi juga fungsi produktif
masyarakat akan lebih besar pada orang yang memiliki kecocokan
pekerjaan. Ketiga faktor tersebut sekarang diwakili dalam teori CIP
dengan domain pengetahuan diri, domain pengetahuan kerja, dan domain
keterampilan pengambilan keputusan (Peterson dkk., 2002).
Pengetahuan diri. Prinsip dasar pertama dari model Parsons berkaitan
dengan membantu individu memperoleh pengetahuan diri melalui pengukuran
traits dan factors (Patterson & Darley, 1936, Williamson, 1939 dalam
Peterson dkk., 2002). Berbagai macam pengembangan instrumen telah
dikembangkan seperti Kuder Preference Record yang dikembangkan oleh
Kuder tahun 1946 dan Strong Vocational Interest Blank yang dikembangkan
oleh Strong tahun 1943. Kemudian instrumen yang lebih canggih adalah
Self-Directed Search yang dikembangkan oleh Holland tahun 1994, Strong
Interest Inventory yang termuat dalam Consulting Psychologists Press
tahun 1994. Kemudian dikembangkan pula tes bakat seperti Inventory of
Work-Related Abilities yang termuat dalam American College Testing tahun
1998, dan inventori nilai-nilai seperti Life Values Inventory yang
dikembangkan oleh Crace & Brown, 1996 dan Skala Nilai yang
dikembangkan oleh Super & Nevill tahun 1985.
Pengetahuan pekerjaan. Prinsip dasar kedua dari model Parsons adalah
pengetahuan pekerjaan. Sistem klasifikasi kerja dikembangkan untuk
memfasilitasi penyimpanan dan pengambilan informasi tentang sifat dan
karakteristik pekerjaan (Peterson dkk., 2002). Beberapa sistem
klasifikasi modern adalah Standard Occupational Classification Manual
(U.S. Department of Commerce, 2000), the Dictionary of Holland
Occupational Codes (Gottfredson & Holland, 1996), dan the O*NET
(U.S. Department of Labor and the National O*NET Consortium, 1999)
Pengambilan keputusan karir. Proses berpikir seorang individu
mengintegrasikan pengetahuan diri dan pengetahuan kerja untuk sampai
pada pilihan pekerjaan dapat dilihat sebagai garis ketiga dari
penyelidikan perkembangan karir. Awal teori keputusan karir dari Janis
& Mann (1977), Gelatt (1962, 1989), Katz (1963, 1969), dan
Miller-Tiedeman (1977), yang merumuskan model model keputusan karir
dapat ditempuh melalui lima langkah menyeluruh, yaitu: (1)
mendefinisikan masalah; (2) memahami penyebabnya; (3) merumuskan
alternatif; (4) memprioritaskan alternatif dan tiba di pilihan pertama;
(5) melaksanakan solusi dan mengevaluasi hasil (Peterson dkk., 2002).
Seiring dengan perkembangan dari garis-garis penyelidikan, kekuatan
paralel dalam psikologi kognitif atau ilmu kognitif telah muncul yang
menawarkan alternatif cara berpikir tentang pilihan karir dan
perkembangan karir. Paradigma ini, disebut sebagai teori pengolahan
informasi karir (CIP), yang awalnya dirumuskan dalam karya-karya dari
Hunt (1971), Newell & Simon (1972), dan Lackman, Lackman, dan
Butterfield (1979). CIP memperkenalkan konsep-konsep perspektif baru
yang penting untuk teori-teori pilihan karir dan perkembangan karir dan
praktek konseling karir, terutama jika konselor karir berusaha untuk
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah karir individu. Dengan
paradigma CIP, dapat berpikir lebih komprehensif dan sistematis tentang
bagaimana konseli dapat menjadi mandiri dan bertanggung jawab sebagai
pemecah masalah dan pengambil keputusan karir (Peterson, Sampson, &
Reardon, 1991; Reardon dkk., 2000 dalam Peterson dkk., 2002).
B. Konsep Teori Career Information Processing (CIP)
Tujuan pendekatan CIP adalah untuk membantu individu-individu membuat
suatu pilihan karir yang tepat, dan belajar meningkatkan keterampilan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir yang diperlukan untuk
pilihan-pilihan di masa mendatang. Pendekatan CIP memungkinkan para
konselor untuk secara terus-menerus menangani permasalahan-permasalahan
karir konseli saat ini dan juga mengajari mereka
keterampilan-keterampilan untuk membuat keputusan-keputusan karir selama
rentang kehidupannya (Peterson dkk., 2002). Dalam paradigma CIP kita
bertanya, “Apa yang dapat kita lakukan sebagai konselor karir untuk
memungkinkan individu memperoleh pengetahuan diri, pengetahuan
pekerjaan, dan pemecahan masalah karir serta keterampilan pengambilan
keputusan untuk menjadi efektif dan bertanggung jawab dalam pemecahan
masalah dan pengambil keputusan karir?” Paradigma selanjutnya dijelaskan
berusaha untuk menjawab pertanyaan ini.
1. Definisi
Definisi berikut adalah pusat dari paradigma CIP, yang meliputi
penjelasan dari definisi permasalahan karir, ruang masalah, pemecahan
masalah karir, pengambilan keputusan karir, kesiapan untuk pemecahan
masalah karir dan pengambilan keputusan, perkembangan karir, dan gaya
hidup (Peterson dkk., 2002). Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut:
a. Permasalahan karir adalah sebuah gap/kesenjangan antara keadaan
sekarang yang bimbang/meragukan dan keadaan yang lebih diinginkan
(Peterson dkk., 2002; Sampson dkk., 1999). Kesenjangan menciptakan
disonansi kognitif (Festinger, 1964 dalam Peterson dkk., 2002) yang
menjadi sumber motivasi utama yang mendorong proses pemecahan masalah.
Sebagai konselor karir, sebaiknya dapat membantu konseli dari
permasalahan karir, yang terlibat dalam keraguan, kecemasan, depresi,
dan lokus kendali eksternal menuju keadaan yang lebih teratur dengan
atribut seperti integrasi, kemampuan untuk merencanakan, harapan, rasa
percaya diri, dan lokus kendali internal.
b. Ruang masalah adalah semua komponen kognitif dan afektif yang
terkandung dalam memori kerja sebagai pendekatan individu dalam
melakukan pemecahan masalah karir (Peterson dkk., 2002).
c. Pemecahan masalah karir adalah seperangkat kompleks dari proses
berpikir yang melibatkan pengakuan keadaan keraguan karir, analisis
penyebab, perumusan dan klarifikasi program alternatif tindakan, dan
memilih salah satu alternatif tersebut untuk mencapai keadaan yang lebih
terintegrasi. Masalah karir terselesaikan jika pilihan karir yang
diambil adalah alternatif yang layak (Peterson dkk., 2002).
d. Pengambilan keputusan karir adalah sebuah proses yang tidak hanya
meliputi pilihan karir tetapi melibatkan membuat komitmen untuk
melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan pilihan
(Peterson dkk., 2002; Sampson dkk., 1999).
e. Kesiapan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir
adalah kemampuan individu untuk membuat pilihan karir yang tepat, dengan
mempertimbangkan kompleksitas keluarga, faktor sosial, ekonomi, dan
organisasi yang mempengaruhi perkembangan karir individu (Peterson dkk.,
2002).
f. Perkembangan karir adalah pelaksanaan serangkaian keputusan karir
yang merupakan jalur karir yang terintegrasi sepanjang hayat (Peterson
dkk., 2002).
g. Gaya hidup adalah integrasi keputusan dalam karir, pribadi, dan
hubungan keluarga, spiritualitas, dan rekreasi yang menghasilkan tujuan
membimbing, memaknai, dan arah dalam kehidupan seseorang (Peterson dkk.,
2002).
2. Hakekat permasalahan karir
Banyak dari apa yang diketahui tentang kognisi dalam pemecahan masalah
telah diperoleh dari penelitian tentang bagaimana individu memecahkan
masalah matematika, masalah fisika, dan analogi verbal. Proses kognitif
yang digunakan untuk memecahkan jenis-jenis masalah biasanya muncul pada
tes standar. Dalam jenis-jenis masalah, isyarat didefinisikan dengan
baik, semua informasi yang dibutuhkan disediakan, dan hanya satu solusi
terbaik memenuhi kondisi yang diberikan dalam pernyataan masalah.
Namun, berbeda dengan pemecahan masalah karir yang merupakan persoalan
lain. Menurut Peterson dkk., (2002) tanda-tanda terkait masalah karir
seringkali rumit dan tidak jelas, dan reaksinya membebani secara
emosional. Tanda-tanda ini mungkin berisi informasi yang terlalu banyak
atau terlalu sedikit untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara
efektif. Selain itu, opsi untuk memecahkan masalah harus diciptakan oleh
pemecah masalah, dan mungkin tidak ada pilihan yang benar atau terbaik.
Bahkan, dengan masalah karir itu lebih berguna untuk merujuk pada
jawaban sebagai solusi optimal daripada solusi akurat, karena tidak ada
alternatif tunggal yang dapat memenuhi semua kondisi dalam keadaan
tertentu.
3. Asumsi dan proposisi
Menurut Peterson dkk., (2002) empat asumsi pokok mengenai penerapan
teori CIP untuk pemecahan masalah karir dan pengambilan keputusan adalah
sebagai berikut.
a. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir melibatkan
interaksi proses afektif dan kognitif. Meskipun CIP menekankan kognisi,
emosi juga merupakan bagian integral dari tugas manusia yang kompleks
seperti pemecahan masalah karir (Epstein, 1994; Heppner & Krauskopf,
1987; Lazarus, 1982; Saunders dkk., 2000; Zajonc, 1980 dalam Peterson
dkk., 2002).
b. Kemampuan untuk pemecahan masalah karir tergantung pada ketersediaan operasi kognitif serta pengetahuan (Sampson dkk., 2000).
c. Pengembangan karir melibatkan pertumbuhan terus-menerus dan perubahan
struktur pengetahuan (Peterson, 1998 dalam Peterson dkk., 2002).
Pengetahuan diri dan pengetahuan kerja terdiri dari jaringan struktur
memori yang disebut schemata (bentuk tunggal adalah skema) yang
berkembang dari tahun ke tahun. Karena dunia kerja dan individu selalu
berubah, kebutuhan untuk mengembangkan dan mengintegrasikan domain ini
tidak pernah berhenti.
d. Tujuan konseling karir adalah peningkatan keterampilan pengolahan
informasi. Dari perspektif CIP, konseling karir melibatkan menyediakan
kondisi belajar yang meningkatkan pengetahuan diri dan pengetahuan
pekerjaan, serta pengembangan keterampilan pemecahan masalah karir yang
mengubah informasi menjadi keputusan karir yang memuaskan dan bermakna.
Semakin berkembangnya kemampuan ini diperlukan bagi individu untuk
mengelola kejadian tak terelakkan dari masalah karir yang muncul
sepanjang perjalanan seumur hidup (Peterson dkk., 2002).
4. Operasi
Menurut Peterson dkk., (2002) dua bentuk proses pembelajaran mendasar
dari CIP adalah (a) perkembangan pengetahuan diri dan struktur
pengetahuan pekerjaan yang mendasari pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan karir dan (b) perkembangan keterampilan transformasi informasi
yang mengambil salah satu pengakuan masalah karir untuk pelaksanaan
keputusan dalam mengurangi atau menghilangkan masalah karir. Dari sebuah
adaptasi karya Sternberg 1980, 1985 (dalam Peterson dkk., 2002),
kemampuan ini dapat dibayangkan dalam bentuk piramida domain pengolahan
informasi dengan tiga tingkat hirarki seperti yang ditampilkan pada
Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Piramida domain pengolahan informasi
Sumber: Career Development and Services: A Cognitive Approach by G. W.
Peterson, J. P. Sampson, and R. C. Reardon. Copyright © 1991 yang
dikutip oleh Peterson dkk, 2002.
Perkembangan pengetahuan diri. Menurut Peterson dkk., (2002) informasi
diri disimpan dalam memori episodik, dan menyesuaikan perasaan-perasaan
seseorang terhadap memori-memori tersebut untuk menghadirkan
peristiwa-peristiwa atau pengetahuan tentang diri yang memperkuat suatu
skema atau kerangka kerja untuk memahami pilihan, nilai, dan
keterampilan. Penilaian-penilaian seperti daftar/inventori minat, skala
nilai, dan tes kemampuan itu kemungkinan membantu para konseli
mengartikulasikan dan mengembangkan apa yang mereka ketahui mengenai
diri mereka sendiri. Menurut Peterson dkk., (2002) akuisisi pengetahuan
diri melibatkan dua proses dasar: (a) interpretasi peristiwa dan (b)
rekonstruksi kejadian. Interpretasi melibatkan pencocokan sensasi
peristiwa yang hadir dengan peristiwa yang sudah tersimpan dalam memori
jangka panjang (LTM). Sedangkan rekonstruksi melibatkan menafsirkan
peristiwa masa lalu untuk menyesuaikan peristiwa yang hadir dalam
konteks sosial seseorang. Dalam mengamati peristiwa ini, kita
memanfaatkan skema yang ada dalam domain pengetahuan diri untuk memahami
situasi.
Perkembangan pengetahuan pekerjaan. Tingkat diferensiasi dan
kompleksitas pengetahuan kerja memiliki pengaruh langsung pada kemampuan
seseorang untuk mengidentifikasi pilihan yang tepat pada setiap titik
waktu tertentu (Neimeyer, 1988, 1992; Nevill dkk., 1986 dalam Peterson
dkk., 2002). Menurut Peterson dkk., (2002) pengetahuan pekerjaan terdiri
atas dua proses pokok yaitu generalisasi skema dan spesialisasi skema.
Generalisasi skema melibatkan tindakan menghubungkan pekerjaan-pekerjaan
spesifik pada konstruk terkait kerja yang lebih abstrak. Spesialisasi
skema adalah konversi dari generalisasi skema menjadi informasi menjadi
lebih spesifik. Basis pengetahuan kerja mencakup apa yang diketahui
konseli mengenai karir dan dikembangkan melalui pendidikan dan
penelitian. Gagasan-gagasan yang dimunculkan melalui pengalaman kerja
sebelumnya, pendidikan atau pelatihan, penilaian pengetahuan diri, dan
pelaporan diri konseli hendaknya mengarahkan eksplorasi dan pengembangan
pengetahuan kerja.
Perkembangan keterampilan pengambilan keputusan. Dalam CIP, siklus CASVE
(Communication, Analysis, synthesis, Valuing, dan Execution) berfungsi
sebagai suatu basis untuk membantu para konseli dengan pengambilan
keputusan (Peterson dkk., 2002; Brown, 2007). Siklus CASVE dapat
diilustrasikan dalam gambar 1.2 berikut ini.
Gambar 1.2 Lima tahap dalam siklus CASVE
Sumber: Career Development and Services: A Cognitive Approach by G.
W. Peterson, J. P. Sampson, and R. C. Reardon. Copyright © 1991 yang
dikutip oleh Peterson dkk, 2002.
a. Communication. Dalam tahap komunikasi, informasi diterima oleh
organ-organ indera dan ditafsirkan dalam korteks serebral. Masalah
muncul ketika otak memberikan sinyal munculnya kesenjangan antara
keadaan yang ada sekarang dan keadaan yang diinginkan. Sinyal mungkin
berasal dari tuntutan eksternal (misalnya, kebutuhan untuk memilih
jurusan perguruan tinggi, mendapatkan pekerjaan, atau untuk bereaksi
terhadap masukan dari orang lain yang signifikan) atau dari keadaan
internal seperti kecemasan, depresi, kebingungan, perilaku menghindar,
atau stres. Kemudian menanyakan pada diri sendiri dan lingkungan untuk
mengidentifikasi kesenjangan antara keadaan yang ada dan keadaan yang
lebih diinginkan, permintaan seperti itu berfungsi untuk membingkai
masalah (Cochran, 1994 dalam Peterson dkk., 2002). Identifikasi terhadap
kesenjangan menciptakan ketegangan (disebut disonansi kognitif) yang
menyediakan sumber daya motivasi untuk mencari resolusi untuk masalah
karir (Festinger, 1964 dalam Peterson, 2002).
b. Analysis. Dalam tahap analisis, penyebab masalah diidentifikasi dan
berhubungan dengan komponen-komponen masalah ditempatkan dalam kerangka
konseptual. Dalam tahap ini, pemecah masalah yang efektif mundur dan
terlibat dalam refleksi untuk memahami dimensi dari masalah dan
penyebabnya.
c. Synthesis. Dalam tahap sintesis, kemungkinan program aksi yang
dirumuskan melalui dua proses, yaitu elaborasi dan kristalisasi.
Elaborasi melibatkan generasi kreatif berbagai solusi yang mungkin,
bahkan yang tidak mungkin, melalui teknik seperti brainstorming, membuat
analogi atau metafora, dan terlibat dalam relaksasi mental untuk
membebaskan pikiran dari kendala realitas. Kristalisasi adalah
penyempitan pilihan potensial untuk satu perangkat alternatif yang layak
melalui penerapan konstruksi pribadi.
d. Valuing. Tahapan penilaian mencakup evaluasi dari
alternatif-alternatif, menentukan kelangsungan hidup pilihan yang
potensial, dan memprioritaskan kesempatan karir. Selama tahapan ini,
para konseli secara cermat memperhatikan bagaimana nilai-nilai mereka
berinteraksi dengan pilihan-pilihan karir.
e. Execution. Pada tahap eksekusi, melibatkan upaya memunculkan suatu
rencana aksi (action plan) untuk menutup gap/kesenjangan dan mengejar
pilihan pertama konseli ke arah pengembangan karir dan gaya hidup yang
diharapkan.
Setelah melaksanakan rencana, kembali ke tahap komunikasi untuk
mengevaluasi apakah keputusan berhasil menghapus kesenjangan. Jika
demikian, individu bergerak untuk memecahkan masalah berikutnya yang
timbul dari pelaksanaan solusi. Jika tidak, menggunakan kembali siklus
CASVE dengan informasi baru terkait pemasalahan yang timbul untuk
memecahkan masalah tersebut. Tahap terakhir ini memerlukan perenungan
dan peninjauan proses pemecahan masalah itu sendiri untuk meningkatkan
keterampilan pemecahan masalah karir berikutnya atau bahkan generalisasi
untuk masalah kehidupan nyata lainnya.
5. The executive processing domain
Masih ada seperangkat fungsi kognitif tingkat tinggi yang diperlukan
untuk memantau, membimbing, dan mengatur fungsi-fungsi yang lebih rendah
dari piramida domain pengolahan informasi, yaitu, akuisisi,
penyimpanan, dan pengambilan informasi, serta untuk melaksanakan
strategi kognitif untuk memecahkan masalah (Belmont & Butterfield,
1977 dalam Peterson dkk., 2002). Keterampilan domain ini disebut sebagai
metakognisi (Flavell, 1979; Meichenbaum, 1977 dalam Peterson dkk.,
2002). Metakognisi terdiri dari domain (a) self-talk; (b)
self-awareness; dan (c) monitoring and controlling (Peterson dkk., 2002;
Sampson, 1999).
Self-talk. Untuk menjadi pemecah masalah yang mandiri dan bertanggung
jawab, individu juga harus menjadi sahabat mereka sendiri sebagai
pemecah masalah. Individu yang menggunakan dan percaya pada self-talk
positif seperti, “Saya bisa belajar untuk menjadi pemecah masalah karir
yang baik” atau “Saya tahu dan percaya bahwa keputusan karir saya ambil
akan menjadi keputusan yang tepat untuk saya,” akan menjadi tugas
pemecahan masalah karir yang baik dibandingkan orang yang menggunakan
self-talk negatif seperti, “Saya sudah mencoba untuk menemukan pekerjaan
yang baik berkali-kali sebelumnya, tapi aku tidak pernah bisa sampai
pada keputusan yang baik”.
Self-awareness. Salah satu karakteristik individu yang memiliki kinerja
yang baik adalah individu memiliki kemampuan untuk mempertahankan
kesadaran diri bahwa individu yang bersangkutan memiliki kesadaran untuk
menjadi bagian dari pekerjaan tertentu. Kesadaran diri memungkinkan
pemecah masalah untuk melemahkan self-talk negatif dan memiliki
kebutuhan untuk lebih memahami diri atau memahami informasi pekerjaan.
Monitor and Control. Melalui monitoting, pemecah masalah yang baik akan
merasakan jika jumlah informasi yang cukup telah diperoleh dalam setiap
tahap dalam siklus, maka akan melanjutkan ke tahap berikutnya. Fungsi
controling kemudian bergerak maju ke tahap berikutnya ketika satu tahap
selesai atau kembali ke tahap sebelumnya untuk dipertimbangkan lebih
menyeluruh bila diperlukan. Sehingga monitoring dan controlling
berfungsi sebagai “kualitas kontrol” mekanisme untuk memastikan
perkembangan yang lengkap, teratur, dan tepat waktu melalui siklus
CASVE.
6. Pertimbangan budaya dalam penggunaan CIP
CIP seringkali diartikan memiliki paradigma budaya bebas, akan tetapi,
dalam prakteknya perbedaan latar belakang etnis dan ras konseli
berpengaruh terhadap bagaimana konseli memecahkan masalah pengambilan
keputusan karir (Peterson dkk., 2002). Untuk mendapatkan rasa bagaimana
keragaman manusia dikelola dalam kerangka CIP, contoh pertimbangan
budaya disajikan sebagai berikut.
Akuisisi Self-Knowledge. Prinsip perkembangan struktur pengetahuan diri
terletak pada penggunaan tes dan inventori bernorma dalam penilaian
konstruksi kepribadian dan kemampuan. Skor dari instrumen tersebut
sering digunakan dalam konseling karir untuk memeriksa adanya persepsi
diri dimensi kepribadian dalam perumusan dan identifikasi peluang karir.
Namun, validitas pengukuran tersebut dapat dipertanyakan ketika
pengalaman hidup yang menentukan perkembangan pengetahuan diri dan
kesempatan untuk menguasai keterampilan kognitif berbeda dari budaya
yang dominan (Peterson dkk., 2002). Dengan demikian konselor perlu
memberi penekanan kebenaran tes untuk mengeksplorasi minat dan kemampuan
konseli ketika budaya konseli berbeda dari budaya yang dominan.
Akuisisi Occupational Knowledge. Masalah budaya dan antar generasi dalam
perolehan pengetahuan pekerjaan berhubungan dengan (a) luasnya
pengalaman dan kesempatan untuk belajar tentang kompleksitas dunia
kerja; (b) makna dan sikap yang melekat pada pengetahuan yang diperoleh;
dan (c) proses melalui pengetahuan kerja berasimilasi dan disimpan
(Peterson dkk., 2002). Jika individu kurang membuka diri terhadap
lingkungan di mana anggota keluarga atau orang lain bekerja, kemungkinan
pengetahuan dunia kerja mereka juga sempit. Selain itu, jika
pengetahuan kerja yang berasimilasi dan berhubungan dengan sikap
negatif, dunia kerja tidak akan dipandang sebagai tempat di mana potensi
kreatif seseorang dapat diaktualisasikan tetapi sebagai ancaman, tempat
menindas dengan sedikit imbalan, finansial atau sosial. Akhirnya,
anggota kelompok budaya tertentu dapat memperoleh pengetahuan kerja
lebih efektif melalui proses konstruksi sosial, bukan melalui proses
konstruksi individu (Lyddon, 1995 dalam Peterson dkk., 2002). Jadi
belajar tentang pekerjaan dalam kelompok keluarga dan masyarakat mungkin
lebih bermakna dan relevan daripada belajar secara individual dari
media cetak atau media lainnya (Fouad & Arbona, 1994 dalam
Peterson., 2002).
Akuisisi Keterampilan Pengambilan Keputusan Karir. Menurut Peterson
dkk., (2002) isu-isu budaya yang penting hadir dalam setiap tahapan
siklus CASVE. Pada tahap komunikasi, anggota kelompok minoritas harus
menjadi sadar dan menjelajahi berbagai komponen afektif dalam ruang
masalah yang dihasilkan dari bias kelembagaan dan budaya, rasisme, dan
penindasan dalam pendidikan dan tempat kerja. Pada tahap analisis,
anggota kelompok minoritas dapat mengeksternalisasi masalah karir
seperti, “Saya ragu-ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi
karena rasisme dan penindasan masyarakat, itu benar-benar tidak peduli
apa yang saya lakukan”. Dalam sintesis, anggota kelompok budaya atau
etnis mungkin dapat merenggut pekerjaan yang mereka kenal di mana
mungkin ada kesempatan terbatas untuk sukses. Dalam proses menilai,
pertimbangan menonjol melibatkan keseimbangan relatif pentingnya antara
keyakinan sendiri seseorang dan pengaruh orang lain yang signifikan atau
kelompok budaya dalam membuat pilihan karir. Akhirnya, pada tahap
eksekusi, masalah umum adalah menghadapi dan mengatasi resistensi dan
kendala bias budaya atau ras dan prasangka di tempat kerja sebagai satu
kebenaran tes pilihan pekerjaan.
Pengolahan Domain Eksekutif. Masalah budaya dalam domain ini melibatkan
sifat metakognitif, terutama self-talk, yang berperan dalam mengatur
proses kognitif yang lebih rendah di piramida domain pengolahan
informasi (Peterson dkk., 2002). Self-talk negatif sangat membatasi atau
mendistorsi formulasi dan pertimbangan pilihan karir, yang dapat
menyebabkan tindakan tidak pantas atau bahkan tidak bertindak apapun.
Ungkapan-ungkapan seperti, “Aku tidak bisa karena aku….” Atau “Ya,
tetapi anggota kelompok saya….” mengingatkan konselor akan adanya
disfungsi dalam domain pengolahan eksekutif (metakognisi). Anggota
kelompok yang kurang beruntung harus menyadari kendala metakognitif yang
menghambat kemajuan tahap siklus CASVE. Restrukturisasi kognitif dapat
membantu memberdayakan individu untuk mengembangkan dan menerapkan
self-statements dan perasaan positif baru dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan karir.
C. Aplikasi Teori CIP dalam Bimbingan dan Konseling
1. Model kesiapan dua-dimensi untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir
Pada tahap komunikasi dari siklus CASVE, ketika individu menyadari
masalah karir dan mencari bantuan, mereka bervariasi dalam hal keadaan
kesiapan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan. Kesiapan
didefinisikan sebagai “kapabilitas seorang individu untuk membuat
pilihan karir dengan mempertimbangkan kompleksitas dari faktor keluarga,
sosial, ekonomi, dan organisasi yang mempengaruhi pengembangan karir
individu” (Sampson dkk., 2000). Kapabilitas berkaitan dengan faktor
internal, sedangkan kompleksitas berkaitan dengan faktor-faktor
eksternal yang mempengaruhi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
karir (Peterson dkk., 2002).
Dimensi kapabilitas. Kapabilitas didefinisikan sebagai “kemampuan
kognitif dan afektif individu untuk terlibat dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan karir yang efektif” (Sampson dkk., 2000). Menurut
Peterson dkk., (2002) kapabilitas orang yang sukses dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan karir dipengaruhi oleh:
a. Kesediaan untuk mengeksplorasi pengetahuan tentang diri (misalnya,
nilai-nilai, minat, dan keterampilan) yang mengarah pada pengetahuan
diri.
b. Motivasi untuk belajar tentang dunia kerja (domain pengetahuan kerja)
c. Kesediaan untuk mempelajari dan terlibat dalam pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan karir, termasuk kapasitas untuk berpikir jernih
tentang masalah karir, kepercayaan pada kemampuan untuk membuat
keputusan, komitmen untuk menindaklanjuti dengan rencana aksi, dan
penerimaan tanggung jawab pribadi untuk pengambilan keputusan (domain
pengambilan keputusan keterampilan)
d. Kesadaran tentang bagaimana pikiran dan perasaan negatif dapat
membatasi kemampuan untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan,
kesediaan untuk mencari bantuan terkait pilihan karir bila diperlukan,
dan kemampuan untuk memonitor dan mengatur proses kognitif yang lebih
rendah dalam pemecahan masalah dan proses pengambilan keputusan (domain
pengolahan eksekutif).
Dimensi kompleksitas. Kompleksitas menyinggung keluasan isu-isu yang
saling terkait dengan masalah karir dalam ruang masalah dan
didefinisikan sebagai “faktor-faktor kontekstual, yang berasal dari
keluarga, masyarakat, organisasi yang mempekerjakan, atau ekonomi, yang
membuatnya mudah atau sulit untuk memproses informasi yang diperlukan
untuk memecahkan masalah karir dan membuat keputusan karir” (Sampson
dkk., 2000).
2. Membuat keputusan tentang intervensi karir
Berdasarkan perspektif CIP, keefektifan layanan karir bergantung pada
tingkat pertemuan dukungan konselor, tetapi tidak melebihi kebutuhan
konseli (Peterson dkk., 2002). Oleh karena itu, konseli yang memiliki
kesiapan pengambilan keputusan karir tinggi, paling efektif dilayani
dengan layanan self-help. Konseli yang memiliki kesiapan pengambilan
keputusan karir menengah, paling efektif dilayani dengan brief
staff-assisted services. Konseli yang memiliki kesiapan pengambilan
keputusan rendah, paling efektif dilayani dengan individual case-managed
services. Gambar 1.3 menunjukkan hubungan antara kapabilitas dan
kompleksitas dengan tingkat pelayanan karir yang meliputi self-help
services, brief staff-assisted services, dan individual case-managed
services.
Gambar 1.2 Model dua dimensi kesiapan pengambilan keputusan karir
Sumber: Sampson dkk., 2000. Using Readiness Assessment to Improve Career
Services: A Cognitive Information-Processing Approach. The Career
Development Quarterly, 49: 146-174.
Self-help services. Layanan karir self-help ditujukan untuk konseli
yang memiliki kesiapan tinggi dalam mengambil keputusan karir. dalam
layanan ini, menekankan pada potensi individu untuk membimbing diri
dengan menggunakan sumber-sumber yang ada dalam perpustakaan atau
internet, yang mana sumber-sumber tersebut digunakan oleh konseli untuk
pengambilan keputusan karir (Sampson dkk., 2000).
Brief staff-assisted services. Layanan karir brief staff-assisted
melibatkan penggunaan panduan yang disusun praktisi sebagai sumber daya
karir di kelas, atau kelompok dari konseli dengan kesiapan menengah
untuk pilihan karir. Contoh layanan karir brief staff-assisted meliputi
(1) mengarah diri dalam pengambilan keputusan karir; (2) program karir
dengan interaksi kelompok besar; (3) konseling kelompok jangka pendek;
dan (4) lokakarya (Sampson dkk., 2000).
Individual case-managed services. Layanan karir individual case-managed
melibatkan penggunaan panduan yang disusun praktisi sebagai sumber daya
karir di kantor, kelas, atau kelompok konseli dengan kesiapan rendah
untuk pilihan karir. Contoh layanan karir individual case-managed
meliputi (1) konseling individu; (2) kursus karir dengan interaksi
kelompok kecil; dan (3) konseling kelompok jangka panjang (Sampson dkk.,
2000).
3. Sikuen penyampaian tujuh langkah
Pendekatan CIP dapat disampaikan dalam self-help, brief staff-assisted,
dan intervensi pengelolaan kasus individual melalui urutan tujuh langkah
(Peteson dkk., 2002). Siklus CASVE seringkali dilaksanakan melalui
pengembangan dan pelaksanaan Perencanaan Pembelajaran Individu (Clemens
& Milsom, 2008).
a. Wawancara awal
Dalam langkah ini, konselor menggali informasi tentang konteks dan sifat
dari masalah dan ruang masalah karir. Dimulai pada wawancara awal dan
terus berlanjut sampai tujuh langkah, konselor (1) hadir untuk kedua
komponen emosional dan kognitif masalah konseli; (2) mengembangkan
hubungan dengan konseli dengan menerapkan keterampilan-keterampilan
dasar konseling seperti empati, klarifikasi, membuat kesimpulan, dan
pertanyaan-pertanyaan terbuka; (3) menggunakan self-disclosure yang
tepat untuk meningkatkan hubungan konseling; dan (4) menggunakan
kedekatan untuk meningkatkan hubungan konseling dan mengidentifikasi
masalah yang perlu diperhatikan.
b. Asesmen permulaan
Langkah kedua dalam mengimplementasikan pendekatan CIP adalah asesmen
permulaan. Asesmen permulaan diperlukan untuk menentukan kesiapan
individu untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara awal dan hasil
penilaian kesiapan individu untuk pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan karir, hasil dari proses asesmen permulaan adalah penentuan
tingkat kesiapan konseli untuk pengambilan keputusan apakah rendah,
sedang, atau tinggi.
c. Mendefinisikan permasalahan dan menganalisis sebab
Konselor dan konseli mendefinisikan masalah sebagai kesenjangan antara
keadaan keraguan karir saat sekarang dan keadaan yang diinginkan dari
keputusan karir. kemudian, konselor dan konseli menganalisis sebab-sebab
terjadinya permasalahan.
d. Merumuskan tujuan
Konselor dan konseli bersama-sama mengembangkan tujuan yang ingin
dicapai untuk mengatasi permasalahan. Tujuan yang dicapai tersebut
dinyatakan dalam Individual Learning Program (ILP). Kesediaan konselor
untuk berkolaborasi dengan konseli dalam menetapkan tujuan memberikan
pesan penting bahwa konseli mengendalikan proses dan mampu memberikan
kontribusi positif terhadap proses konseling.
e. Mengembangkan individual learning program (ILP)
Pada tahap yang kelima adalah konselor bekerjasama dengan konseli
mengembangkan ILP untuk membantu konseli mencapai tujuan dalam pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan karir. Dalam ILP tersebut menjelaskan
kegiatan-kegiatan, tujuan kegiatan tersebut, waktu yang diperlukan
untuk tiap-tiap kegiatan, dan prioritas dari tiap kegiatan
f. Melaksanakan ILP
Pada tahap yang keenam ini, konseli melaksanakan ILP yang telah dibuat
sebelumnya. Dalam tahap ini konselor memainkan peranan
supportif/mendukung, menginterpretasikan hasil-hasil tes standar dan
memberikan dorongan dan klarifikasi melalui proses penyelesaian
aktivitas-aktivitas yang disetujui.
g. Reviu sumatif dan generalisasi
Konseli menyelesaikan ILP yang telah disusun dan bertemu dengan konselor
untuk suatu sesi akhir untuk merangkum, mereviu, dan menggeneralisir
informasi yang dikumpulkan dari proses tersebut. Konseli mengakui bahwa
ia lebih dekat untuk mencapai gaya hidup yang diinginkannya, sesuatu
yang terhormat dan stabil.
D. Hasil-Hasil Penelitian Teori CIP
Penelitian yang dilakukan oleh McLennan & Arthur (1999) berjudul
“Applying the Cognitive Information Processing Approach to Career
Problem Solving and Decision Making to Women’s Career Development”.
Hasil penelitian tersebut adalah penerapan pendekatan CIP dapat membantu
memecahkan masalah dan mengambil keputusan karir dalam pengembangan
karir perempuan. Peneliti percaya bahwa kerangka yang disajikan memiliki
kekuatan untuk digunakan kepada konseli perempuan. Ini merupakan
integrasi dari perspektif dan teori yang sudah ada dan memberikan
hubungan yang kuat antara teori dan praktek.
Penelitian yang dilakukan oleh Reardon & Wright (1999) yang berjudul
“The Case of Mandy: Applying Holland’s Theory and Cognitive Information
Processing Theory”. Penelitian ini berusaha menjelaskan kasus yang
dialami oleh mahasiswa bernama Mandy yang sedang dalam mengalami
kebingungan karir. Peneliti berusaha membantu Mandy untuk mencapai
pengetahuan diri dengan menggunakan instrumen Self-Directed Search (SDS)
yang berakar pada teori Holland. Setelah Mandy mencapai pengetahuan
diri, peneliti membantu Mandy untuk mendapatkan pengetahuan pekerjaan
berdasarkan hasil intrumen SDS. Kemudian, yang terakhir peneliti
membantu Mandy dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir
yang tepat, yaitu menjadi guru.
E. Kesimpulan
Pemecahan masalah karir perspektif teori kognitif melibatkan tiga faktor
kunci dalam membuat pilihan karir. Ketiga faktor kunci tersebut adalah
pengetahuan diri, pengetahuan tentang pekerjaan, dan keterampilan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan karir. Jika individu
memiliki ketiga atribut ini, mereka tidak hanya akan membuat pilihan
karir yang tepat bagi diri mereka sendiri tetapi juga fungsi produktif
dalam masyarakat akan lebih besar pada orang yang memiliki kecocokan
pekerjaan.
Daftar Pustaka
Brown, D. 2007. Career Information, Career Counseling, and Career Development. USA: Pearson Education, Inc.
Clemens, E.V. & Milsom, A.S. 2008. Enlisted Service Members
Transition Into the Civilian World of Work: A Cognitive Information
Processing Approach. The Career Development Quarterly, 56: 246-256.
McLennan, N.A. & Arthur, N. 1999. Applying the Cognitive Information
Processing Approach to Career Problem Solving and Decision Making to
Women’s Career Development. Journal of Employment counseling, 36: 82-96.
Peterson, G.W., dkk. 2002. A Cognitive Information Processing Approach
to Career Problem Solving and Decision Making (D. Brown &
Associates, Ed.). San Francisco: John Wiley & Sons, Inc.
Reardon, R.C. & Wright, L.K. 1999. The Case of Mandy: Applying
Holland’s Theory and Cognitive Information Processing Theory. The Career
Development Quarterly, 47: 195-203.
Sampson, J.P., dkk. 1999. A Cognitive Information Processing Approach to
Employment Problem Solving and Decision Making. The Career Development
Quarterly, 48: 3-18.
Sampson, J.P., dkk., 2000. The Viability of Readiness Assessment in
Contributing to Improved Career Services: Response to Jepsen (2000). The
Career Development Quarterly, 49: 179-185.
Sampson, J.P., dkk., 2000. Using Readiness Assessment to Improve Career
Services: A Cognitive Information-Processing Approach. The Career
Development Quarterly, 49: 146-174.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar