Rabu, 06 Maret 2013

KONSELING LINTAS BUDAYA (KLB)


KONSELING LINTAS BUDAYA
 A. Pedahuluan

       Beneka tuggal Ika itu yang terucap dari seluruh Rakyat Indonesia karena keragaman Sosial, Budaya, Politik, dan kemamapuan Ekonomi adalah suatu realita masarakat dan bagsa indonesia. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan pelayanan konseling.

       Konseling adalah suatu proses pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling, faktor utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat penting. Bila terjadi kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan dirasakan oleh klien, dan kesulitan menangkap makna ungkapan pikiran dan perasaan klien oleh konselor, maka akan terjadi hambatan dalam proses konseling.

      Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu. 

     Proses konseling memperhatikan, menghargai, dan menghormati unsur-unsur kebudayaan tersebut. Pengentasan masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi individu. Pelayanan konseling menyadarkan klien yang terlibat dengan budaya tertentu; menyadarkan bahwa permasalahan yang timbul, dialami bersangkut paut dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya pengentasan masalah individu tersebut perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan.

      Program studi bimbingan dan konseling bertujuan untuk menghasilkan tenaga pendidik yang mampu melaksanakan pelayanan konseling bagi siswa di sekolah dan warga masyarakat luas. Konselor harus menguasai Standar Kompetensi untuk memberikan pelayanan profesi konseling kepada para individu, baik perorangan maupun kelompok, dalam setting sekolah maupun luar sekolah, sesuai dengan permasalahan dan tuntutan perkembangan mereka, menurut prinsip-prinsip keilmuan, teknologi dan pelayanan konseling profesional.

B. PENGERTIAN KONSELING LINTAS BUDAYA

          Istilah budaya berasal dari kata “budaya”yanag berarti “pikiran, akal, budi,adat itiadat, sesuyi yang sudah menjadi kebiasaan, sehingga sukar untuk diubah”. Kebudayaan itu sendiri berarti “hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kesenian, kepercayaan dan adat istiadat” ( kamus besar bahasa Indonesia, 1998:149). Menurut Koetjaraningrat (1997: 94) menjelaskan budaya dapt dimaknai sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh dari hasil belajar dalam kehidupa masyarakat, yang dijadikan milik manusia itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, tingkah laku individu sebgai anggota masyarakat terkaib dengan budaya yang diwujudkan dalam berbagai pranata. Pranata tersebut berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkahlaku manusia untuk memenuhi kebutuhanya.

      Manusia tidak dapat terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh. Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku yang ditampilkan. Bagaimana hubungan manusia dengan kebudayaan sebenarnya banyak dikaji dan dianalisis oleh ilmu antropologi. Sedangkan bagaimana individu berperilaku akan banyak disoroti dari sudut tinjauan psikologi. Manusia adalah miniatur kebudayaannya. Oleh karena itu, tingkah laku manusia perlu dijelaskan bukan hanya dari sudut pandang individu itu sendiri, melainkan juga dari sudut pandang budayanya, outside dan within him (Kneller, 1978). Manusia adalah produk dan sekaligus pencipta aktif suatu kelompok sosial, organisasi, budaya dan masyarakat. Sebagai produk, manusia memiliki ciri-ciri dan tingkah laku yang dipelajari dari konteks sosialnya. Sebaliknya sebagai pencipta yang aktif manusia juga memberikan kontribusinya kepada perkembangan budayanya (Ritzer, Kammeyer, dan Yetman, 1979).

         Pelayanan konseling hakikatnya merupakan proses pemberian bantuan dengan penerapkan prinsip-prinsip psikologi. Secara praktis dalam kegiatan konseling akan terjadi hubungan antara satu dengan individu lainnya (konselor dengan klien). Dalam hal ini individu tersebut berasal dari lingkungan yang berbeda dan memiliki budayanya masing-masing. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya.

        Keragaman budaya dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan komunikasi. Etnosetrisme mengacu pada adanya perasaan superior pada diri individu karena kebudayaan atau cara hidupnya yang dianutnya dianggap lebih baik. Sedangkan bahasa adalah simbol verbal dan nonverbal yang memungkinkan manusia untuk mengkomunikasikan apa yang dirasakannya dan dipikirkannya. Apabila terjadi perbedaan dalam menginterpretasikan simbol-simbol verbal dan nonverbal diantara dua orang atau lebih yang sedang berkomunikasi, maka akan timbul persoalan.

       Lebih jelas Clemon E. Vontres mengemukakan bahwa jika konselor dan klien merasakan persamaan budaya meskipun sebenarnya secara budaya mereka berbeda maka interaksi tersebut tidak boleh dinamakan konseling lintas budaya. Sebaliknya jika konselor dan klien secara budaya sama tetapi masing-masing mereka merasa berbeda budaya maka interaksinya dapat dinamakan lintas budaya. Jadi dalam konseling lintas budaya, yang menjadi standar adalah interaksi yang terjadi dalam hubungan konseling dan bagaimana interaksi dirasakan serta dihayati oleh konselor dan klien. Jika dalam interaksi itu dirasakan adanya perbedaan-perbedaan secara budaya maka interaksi tersebut dinamakan konseling lintas budaya. Dengan demikian dalam konseling lintas budaya perbedaan antara konselor dan klien bukan hanya terletak pada adanya perbedaan bangsa saja, tetapi juga mencakup perbedaan aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas.

C. Unsur-unsur Pokok dalam Konseling Lintas Budaya

       Dalam pengkajian isu tentang budaya, Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur pokok dalam konseling lintas budaya, yaitu :
  1. Individu adalah penting dan khas
  2. Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya
  3. Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.

      Selanjutnya Brown menyatakan bahwa keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis kelamin. Menurut Sue, faktor-faktor budaya yang berpengaruh dalam dalam konseling adalah pandangan mengenai sifat hakikat manusia, orientasi waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi tindakan. Sehubungan dengan hal tersebut, Clemon E. Vontres dalam dialognya dengan Morris Jacson mengemukakan bahwa budaya terdiri dari lima lingkaran sosialisasi yang melingkupi dan mempengaruhi sikap, nilai-nilai dan buhasa. Lima lingkup yang dimaksud meliputi: interaksi universal (dunia), ekologi nasional (negara), regional, ras, dan etnis. Unsur-unsur tersebut mempengaruhi manusia sebagai individu dalam berbagai bentuk kondisi.

      Dari paparan di atas dapat dianalisis bahwa unsur-unsur pokok yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas budaya adalah sebagai berikut:
  • Klien sebagai individu yang unik, yang memiliki unsur-unsur budaya tertentu yang berpengaruh pada sikap, bahasa, nilai-nilai, pandangan hidup, dan sebagainya.
  • Konselor sebagai individu yang unik juga tidak terlepas dari pengaruh unsure-unsur budaya seperti halnya klien yang dilayani.
  • Dalam hubungan konseling konselor harus menyadari unsur-unsur tersebut dan menyadari bahwa unsur-unsur budaya itu akan mempengaruhi keberhasilan proses konseling.

D. Keterampilan dan Sikap Konselor Lintas Budaya

1. Keterampilan dan Pengetahuan Konselor

         Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda budaya, konselor harus memahami masalah sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach dan Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor professional hendaknya selalu meingkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
  • Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
  • Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada, berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut.
  • Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum konseling dan terapi.
  • Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal
  • Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal
  • Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien
  • Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

2. Sikap Konselor

       Para konselor lintas budaya yang tahu tentang kesamaan humanity harus dapat mengidentifikasi physical sensation dan psychological states yang dialami oleh klien. Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif, maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri menyadari world view-nya dan dapat world view klien. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor harus menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, kepercayaan, dan sebagainya. Sue, dkk (1992) mengemukakan bahwa konselor dituntut untuk mengembangkan tiga dimensi kemampuan, yaitu:
  • Dimensi keyakinan dan sikap
  • Dimensi pengetahuan
  • Dimensi keterampilan sesuai dengan nilai-nilai yang dimilki individu

          Sementara itu, Rao (1992) mengemukakan bahwa jika klien memiliki sifat atau kepercayaan yang salah atau tidak dapat diterima oleh masyarakat dan konselor akan hal tersebut, maka konselor boleh memodifikasi kepercayaan tersebut secara halus, tetapi apabila kepercayaan klien berkaitan dengan dasar filosofi dari kehidupan atau kebudayaan dari suatu masyarakat atau agama klien, maka konselor harus bersikap netral, yaitu tidak mempengaruhi kepercayaan klien tetapi membantunya untuk memahami nilai-nilai pribadinya dan nilai-nilai kebudayaan tersebut.

          Selanjutnya, Rao juga mengemukakan bahwa aspek-aspek yang mendasari sikap tersebut adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan
       Konselor harus yakin bahwa klien membicarakan martabat persamaan (hak) dan kepribadiannya. Konselor percaya atas kata dan nilai-nilai klien. Di samping itu juga yakin bahwa klien membutuhkan kebebasan dan memiliki kekuatan serta kemampuan untuk mencapai tujuan.

b. Nilai-nilai
           Konselor harus bersikap netral terhadap nilai-nilai terhadap nilai-nilainya. Konselor tidak menggunakan standar moral dan sosial berdasarkan nilai-nilainya. Dalam hal ini konselor harus memiliki keyakinan penuh akan nilai-nilainya dan tidak mencampurkan nilai-nilainya dengan nilai-nilai klien.

c. Penerimaan
       Penerimaan konselor menunjukkan pada klien bahwa dihargai sebagai peribadi dengan suasana yang menyenangkan. Penerimaan tersebut bersifat wajar tanpa dibuat-buat.

d. Pemahaman
     Konselor memahami klien secara jelas. Dalam hal ini ada empat tingkatan pemahaman, yaitu(1) pengetahuan tentang tingkah laku, kepribadian, dan minat-minat individu, (2) memahami kemampuan intelektual dan kemampuan verbal individu, (3) pengetahuan mengenai dunia internal individu, dan (4) pemahaman diri yang meliputi keseluruhan tingkatan tersebut.

e. Rapport
       Konselor menciptakan dan mengembangkan hubungan konseling yang hangat dan permisif, agar terjadi komunikasi konseling yang intensif dan efektif.

f. Empaty
       Kemampuan konselor untuk turut merasakan dan menggambarkan pikiran dan perasaan klien.

3. Persyaratan Konselor Lintas Budaya
     Isu konselor dalam penyelenggaraan konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat memberikan pelayanan konseling yang efektif dengan klien yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam hubungan dengan isu ini, Lorion dan Parron (1985) mengemukakan persyarakat konselor lintas budaya sebagai berikut:
  • Konselor harus terlatih secara khusus dalam perspektif multi budaya, baik akademik maupun pengalaman.
  • Penciptaan situasi konseling harus atas persetujuan bersama antara klien dan konselor, terutama yang berkaitan dengan dengan kemampuan mereka dalam mengembangkan hubungan kerja teurapetik.
  • Konselor harus fleksibel dalam menerapkan teori terhadap situasi-situasi khusus klien.
  • Konselor harus terbuka untuk dapat ditantang dan diuji.
  • Dalam situasi konseling multi budaya yang lebih penting adalah agar konselor menyadari sistem nilai mereka, potensi, stereotipe, dan prasangka-prasangkanya.
  • Konselor menyadari reaksi-reaksi mereka terhadap perilaku-perilaku umum.


Aspek-aspek yang harus di kaji melalui diskusi kelompok
  1. Aspek-aspek Budaya

  • Bahasa
  • Agama
  • Kekerabatan
  • Adat Perkawinan
  • Sosial Ekonomi
  • Tata Pergaulan
  • Tradisi Khusus

     2.  Permasalahan yang dialami
  • Permasalahan inter etnis
  • Permasalahan antar etnis
  • Permasalahan umum,



DAFTAR PUSTAKA


Aderson J. Donna dan Ann Craston-Gingras. 1991. “Sensitizing Counselors and Educators to Multicultural Issues : An Interactive Approach”. Journal of Counseling and Development. 1991. V. 70

Bernard, Hatorld W. & Fullmer, D.W. 1987. Principle of Guidance. Secon Edition. New York : Harper and Row Publisher.

Brammer, Lawrence M. & Shostrom, E.L. 1982. Thepetic Psychology : Foundamentals of Counseling and Psychoterapy. New Jersey : Prentice-Hall.

Brown Duance J. Srebalus David. 1988. An Introduction to the Counseling Profession. USA : by Allyn & Bacon

Corey, Gerald. 2004. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.

Jumarlin. 2002. Dasar – Dasar Konseling Lintas Budaya. Yokyakarta : Pustaka Pelajar

Kneller, G.F. 1978. Educational Anthropology. NewYork: Robert. F. Krieger

May Rollo.2003. The Art of Counseling. New Jersey : Prentice Hall, Inc

Pedersen Paul. Walter J. Lonner and Juris G. Draguns. 1980. Counseling Acroos Culture. USA : by The University Press of Hawaii

Prayitno. 2005. Konseling Pancawaskita. Padang : FIP Universitas Negeri Padang

Ritzer, G. :Kramer, K. W. C.:dan Yetman, N.R. 1979. Sociology:Experiencing A Changing Society. Boston: Allyn and Bacon

5 komentar:

  1. bisa bantu sya bgmn budaya dalm perspektif islm dn implementasi ke KLB bgmn?

    BalasHapus
  2. Saya ingin bertanya ada materi tentang komunikasi KLB
    Beda nya budaya sama adat istiadat itu, dan contoh nya dong,
    Minta tolong ya

    BalasHapus