BAB I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak dimana perilakunya
mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan yang dikehendakinya. Manusia
juga makhluk yang bisa menjadi subyek dan obyek sekaligus, disamping ia dapat
menghayati perasaan keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan
orang lain.
Tetapi
apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena agama menimbulkan
makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, agama adalah
ritual ibadah, seperti salat dan puasa, bagi yang lain agama adalah pengabdian
kepada sesama manusia bahkan sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah
akhlak atau perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk
suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati (istisyhad) demi
keyakinan.
Di
sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu bagaimana
menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan, karena wilayah ilmu
berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu, akal saja tidak sanggup mengadili
agama. Para ulama sekalipun, meski mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi
tetap tidak berani mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka
selalu menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa hanya
Allah lah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu
berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama
diterima dengan iman, ilmu diterima dengan logika.
Meski
demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik menarik dan
berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya akur, bekerjasama atau
sama-sama kerja, terkadang saling menyerang dan menghakimi sebagai sesat, agama
memandang ilmu sebagai sesat, sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan
sebagai kedunguan. Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu
tumbang di depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar
tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh seorang
tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara Tubuh dan Roh, The
Marriage of Sence and Soul. (Ken Wilber, The Marriage of Sence and Soul,
Boston, Shambala, 2000).
Pengertian
agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba menguak bagaimana agama
mempengaruhi perilaku manusia, tetapi keberagamaan seseorang juga memiliki
keragaman corak yang diwarnai oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya.
Seberapa besar Psikologi mampu menguakkeberagamaan seseorang sangat bergantung
kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhabPsikoanalisa)
keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan,bagi mazhab Behaviorisme,
perilaku keberagamaan tak lebih sekedar perilaku karena manusia tidak memiliki
jiwa. Mazhab Kognitip
BAB II
MANFAAT PSIKOLOGI PERKEMBANGAN
A. Pengertian
Psikologi
secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa”
dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah
al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah
al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu
al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki
asumsi yang berbeda.
Belajar
psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi
hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan
kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya
Secara operasional, psikologi agama dapat didefinisikan sebagai: “Cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi, jadi merupakan kajian empiris”.
Psikologi Agama mempelajari psikis manusia dalam hubungannya dengan manifestasi keagamaannya, yaitu kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama: hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan introspeksi. Pengalaman agama: perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah dari amal keagamaan semisal melazimkan dzikir. Jadi, obyek studinya dapat berupa:
Secara operasional, psikologi agama dapat didefinisikan sebagai: “Cabang psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan perkembangan usia masing-masing. Upaya tersebut dilakukan melalui pendekatan psikologi, jadi merupakan kajian empiris”.
Psikologi Agama mempelajari psikis manusia dalam hubungannya dengan manifestasi keagamaannya, yaitu kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama: hadir dalam pikiran dan dapat dikaji dengan introspeksi. Pengalaman agama: perasaan yang hadir dalam keyakinan sebagai buah dari amal keagamaan semisal melazimkan dzikir. Jadi, obyek studinya dapat berupa:
Ø
Gejala-gejala psikis manusia yang
berkaitan dengan tingkah laku keagamaan.
Ø
Proses hubungan antara psikis manusia
dan tingkah laku keagamaannya.
Psikologi
Agama tidak bermaksud untuk melakukan penilaian (to evaluate) atau kritik (to
criticize) terhadap ajaran agama tertentu, tetapi semata untuk memahami dan
melukiskan (to describe) tingkah laku keagamaan sebagai ekspresi dari alam
pikiran, perasaan dan sebagainya akibat adanya keyakinan agama. Jadi psikologi
agama tidak mencampuri dasar-dasar keyakinan agama tertentu. Tidak melakukan
penilaian benar-salah, baik-buruk, masuk akal atau tidaknya suatu kepercayaan
tertentu.
Theodore
Flournoy menyusun prinsip-prinsip studi psikologi agama:
v
Prinsip menjauhkan studi dari
transenden;
v
Prinsip mempelajari perkembangan;
v
Prinsip dinamika; dan
v
Prinsip perbandingan.
Sementara
itu masih terdapat isu perdebatan seputar istilah psychology of religion dan
religious psychology. Yang pertama dirujukkan pada corak aliran yang memberi
penekanan pada bagaimana psikologi seharusnya mencerahkan pemahaman kita
tentang agama. Sedangkan yang kedua lebih menekankan pada interpretasi
keagamaan tentang psikologi.
B. Manfaat Bagi
Pesantren
lembaga Pendidikan Pondok Pesantren,
dibelantara tanah air lembaga ini muncul sejak awal Islam masuk, dan telah
mengadopsi sistem pendidikan keagamaan secara integral berurat akar, mendarah
daging, plus perannya tidak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan sejarah
bangsa, pesantren tidak hanya telah mampu melahirkan sosok tokoh-tokoh nasronal
yang berpengaruh namun juga sistem pendidikannya juga lelah mampu membentuk
watak tersendiri sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam dan bangsa yang
akomodattf serta penuh tenggang rasa.
Semua itu terbentuk dari lahirnya pendidikan di pesantren, tak heran dalam
kiprah pendidikan, kontribusi pesantren dalam menoreh sejarah pendidikan di
Indonesia terus tumbuh, mencuat dan bertembang mengikuti tuntutan dan kebutuhan
zaman.
Sehingga pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren mengalami dinamika
pendidikan yang luar biasa, yakni mengacu kepada paradigma baru yang bertumpu
pada 3 tungku:
1. Kemandirian (autonomy)
2. Akuntabilitas (accountability)
3. Jaminan Kualitas (quality assurance)
Pemahaman akan ‘Kemandirian’ pesantren diarahkan pada pemberian otonomi yang
lebih besar tidak hanya pada sisi pengelolaan (manajemen} tetapi juga dalam perancangan
kurikulum, pengembangan program, kebebasan akademik serta pembinaan semua
sumber daya yang ada.
Pengembangan akuntabilitas diarahkan pada peningkatan kemampuan lembaga
pendidikan dalam mencapai tujuan yang direncanakan sorta memberikan hasil yang
maksimal bagi masyarakat dan bangsa.
Dan pada akhirnya jaminan kualitas diarahkan pada peningkatan relevant yang
lebih tegas antara ‘out put’ yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan
kebutuhan masyarakat baik dalam dunia kerja maupun pengembangan dan
pemberdayaan anggota masyarakat.
Perubahan kurikulum pendidikan pesantren dalam konteks ini terpilah antara sisi
kontsitusi yang sudah menjadi bagian dari Sisdiknas dan sisi kurikulum struktur
mata pelajaran di pesantren yang sudah bercampuar baur dengan kurikulum standar
nasional, maka visi yang harus dikembangkan adalah menjadikan pesantren sebagai
sebuah si sitem pendidikan yang telah mampu melahirkan lulusan yang menguasai
ilmu-ilmu ke-Islaman secara mendalam sekaligus siap pakai dalam dunia kerja,
sehingga penataan struktur kurikulum pesantren yang representatif dengan
kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi.
Pondok pesantren dalam melakukan penataan struktur kurikulum
biasanya berkaitan erat dengan ciri khas keilmuan pesantrennya, di samping
kondisi lingkungan masyarakatnya seperti letak geogrofis, sosio koltur,
sumber-sumber perekonomian dan unsur-unsur lainnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa pendidikan pondok pesantren
tradisonal adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas
aslinya sebagai tempat mendalami ilmu agama (tafaqquh fiddin) melaluikitab klasik (kitab kuning)
yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam
Indonesia, pendidikan pondok pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari
pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara
integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik
(skill)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar