GANGGUAN KEPRIBADIAN
Gangguan
Kepribadian (Personality Disorders)
1. Ditentukan oleh kemampuan individu
dalam menyesuaikan diri dengan :
· Peraturan Masyarakat
· Harapan-Harapan Masyarakat
2. Gangguan kepribadian BUKAN karena
Stres, akan tetapi bermula dari perkembangan pola kepribadian yang tidak masak
dan gangguan penyesuaian diri.
3. Ciri-Ciri Klinis Gangguan Kepribadian :
· Hubungan pribadi yang retak → hubungan
yang tidak baik dengan orang lain, selalu mengakhirinya dengan konflik, tidak
bisa menjalin persahabatan
· Berlangsung lama → mengganggu orang lain
; polanya tetap dan berjangka waktu lama
· Ada dan sering berhubungan serta
mempunyai dampak negatif manifest dalam perilaku (misalnya kecanduan, merusak
dan kriminal
· Ada pola-pola khusus seperti keras
kepala, curiga, dan tertutup
· Memberi kesan ingin periksa pada ahli
akan tetapi tidak ingin sembuh
· Merasa normal.
4. Jenis-jenis Gangguan Kepribadian
DSM
IV membagi Gangguan Kepribadian menjadi 3 kelompok yaitu :
a. Kelompok A, terdiri dari :
· Gangguan Kepribadian Paranoid
· Gangguan Kepribadian Skizoid
· Gangguan Kepribadian Skizotipal
→
Orang dengan gangguan ini seringkali tampak aneh dan eksentrik.
b. Kelompok B, terdiri dari :
· Gangguan Kepribadian Antisosial
· Gangguan Kepribadian Ambang (Borderline)
· Gangguan Kepribadian Histrionik
· Gangguan Kepribadian Narsistik
→Orang
dengan gangguan ini sering tampak dramatik, emosional, dan tidak menentu.
c. Kelompok C, terdiri dari :
· Gangguan Kepribadian Menghindar
(Avoidance)
· Gangguan Kepribadian Dependen
· Gangguan Kepribadian Obsesif-Kompulsif
· Gangguan Kepribadian Yang Tidak
Ditentukan
→Orang
dengan gangguan ini sering tampak cemas atau ketakutan.
Gangguan
Kepribadian Paranoid
Ciri-cirinya
adalah individu mempunyai pribadi yang kaku, curiga, cemburu, iri,
hipersensitif, mudah marah, cenderung menyalahkan orang lain, kesepian dalam
persahabatan, dan rasa humornya rendah.
Gangguan
Kepribadian Skizoid
Ciri-cirinya
adalah adanya “Social Withdrawl”, suka menyendiri, diam dan tak ramah, sulit
mengekspresikan kemarahan.
Gangguan
Kepribadian Skizotipal
Ciri-cirinya
individu kadang menunjukkan ciri seperti “Simple Skizofrenia”. Individu merasa
dapat “tembus pandang”, komunikasi dan cara berpikir mengalami hambatan.
Gangguan
Kepribadian Menghindar (Avoidance)
· selalu menghindari penolakan dan
penghinaan orang lain, sehingga malas berhubungan dengan orang lain
· merasa sendirian, rendah diri, dan
distres, serta hubungan dengan orang lain negatif
· kriteria diagnosis yaitu perpaduan
dari 2 kategori yaitu Skizoid dan Dependen.
Gangguan
Kepribadian Dependen
· Ada ketergantungan yang ekstrem, ada
kegelisahan
· Perilakunya normal jika tidak
dituntut untuk melakukan sendirian (ingin selalu ditemani).
Gangguan
Kepribadian Obsesif-Kompulsif
· Ada perhatian yang berlebihan
terhadap aturan, perintah, dan efisiensi
· Perilakunya hati-hati, patuh, dan kaku
· Ada pikiran-pikiran yang selalu
muncul dan diwujudkan dalam tindakan dan individu tidak dapat mengontrolnya.
Gangguan
Kepribadian Pasif-Agresif
Cirinya
adalah mengekspresikan sikap permusuhan secara tidak langsung.
Gangguan
Kepribadian Histrionik
· Ciri-ciri khususnya : tidak masak,
kegembiraan yang berlebihan, emosi yang tidak stabil, harapan tinggi,
penyesuaian seksual rendah, perasaan tidak mampu, dan pikiran dangkal
· Keluhan fisik dalam rangka mencari
perhatian dan jika gagal perasaannya sangat peka dan marah yang meledak-ledak.
Contoh : anak PUNK, remaja yang memakai anting-anting di lidah.
Gangguan
Kepribadian Narsistik
· Ada ketergantungan, rasa rendah
diri, menghindari hubungan yang dalam, sulit mencintai, sering menekan orang
lain
· Gangguan ini lebih banyak dialami
oleh laki-laki.
Gangguan
Kepribadian Ambang (Borderline)
Gejalanya
meliputi gangguan afeksi, secara tiba-tiba keluar dari realita (Skizofrenia),
mengalami delusi, ilusi, pikiran aneh, tingkah lakunya sering impulsif, pikiran
kosong, bosan, mudah frustasi, serta merusak diri.
Sumber
:
GANGGUAN
KEPRIBADIAN
Kita
semua memiliki gaya berperilaku dan cara tertentu dalam berhubungan dengan
orang lain, beberapa dari kita adalah tipe teratur, yang lain ceroboh. Beberapa
dari kita memilih mengerjakan tugas sendiri, yang lain lebih sosial. Beberapa
dari kita tipe pengikut, yang lain memimpin. Beberapa dari kita terlihat kebal
menerima penolakan dari orang lain, sementara yang lain menghindari inisiatif
sosial karena takut dikecewakan. Saat pola perilaku menjadi begitu tidak
fleksibel atau maladaptive sehingga dapat menyebabkan distress personal yang
signifikan atau mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan, maka pola perilaku
tersebut dapat didiagnosis sebagai gangguan kepribadian.
Gangguan
kepribadian adalah kelompok gangguan yang sangat heterogen. Gangguan tersebut
diberi kode pada aksis ii dalam dsm dan dianggap sebagai pola perilaku dan
pengalaman internal yang bertahan lama, pervasif, dan tidak fleksibel yang
menyimpang dari ekspektasi budaya orang yang bersangkutan dan dapat menggangu
dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Beberapa diantaranya dapat menyebabkan
distress emosional. Individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian apabila
ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku maladaptif dan telah berlangsung
dalam jangka waktu yang lama. Pola tersebut muncul pada setiap situasi serta
menggangu fungsi kehidupannya sehari-hari.
GANGGUAN
KEPRIBADIAN DIGOLONGKAN MENJADI TIGA KELOMPOK DALAM DSM-IV-TR, YAITU:
1.
KELOMPOK A (ODD/ECCENTRIC CLUSTER)
Gangguan
kepribadian yang ditandai perilaku aneh dan eksentrik, terdiri dari gangguan
kepribadian paranoid, schizoid, dan schizotypal. Individu dalam kelompok ini
sering memiliki kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain, atau mereka
menunjukkan sedikit atau tidak adanya minat dalam mengembangkan hubungan
sosial.
Etiologi
kelompok A
Berbagai
studi tentang keluarga memberikan beberapa bukti bahwa gangguan kepribadian
kelompok a berhubungan dengan skizofrenia. Pada gangguan skizotipal, pasien
mengalami kelemahan kognitif dan kurangnya fungsi neuropsikologis yang sama
dengan terjadinya skizofrenia. Selain itu, pasien dengan gangguan kepribadian
skizotipal memiliki rongga otak yang lebih besar dan lebih sedikit bagian
abu-abu di lobus temporalis.
2.
KELOMPOK B (DRAMATIC/ERRATIC CLUSTER)
Kelompok
gangguan ini mencakup terdiri dari gangguan kepribadian antisosial, borderline,
histrionic, dan narcissistic. Individu dalam kelompok ini menampilkan perilaku
yang dramatik atau berlebih-lebihan, tidak dapat diramalkan, self centered,
emosional dan eratik (tidak menentu atau aneh). Orang-orang dalam kelompok ini
memiliki ksulitan dalam membntuk dan membina hubungan.
3.
KELOMPOK C (ANXIOUS/FEARFUL CLUSTER)
Kelompok
gangguan ini terdiri dari gangguan kepribadian avoidant, dependent, dan
obsessive-compulsive. Meskipun ciri danri masing-masing gangguan ini berbeda,
namun gangguan ini sama-sama memiliki komponen berupa rasa cemas dan ketakutan.
Etiologi
kelompok C
Tidak
banyak data yang menjelaskan penyebab dari gangguan kepribadian kelompok
anxoius/fearful. Salah satu penyebab yang memungkinkan adalah hubungan antara
orang tua dan anak. Sebagai contoh, gangguan kepribadian dependen disebabkan
oleh pola asuh yang overprotektif dan authoritarian, sehingga menghambat
berkembangnya self-efficacy.
Di
samping itu, gangguan kepribadian dependen juga dapat disebabkan oleh masalah
attachment. Pada masa kanak-kanak, anak mengembangkan attachment terhadap orang
dewasa dan menggunakan orang dewasa tersebut sebagai dasar yang aman untuk
mengeksplorasi dan mengejar tujuan lain. Perpisahan dari orang dewasa dapat
menimbulkan kemarahan dan distress. Seiring dengan proses perkembangan, anak
tersebut kemudian menjadi tidak terlalu dependen pada figur attachment. Pada
attachment yang tidak normal, perilaku yang dapat dilihat pada individu yang
mengalami gangguan kepribadian dependen merefleksikan kegagalan dalam proses
perkembangan yang biasanya, yang muncul dari gangguan pada hubungan awal antara
orang tua dan anak yang disebabkan oleh kematian, pengabaian, penolakan, atau
pengasuhan yang overprotektif.
Individu
yang mengalami gangguan ini menggunakan berbagai cara untuk menjaga hubungan
dengan orang tua atau orang lain, misalnya dengan selalu menuruti mereka.
Sedangkan
gangguan kepribadian avoidant kemungkinan merefleksikan pengaruh lingkungan, di
mana anak diajarkan untuk takut pada orang dan situasi yang pada umumnya
dianggap tidak berbahaya. Misalnya ayah atau ibu memiliki ketakutan yang sama,
yang kemudian diturunkan pada anak melalui modeling. Kenyataan bahwa gangguan
ini terjadi di keluarga, dapat mengindikasikan adanya peran faktor genetik.
Freud
berpendapat bahwa obsessive-compulsive personality traits disebabkan oleh
fiksasi pada tahap awal dari perkembangan psikoseksual. Sedangkan teori
psikodinamik kontemporer menjelaskan bahwa gangguan kepribadian
obsesif-kompulsif disebabkan oleh ketakutan akan hilangnya kontrol yang diatasi
dengan overkompensasi. Sebagai contoh, seorang pria workaholic yang kompulsif
kemungkinan takut bahwa hidupnya akan hancur jika ia bersantai-santai dan
bersenang-senang.
KELOMPOK
A (ODD/ECCENTRIC CLUSTER)
1.
PARANOID PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN PARANOID)
Individu
yang mengalami gangguan kepribadian paranoid biasanya ditandai dengan adanya
kecurigaan dan ketidakpercayaan yang kuat terhadap orang lain. Mereka juga
diliputi keraguan yang tidak beralasan terhadap kesetiaan orang lain atau bahwa
orang lain tersebut dapat dipercaya.
Orang-orang
yang mengalami gangguan ini merasa dirinya diperlakukan secara salah dan
dieksploitasi oleh orang lain sehingga berperilaku selalu waspada terhadap
orang lain.
Mereka
sering kali kasar dan mudah marah terhadap apa yang mereka anggap sebagai
penghinaan. Individu semacam ini enggan mempercayai orang lain dan cenderung
menyalahkan mereka serta menyimpan dendam meskipun bila ia sendiri juga salah.
Mereka sangat pencemburu dan tanpa alasan dapat mempertanyakan kesetiaan
pasangannya.
Individu
dengan gangguan ini tidak mampu terlibat secara emosional dan menjaga jarak
dengan orang lain, mereka tidak hangat. Gangguan kepribadian paranoid paling
banyak terjadi pada kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Gangguan ini
banyak dialami bersamaan dengan gangguan kepribadian schizotipal, borderline,
dan avoidant.
Prevalensi
pada gangguan ini adalah berkisar 2 persen dari populasi pada umumnya.
Gangguan
paranoid memiliki perbedaan diagnosis dengan skizofrenia, karena pada gangguan
paranoid tidak muncul simtom halusinasi dan delusi. Perbedaannya dengan
gangguan borderline adalah gangguan paranoid lebih sulit untuk menjalin
hubungan dengan orang lain. Sedangkan perbedaannya dengan gangguan antisosial
adalah paranoid tidak memiliki sejarah antisosial. Perbedaannya dengan schizoid
adalah gangguan ini tidak memiliki ide-ide paranoid atau tidak memiliki
kecurigaan.
Perspektif
Psikososial Mengenai Paranoid Disorder
a)
Psikodinamik
Freud
percaya pada hasil penelitiannya, bahwa proyeksi adalah pusat mekanisme dari
pikiran paranoid. Delusi pada paranoid dijelaskan sebagai pengembangan dari
konsekuensi atas penolakan libido terhadap obyek homoseksual, diikuti dengan
regresi ke tahap narsistik pada libidinal development. Defense mekanisme kedua
yang berkembang dalam lingkaran setan yang mereka ciptakan adalah isolasi,
yaitu menjaga jarak secara psikologis maupun geografis. Selain itu inidividu ini
juga menggunakan rasionalisasi dan displacement.
Pandangan
psokodinamik perkembangan kontemporer menyatakan kepribadian paranoid adalah
akibat dari perlakuan abuse pada usia dini. Sementara orang normal belajar
trust pada awal perkembangan, paranoid malah belajar mistrust. Hipotesis freud
telah digeneralisasi, yaitu paranoid tidak mempengaruhi keinginan homoseksual
yang disembunyikan, melainkan merindukan kehangatan dari orang tua dengan jenis
kelamin yang sama, penyiksa (abuser) mereka, seringnya adalah ayah.
Akhtar
(millon, 452) menjelaskan aspek over dan cover dari kepribadian paranoid. Dalam
area self consep, pada aspek over paranoid terlihat arogan, selalu merasa
benar, dan mudah marah. Pada aspek cover, mereka merasa takut, inferior,
dipenuhi dengan keraguan dan rasa bersalah. Dalam relasi interpersonal, secara
over mereka terlihat tidak dapat dipercaya, tidak memiliki humor, suka menuduh,
dan dingin. Secara cover, mereka sangat sensitive, naïf, takut akan kekuasaan
dan otoritas, dan pendendam. Pada area adaptasi sosial, mereka rajin,
bersemangat dan sukses saat bekerja dengan cara mereka sendiri. Secara cover,
mereka sering memiliki masalah interpersonal, membawa masalah pribadi ke tempat
kerja, dan kurang mampu bekerja sama dalam team. Pada area percintaan dan
seksualitas, mereka terlihat tidak romantic, menolak humor seksual dan
bergosip. Secara cover, mereka meregukan kemampuan seksual mereka, dan mungkin
memiliki kecenderungan sadomasochistic.
b)
Behavioral
Pada
awal kehidupan, mereka melihat model pada fugur otoritas, kemudian mereka
menjadi independen dan mengikuti aturan dengan teliti. Sebagai dampak dari
kekakuan konformitas mereka terhadap lingkungan, maka mereka menjadi kurang
spontan dan inisiatif, sehingga tidak dapat membentuk relasi mendalam dan
terbuka, dan merasa ragu-ragu serta ketakutan terhadap hal-hal yang tidak merka
ketahui. Selain itu, kemungkinan saat kecil mengalami penyiksaan atau
penghinaan oleh pengasuhnya, menjadi korban kebencian dari orang lain, atau
pengasuh menjadi model paranoid (missal, sering mengatakan “Kau tidak boleh
mempercayai orang lain).
c)
Cognitive
Secara
kognitif, orang paranoid memiliki kesamaan dengan kepribadian konpulsive.
Masalah kognitif utama pada orang paranoid bukanlah persepsinya melainkan
interpretasi. Dasar stimulus yang masuk sama dengan orang normal, namun
informasi diproses dengan ketegasan dalam pengidentifikasian plot, pembatasan
ide, dan kritis. Cara berpikir orang paranoid berbeda dengan orang normal,
mereka memiliki criteria tersendiri untuk mencapai suatu goal.
d)
Interpersonal
Berdasarkan
pernyataan sullivan, terdapat dua syarat untuk perkembangan paranoid yang
miring. Pertama adalah rasa tidak aman yang intens terkait pada inferioroti.
Kedua adalah menyalahkan orang lain. Dengan bereaksi seakan semua orang adalah
musuh, orang paranoid menemukan posisi aman dan autonomi mereka, dan melindungi
diri mereka dengan melawan pengaruh dari luar. Untuk menciptakan dunia yang
aman bagi mereka, orang paranoid menciptakan karakter interpersonal untuk
menyerang, perlindungan keamann, dan membangun hubungan formal dengan orang
lain tapi tetap menghindari attachement dan ketergantungan. Paranoid ingin
percaya orang lain namun sangat takut terluka oleh penghianatan.
2.
SCHIZOID PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN SKIZOID)
Individu
yang mengalami gangguan ini tidak menginginkan atau menikmati hubungan sosial
dan biasanya tidak memiliki teman akrab. Mereka tampak tumpul, datar, dan
menyendiri serta tidak memiliki perasaan yang hangat dan tulus terhadap orang
lain. Mereka jarang memiliki emosi kuat, tidak tertarik pada hubungan seks,
serta bersikap masa bodoh terhadap pujian, kritik, dan perasaan orang lain.
Individu yang mengalami gangguan ini adalah seorang penyendiri dan menyukai
kegiatan yang dilakukan sendirian.
Individu
dengan gangguan kepribadian skizoid menampilkan perilaku menarik diri, mereka
merasa tidak nyaman bila berinteraksi dengan orang lain, cenderung introvert.
Mereka terlihat sebagai individu yang eksentrik, terkucil, dingin, dan
penyendiri. Dalam kesehariannya, individu lebih menyenangi kegiatan yang tidak
melibatkan orang lain dan berhasil pada bidang-bidang yang tidak melibatkan
orang lain. Prevalensi gangguan skizoid diperkirakan 7,5 persen dari populasi.
Perbandingan antara laki-laki dan perempuan diperkirakan 2 : 1 untuk laki-laki.
Perspektif
Psikososial Mengenai Schizoid Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Ahli-ahli
teori psikoanalisa berpendapat bahwa schizoid dibangun melalui hubungan ibu dan
anak yang terganggu, dimana anak tidak pernah belajar untuk member atau
menerima kasih sayang (Blueler, 1942; Klien, 1952). Anak ini menunjukkan bahwa
hubungan dan emosi-emosi sebagai hal yang berbahaya dan selanjutnya mereka
berdua tetap jauh dari orang lain dan juga perasaan-perasaan mereka sendiri.
b)
Behavioral
Saat
kecil, kemungkinan besar orang schizoid tidak diakui dan dicintai oleh orang
tua atau lingkungannya, cenderung diabaikan, mengalami pembedaan sikap (missal,
dengan kakaknya), dan sering mengalami cemoohan dari sekitarnya.
c)
Cognitive
Para
ahli kognitif menggambarkan gaya berpikir dari orang schizoid sebagai orang
yang tidak memperbaiki diri (improverished) dan tidak responsive terhadap
tanda-tanda yang menunjukkan emosi (Beck & Freeman, 1990). Daripada
memiliki perangkat keyakinan khusus yang mengarahkannya pada salah tafsir atas
situasi dengan cara yang spesifik, orang schizoid lebih tampak sebagai orang
yang memiliki minat terhadap kehidupan di sekliling mereka, namun dapat
mengakui secara intelektual bahwa orang lain mengalami situasi yang berbed
dengan mereka. Hasilnya mereka cenderung lemah dan tidak ekspresif, sehingga
keterampilan sosialnya rendah.
d)
Humanistic
Orang
dengan schizoid sering memandang diri mereka seperti boneka, android (robot),
atau budak. Hal ini karena mereka tidak memiliki tujuan hidup dan self concept
yang rendah.
e)
Interpersonal
Orang
dengan tipe schizoid adalah penyendiri, kurang teman dan menghindar dari
lingkungan. Hal itu karena mereka tidak nyaman dan tidak tertarik membangun hubungan
sosial.
3.
SCHIZOTYPAL PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN SKIZOTIPAL)
Individu
dengan gangguan kepribadian skizotipal biasanya memiliki kepercayaan yang aneh.
Mereka memiliki pemikiran yang ajaib/aneh (magical), ide-ide yang ganjil, ilusi,
dan derealisasi yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Individu
dengan gangguan ini memiliki masalah dalam berpikir dan berkomunikasi. Dalam
pembicaraan, mereka dapat menggunakan kata-kata dengan cara yang tidak umum dan
tidak jelas sehingga hanya diri mereka saja yang mengerti artinya.
Dari
perilaku dan penampilan, mereka juga tampak eksentrik. Sebagai contoh, mereka
berbicara kapada diri sendiri dan memakai pakaian yang kotor serta kusut. Ciri
yang umum terjadi adalah ideas of reference (keyakinan bahwa berbagai kejadian
memiliki makna khusus dan tidak biasa bagi orang yang bersangkutan),
kecurigaan, dan pikiran paranoid. Mereka pun memiliki kemampuan yang rendah
dalam berinteraksi dengan orang lain dan kadang kala bertingkah laku aneh sehingga
akhirnya mereka sering kali terkucil dan tidak memiliki banyak teman.
Prevelensi
gangguan ini diperkirakan kurang dari 1 persen. Gangguan kepribadian skizotipal
lebih banyak muncul pada keluarga yang memiliki penderita skizofrenia. Gangguan
kepribadian skizotipal adalah titik awal dari skizofrenia. Walaupun sama-sama
muncul simtom halusinasi, namun perbedaan gangguan ini dengan gangguan
skizofrenia adalah halusinasi pada skizotipal biasanya berlangsung dalam waktu
singkat.
Orang
dengan gangguan skizotipal menunjukkan masalah dalam kemampuan untuk menahan
atensi dalam tugas-tugas kognitif, sebagaimana penrunan atensi yang sama
terlihat pada orang schizophrenia. Mereka juga menunjukkan level yang rendah
dari oksidasi monomine, yang akan meningkatkan jumlah dopamine dalam otak
sehingga mencapai level tertinggi asam homovanilik, yaitu metabolism utama dari
dopamine.
Perspektif
Psikososial Mengenai Schizotypal Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Teori
psikoanalisa mengenai schizotypal tidak banyak ditemukan. Barangkali
teori-teori psikologi tidak memberikan perhatian yang besar pada jenis gangguan
ini karena sangat dekat kaitannya dengan scyzophrenia, yang menampilkan
akar-akar biologis yang kuat karena schizotipal tidak ditambahkan ke dalam
kategori diagnostic pada DSM relative hingga sekarang.
b)
Behavioral
Orang
dengan gangguan ini, kemungkinan besar dengan pola asuh keluarga yang psychotic
(punya masalah kejiwaan) atau ada sejarah salah satu anggota keluarga memiliki
gangguan skizotipal. Saat anak-anak, orang-orang dengan gangguan skizotipal
adalah pasif , secara sosial tidak terlibat, dan terlalu sensitive terhadap
kritik. Karakteristik dari orang lainnya adalah dimana secara umum mereka
tampak ganjil dalam berpikir.
c)
Cognitive
Orang
dengan tipe schizotypal memiliki cara pikir yang berbeda dengan orang lain,
distorsi persepsi, seringnya irasional. Ia memiliki kepercayaan terhadap
hal-hal yang aneh, percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan magis (telepathy,
sixth sense, paranormal).
d)
Interpersonal
Menghindari
hubungan dengan banyak orang, memiliki kewaspadaan yang tinggi, senang memberi
kitik dan curiga terhadap orang-orang di sekitarnya.
KELOMPOK
B (DRAMATIC/ERRATIC CLUSTER)
1.
BORDERLINE PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN AMBANG)
Disebut
dengan kepribadian ambang (borderline) karena berada di perbatasan antara
gangguan neurotik dan skizofrenia. Ciri-ciri utama gangguan ini adalah
impulsivitas dan ketidakstabilan dalam hubungan dengan orang lain dan memiliki
mood yang selalu berubah-ubah. Contohnya, sikap dan perasaan terhadap orang
lain dapat berubah-ubah secara signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang
singkat. Individu yang mengalami gangguan borderline memiliki karakter
argumentatif, mudah tersinggung, sarkastik, cepat menyerang, dan secara
keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka.
Perilaku
mereka yang tidak dapat diprediksi dan impulsif, boros, aktivitas seksual yang
tidak pandang bulu, penyalahgunaan zat, dan makan berlebihan, berpotensi
merusak diri sendiri. Mereka tidak tahan berada dalam kesendirian, memiliki
rasa takut diabaikan, dan menuntut perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi
dan perasaan hampa yang kronis, mereka sering kali mencoba bunuh diri.
Gangguan
kepribadian borderline bermula pada masa remaja atau dewasa awal, dengan
prevelensi sekitar 1 persen, dan lebih banyak terjadi pada perempuan
dibandingkan pada laki-laki.
Etilogi
gangguan kepribadian borderline
Penyebab
terjadinya gangguan kepribadian borderline antara lain dapat dijelaskan oleh
kedua pandangan berikut:
Faktor
biologis
Faktor-faktor
biologis antara lain disebabkan oleh faktor genetis. Gangguan kepribadian
borderline dialami oleh lebih dari satu anggota dalam satu keluarga. Beberapa
data menunjukkan adanya kelemahan fungsi lobus frontalis, yang sering diduga
berperan dalam perilaku impulsif. Individu dengan gangguan borderline mengalami
peningkatan aktivasi amigdala, suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat
penting dalam pengaturan emosi.
Linehan’s
diathesis-stress theory
Menurut
teori ini, gangguan kepribadian borderline berkembang ketika individu dengan
diatesis biologis (kemungkinan genetis) di mana ia mengalami kesulitan untuk
mengontrol emosi, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang salah
(invalidating). Dalam teori ini, diatesis biologis disebut sebagai emotional
dysregulation. Sedangkan invalidating experience adalah pengalaman di mana
keinginan dan perasaan individu diabaikan dan tidak dihormati; usaha individu
untuk mengkomunikasikan perasaannya tidak dipedulikan atau bahkan diberi
hukuman. Salah satu contoh ekstremnya adalah kekerasan pada anak, baik secara
seksual maupun nonseksual. Dengan kata lain, emotional dysregulation saling
berinteraksi dengan invalidate experience anak yang sedang berkembang. Hal
itulah yang kemudian memicu perkembangan kepribadian borderline.
Perspektif
Psikososial Mengenai Borderline Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Individu
dengan gangguan kepribadian borderline sering kali mengembangkan mekanisme
defense yang disebut splitting, yaitu mendikotomikan objek menjadi semuanya
baik atau semuanya buruk dan tidak dapat mengintegrasikan aspek positif dan
negatif orang lain atau diri menjadi suatu keutuhan. Hal itu menimbulkan
kesulitan yang ekstrem dalam meregulasi emosi karena individu borderline
melihat dunia, termasuk dirinya sendiri, dalam dikotomi hitam-putih.
Bagaimanapun juga, defense ini melindungi ego yang lemah dari kecemasan yang
tidak dapat ditoleransi.
Teori
ini merupakan teori dari psikoanalisa yang memfokuskan diri pada bagaimana cara
anak mengintroyeksikan nilai-nilai dan gambaran yang berhubungan dengan
orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya, misalnya orang tua. Dengan
kata lain, fokus dari teori ini adalah cara anak mengidentifikasikan diri
dengan orang lain di mana ia memiliki emotional attachment yang kuat dengan
orang tersebut. Orang-orang yang diintroyeksikan tersebut menjadi bagian dari
ego si anak pada masa dewasa, tetapi dapat menimbulkan konflik dengan harapan,
tujuan, dan ideal-idealnya.
Teori
ini beranggapan bahwa individu bereaksi terhadap dunia melalui perspektif dari
orang-orang penting dalam hidupnya pada masa lalu, terutama orang tua atau
caregiver. Terkadang perspektif tersebut berlawanan harapan dan minat dari
individu yang bersangkutan. Otto kernberg, salah seorang tokoh dalam teori ini
menyatakan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kanak-kanak,
misalnya mempunyai orang tua yang memberikan cinta dan perhatian secara tidak
konsisten (menghargai prestasi anak, tetapi tidak dapat memberikan dukungan
emosional dan kehangatan), dapat menyebabkan anak mengembangkan insecure egos
(bentuk umum dari gangguan kepribadian borderline).
Beberapa
hasil penelitian juga mendukung teori ini. Individu yang mengalami gangguan
kepribadian borderline menyatakan kurangnya kasih sayang dari ibu. Mereka
memandang keluarga mereka tidak ekspresif secara emosional, tidak memiliki
kedekatan emosional, dan sering terjadi konflik dalam keluarga. Selain itu,
mereka biasanya juga mengalami kekerasan seksual dan fisik serta sering
mengalami perpisahan dengan orang tua pada masa kanak-kanak.
Bagaimanapun
juga, hasil-hasil penelitian tersebut masih belum dapat menyatakan secara jelas
apakah pengalaman-pengalaman itu memang hanya dialami oleh mereka dengan
gangguan kepribadian borderline saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline mempunyai pengalaman
masa kecil yang tidak menyenangkan. Namun belum jelas apakah pengalaman
tersebut bersifat spesifik bagi gangguan ini.
b)
Behavioral
Orang
dengan gangguan borderline biasanya dibesarkan oleh pola asuh maladaptive,
ditinggalkan pengasuh, dan memiliki trauma abuse saat kecil. Hal ini membuat
mereka saat dewasa menjadi haus akan perhatian dan kasih sayang, sangat
sensitive,
c)
Cognitive
Pada
beberapa kasus, ditemukan pula cara berpikir orang paranoid, yaitu penuh
kecurigaan terhadap orang lain.
d)
Humanistic
Orang
dengan gangguan borderline cenderung tidak yakin tentang identitas pribadi
mereka (nilai, tujuan, karir, dan bahkan orientasi seksual). Ketidakstebilan
dalam self-image atau identitas pribadi membuat mereka dipenuhi perasaan
kekosongan dan kebosanan yang terus-menerus.
e)
Interpersonal
Orang
dengan tipe borderline ide ketakutan akan ditinggalkan menjadikan mereka
pribadi yang melekat dan menuntut dalam hubungan sosial mereka, namun kelekatan
mereka sering kali malah menjauhkan orang-orang di sekitarnya. Tanda-tanda
penolakan membuat mereka menjadi sangat marah, yang membuat mereka menjadi
lebih jauh lagi. Akibatnya, perasaan mereka terhadap lingkingan menjadi
berubah-ubah. Mereka cendreung mamandang orang lain sebagai
semua-tentangnya-baik dan semua-tentangnya-buruk, karena berubah-ubah dengan
cepat dan ekstrem.
2.
HISTRIONIC PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN HISTRIONIK)
Gangguan
kepribadian histrionik sebelumnya dikenal disebut kepribadian histerikal,
ditegakkan bagi orang-orang yang selalu dramatis dan mencari perhatian. Mereka
sering kali menggunakan ciri-ciri penampilan fisik yang dapat menarik perhatian
orang kepada dirinya, misalnya pakaian yang mencolok, tata rias, atau warna
rambut. Mereka berpusat pada diri sendiri, terlalu mempedulikan daya tarik
fisik mereka, dan merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian.
Mereka dapat sangat provokatif dan tidak senonoh secara seksual tanpa
mempedulikan kepantasan serta mudah dipengaruhi orang lain.
Diagnosis
ini memiliki prevelensi sekitar 2 persen dan lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Gangguan kepribadian histrionik lebih banyak
terjadi pada mereka yang mengalami perpisahan atau perceraian, dan hal ini
diasosiasikan dengan depresi dan kesehatan fisik yang buruk. Gangguan ini
sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline.
Etiologi
gangguan kepribadian histrionik
Gangguan
ini dijelaskan berdasarkan pendekatan psikoanalisa. Perilaku emosional dan
ketidaksenonohan secara seksual didorong oleh ketidaksenonohan orang tua,
terutama ayah terhadap anak perempuannya. Kebutuhan untuk menjadi pusat
perhatian dipandang sebagai cara untuk mempertahankan diri dari perasaan yang
sebenarnya yaitu self-esteem yang rendah.
Perspektif
Psikososial Mengenai Histrionic Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Para
ahli psikodinamika melihat gangguan ini sebagai hasil dari kebutuhan-kebutuhan
akan ketergantungan yang sangat mendalam dan merupakan represi-represi dri
emosi, hambatan dari resolusi setiap tahap oral atau oedipal. Pencarian atensi
berasal dari kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan dari orang lain.
Kedangkalan berpikir dan kedangkalan keterlibatan emosi dengan orang lain
mnggambarkan orang-orang histerionik yang merepresi kebutuhn-kebutuhab dan
perasann-perasannnya sendiri.
b)
Behavioral
Orang
denga tipe histerionik biasanya berasal dari kelurga yang memanjakan dan membiarkan
sifat manjanya hingga dewasa (being daddy’s "pretty little girl").
Hal ini manjadi suatu pembiasaan sehingga terbentuk karakter yang menetap
mengenai sifat manja dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Selain itu,
biasanya, dalam keluarga tabu untuk mendidik atau mengenalkan. masalah sex.
Selain itu, ada pndapat lain yaitu ketika masa kanak mengalami hubungan dengan
orang tua yang tidak harmonis sehingga kehilangan rasa cinta. Lalu untuk
mempertahankan ketakutan akan kehilangan yang sangat, dia bereaksi secara
dramatis.
c)
Cognitive
Para
ahli kognitif berpendapat bahwa asumsi dasar yang mengarahkan orang-orang
bertingkah laku histerionik adalah “aku tidak cukup dan tidak mampu menangani
hidup dengan caraku sendiri”. Meskipun asumsi ini dipakai untuk orang-orang
dengan gangguan lain, secara kgusus yang mengalami depresi dan orang-orang
histerionik merespon asumsi ini secara lebih berbeda dibandingkan dengan
gangguan lain. Secara khusus, orang histerionik bekerja untuk mendapat
perhatian dan dukungan dari orang lain.
d)
Humanistic
Orang
dengan tipe ini memiliki self-esteem yang rendah, dan sedang berjuang untuk
member kesan pada orang lain dengan tujuan meningkatkan self-worth mereka.
e)
Interpersonal
Orang
dengan tipe histerionik dapat berbuat apa saja agar mendapat perhatian dari
sekelilingnya. Walaupun begitu, ia tidak dapat menjalin relasi mendalam dengan
lingkungannya. Kadang mereka memperlihatkan perlaku merayu secara sexual
(dengan lawan jenis, bahkan pada ayah sendiri), berkompetisi dan terlalu
menuntut pada relasi dengan jenis kelamin yang sama.
3.
NARCISSISTIC PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN NARSISTIK)
Individu
dengan gangguan kepribadian narsistik memiliki pandangan berlebihan mengenai
keunikan dan kemampuan mereka. Mereka merasa bahwa dirinya spesial dan berharap
mendapatkan perlakuan yang khusus pula. Oleh sebab itu, mereka sulit menerima
kritik dari orang lain. Hubungan interpersonal mereka terhambat karena
kurangnya empati, perasaan iri, dan arogansi, dan memanfaatkan/menghendaki
orang lain melakukan sesuatu yang istimewa untuk mereka tanpa perlu dibalas.
Individu pada gangguan ini sangat sensitif terhadap kritik dan takut akan
kegagalan. Terkadang mereka mencari sosok lain yang dapat mengidealkan karena
mereka kecewa terhadap diri sendiri, tetapi mereka biasanya tidak mengizinkan
siapa pun untuk benar-benar berhubungan dekat dengan mereka.
Hubungan
personal mereka sedikit dan dangkal; ketika orang lain menjatuhkan harapan
mereka yang tidak realistis, mereka akan marah dan menolak. Prevelensi gangguan
ini kurang dari 1 persen.
Etiologi
gangguan kepribadian narsistik
Penyebab
gangguan kepribadian narsistik dapat dipandang dari segi psikoanalisa. Orang
yang mengalami gangguan ini dari luar tampak memiliki perasaan yang luar biasa
akan pentingnya dirinya. Namun dipandang dari psikoanalisa, karakteristik
tersbut merupakan topeng bagi self-esteem yang rapuh.
Menurut
heinz kohut, self muncul pada awal kehidupan sebagai struktur bipolar dengan
immature grandiosity pada satu sisi dan overidealisasi yang bersifat dependen
di sisi lain. Kegagalan mengembangkan self-esteem yang sehat terjadi bila orang
tua tidak merespons dengan baik kompetensi yang ditunjukkan oleh anak-anaknya.
Dengan demikian, anak tidak bernilai bagi harga diri mereka sendiri, tetapi
bernilai sebagai alat untuk meningkatkan self-esteem orang tua.
Perspektif
Psikososial Mengenai Narcissistic Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Sigmund
Freud memandang narcisme sebagai fase yang dilalui semua anak sebelum
menyalurkan cinta mereka kepada diri mereka sendiri dan orang-orang yang
berarti (significant person). Anak-anak dapat terfiksasi pada fase narsistik
ini, bagaimanapun, jika mereka mengalami bahwa orang-orang yang mengasuhnya
tidak dapat dipercaya dan memutuskan bahwa mereka hanya dapat bersandar pada
diri sendiri, atau jika mereka memiliki orang tua yang selalu menuruti mereka
dan menanamkan pada mereka suatu perasaan bangga atas kemampuan dan harga diri
mereka.
b)
Behavioral
Dari
sudut pandang sosial learning, Millon menemukan bahwa asal dari gaya narsistik
adalah evaluasi berlebihan yang tidak realistic mengenai nilai anak-anak oleh
orang tua. Anak tidak mampu menggapai (live up) pada evaluasi-evaluasi orang
tuanya mengenai dirinya, tetapi dia secara berkelanjutan bertindak seolah-olah
dia merupakan orang yang superior. Demikian pula, Beck dan Freeman berpendapat
bahwa beberapa orang narsistik membangun asumsi mengenai keberhargaan-diri
(self worth) mereka yang tidak realistic dalam hal-hal yang positif sebagai
hasil dari penurutan dan evaluasi yang berlebihan dari significant person saat
anak-anak. Orang-orang narsistik lainnya mengembangkan keyakinan bahwa mereka
merupakan unik dan luar biasa dalam bereaksi untuk menjadi satu-satuny orang
yang berbeda dari orang lain secara etnis, rasial, dan status ekonomi, atau
sebagai upaya bertahan menghadapi penolakan oleh significant person dalam
kehidupan mereka.
c)
Cognitive
Orang
narsistik cenderung terobsesi dan terpaku pada fantasi akan keberhasilan dan
kekuasan, cinta yang ideal, atau pengakuan akan kecerdsan dan kecantikan.
Seperti orang kepribadian hiterionik, mengejar karir dimana mereka dapat
menjadi pusat perhatian dan mendapat pemujaan, seperti modeling, acting dan
politik. Ambisi yang serakah membuat mereka mendedikasikan diri untuk bekerja
tanpa lelah. Mereka terdorong untuk berhasil namun bukan untuk mandapatkan
uang, melainkan untuk mendapat pemujaan yang menyertai kesuksesan.
d)
Humanistic
Secara
aktual orang dengan tipe ini memiliki self-esteem yang rendah.
e)
Interpersonal
Orang
dengan gangguan ini tidak dapat menjalin relasi secara mendalam karena adanya
tuntutan yang dipaksakan pada orang lain, kurang memiliki rasa empati, sering
mengagung-agungkan diri, dan mengeksploitasi orang lain sampai mereka puas..
4.
ANTISOCIAL PERSONALITY DISORDER AND PSYCHOPATHY (GANGGUAN KEPRIBADIAN
ANTISOSIAL DAN PSIKOPATI)
Orang
dewasa yang mengalami gangguan antisosial menunjukkan perilaku tidak
bertanggung jawab dan antisosial dengan bekerja secara tidak konsisten,
melanggar hukum, mudah tersinggung, agresif secara fisik, tidak mau membayar
hutang, sembrono, ceroboh, dan sebagainya. Mereka impulsif dan tidak mampu
membuat rencana ke depan. Mereka sedikit atau bahkan tidak merasa menyesal atas
berbagai tindakan buruk yang mereka lakukan. Gangguan ini lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dan lebih banyak terjadi di kalangan anak
muda daripada dewasa yang lebih tua. Gangguan ini lebih umum terjadi pada orang
dengan status sosioekonomi rendah.
Sementara
itu, salah satu karakteristik psychopathy adalah kemiskinan emosi, baik positif
maupun negatif. Orang-orang psychopathy tidak memiliki rasa malu, bahkan
perasaan mereka yang tampak positif terhadap orang lain hanyalah sebuah
kepura-puraan. Penampilan psikopat menawan dan memanipulasi orang lain untuk
memperoleh keuntungan pribadi. Kadar kecemasan yang rendah membuat psikopat
tidak mungkin belajar dari kesalahannya. Kurangnya emosi positif mendorong
mereka berperilaku secara tidak bertanggung jawab dan berperilaku kejam
terhadap orang lain.
Etiologi
gangguan kepribadian antisosial dan psychopathy
Penyebab
gangguan ini berkaitan dengan peran keluarga. Kurangnya afeksi dan penolakan
berat orang tua merupakan penyebab utama perilaku psychopathy. Selain itu, juga
disebabkan oleh tidak konsistennya orang tua dalam mendisiplinkan anak dan
dalam mengajarkan tanggung jawab terhadap orang lain. Orang tua yang sering
melakukan kekerasan fisik terhadap anaknya dapat menyebabkan gangguan ini.
Gangguan ini juga dapat disebabkan oleh kehilangan orang tua. Di samping itu,
ayah dari penderita psikopat kemungkinan memiliki perilaku antisosial. Faktor
lingkungan di sekitar individu yang buruk juga dapat menyebabkan gangguan ini.
Perspektif
Psikososial Mengenai Psichopathy
a)
Psikodinamik
Terjadi
karena dorongan-dorongan bawah sadar terhadap pemuasan id ditambah dengan
rendahnya kontrolnya ego sehingga id lebih dominan dan akhirnya dia melakukan
segala cara untuk memuaskan id nya seperti membunuh, dan menyakiti orang lain,
atau menipu. Disamping itu, orang yang menderita gangguan tersebut mempunyai
super ego yang tumpul sehingga ia tidak merasa bersalah atas apa yang telah di
lakukannya meskipun perilakunya sudah merugikan banyak orang.
b)
Behavioral
Teori
behavioristik memandang bahwa gangguan kepribadian psikopat di sebabkan oleh
proses belajar yang salah selama rentang kehidupanya. Ia tidak memahami
perilaku mana yang benar dan perilaku mana yang salah. Anak yang tidak pernah
mendapatkan reward atas hasil baik yang ia lakukan justru ia selalu mendapatkan
perilaku dan pengalaman yang tidak menyenangkan saat melakukan perbuatan yang
baik maupun yang buruk. Maka anak tersebut belajar bahwa, tidak ada yang
namanya benar. Tetapi, apapun yang ia lakukan akan sama saja dampaknya
c)
Cognitive
Psikopat
terjadi karena mengalami distorsi kognitif. Ia berfikir bahwa ia dapat
mendapatkan apa saja yang ia mau dengan melakukan apa saja yang ia inginkan
untuk membawanya kepada sesuatu yang ia inginkan tersebut meskipun perilakunya
membawa pengaruh atau efek buruk bagi orang lain.
d)
Humanistic
Dalam
teori humanistik, gangguan tersebut di sebabkan oleh terhambatnya dan tidak
tercapainya proses menuju aktualisasi diri yang sehat. Seseorang yang menderita
gangguan tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Baik kebutuhan akan rasa aman
dan kebutuhan akan rasa cinta dan dicintai.
e)
Interpersonal
Seseorang
yang psikopat biasanya cuek pada norma-norma sosial, tak peduli pada aturan,
dan pemberontak. Kepribadiannya yang sulit ditebak, bisa terlihat dari ketidakstabilannya
dalam hubungan interpersonal, citra diri, serta selalu bertindak menuruti kata
hati. Tanpa peduli perbuatannya itu salah atau benar, mengganggu orang atau
tidak. Orang seperti ini cenderung impulsif (melakukan sesuatu tanpa pikir
panjang), dan berpikiran negatif serta memiliki sifat pendendam.
KELOMPOK
C (ANXIOUS/FEARFUL CLUSTER)
b>1.
AVOIDANT PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN MENGHINDAR)
Individu
dengan gangguan ini adalah individu yang memiliki ketakutan yang besar akan kemungkinan
adanya kritik, penolakan atau ketidaksetujuan, sehingga merasa enggan untuk
menjalin hubungan, kecuali ia yakin bahwa ia akan diterima.
Individu
tersebut bahkan terkadang menghindari pekerjaan yang banyak memerlukan kontak
interpersonal. Dalam situasi sosial, ia sangat mengendalikan diri (kaku) karena
sangat amat takut mengatakan sesuatu yang bodoh atau dipermalukan atau
tanda-tanda lain dari kecemasan. Ia merasa yakin bahwa dirinya tidak kompeten
dan inferior, serta tidak berani mengambil risiko atau mencoba hal-hal baru.
Berdasarkan
dsm-iv-tr, kriteria dari avoidant personality disorder adalah sebagai berikut:
•
Penghindaran terhadap kontak interpersonal karena takut kritik dan penolakan
•
Ketidakmampuan untuk terlibat dengan orang lain kecuali ia merasa yakin akan
disukai atau diterima.
•
Kekakuan dalam hubungan yang intim karena takut dipermalukan atau dicemooh.
•
Perhatian yang berlebihan terhadap kritik atau penolakan.
•
Perasaan tidak mampu.
•
Perasaan inferior.
•
Keengganan yang ekstrem untuk mencoba hal-hal baru karena takut dipermalukan.
Prevalensi
dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan dengan gangguan
kepribadian dependen dan borderline. Avoidant personality disorder juga sering
bercampur dengan diagnosis axis i depresi dan generalized social phobia.
Gangguan ini memiliki gejala yang serupa dengan generalized social phobia,
tetapi gangguan ini sebenarnya merupakan jenis generalized social phobia yang
lebih kronik.
Baik
avoidant personality disorder atau social phobia berhubungan dengan gejala yang
muncul di jepang, yang disebut dengan taijin kyoufu. ”taijin” berarti
interpersonal dan ”kyoufu” berarti takut. Seperti pada avoidant personality
disorder dan social phobia, individu yang mengalami taijin kyoufu sangat sensitif
dan menghindari kontak interpersonal. Namun, hal yang ditakuti berbeda dengan
hal-hal yang umumnya ditakuti pada diagnosis dsm. Individu dengan taijin kyoufu
cenderung cemas atau malu tentang bagaimana ia mempengaruhi atau tampak di
depan orang lain, misalnya takut bahwa mereka tampak jelek atau bau.
Perspektif
Psikososial Mengenai Avoidant Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Mereka
memiliki perasaan rendah diri (inferiority complex), tidak percaya diri, takut
untuk berbicara di depan publik atau meminta sesuatu dari orang lain. Mereka
seringkali mensalahartikan komentar dari orang lain sebagai menghina atau
mempermalukan dirinya. Oleh karena itu, individu dengan gangguan kepribadian
menghindar biasanya tidak memiliki teman dekat. Secara umum dapat dikatakan
bahwa sifat yang dominan pada individu ini adalah malu-malu. Prevalensi
gangguan kepribadian menghindar adalah 1-10 % dari populasi pada
umumnya.gangguan kepribadian ini dapat dikatakan sebagai gangguan yang umumnya
dimiliki oleh individu. Bayi-bayi yang diklasifikasikan sebagai memiliki
tempramen yang pemalu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memiliki
gangguan ini daripada bayi-bayi yang aktif bergerak (berdasarkan
activity-approach scales).
b)
Behavioral
Mereka
mudah sekali keliru dalam mengartikan komentar orang lain, seringkali komentar
dari orang lain dianggap sebagai suatu penghinaan atau ejekan. Pada umumnya
sifat dari orang dengan gangguan kepribadian menghindar adalah seorang yang
pemalu. Menurut teori kognitif-behavioral, pasien sangat sensitif terhadap
penolakan karena adanya pengalaman masa kanak-kanak, misalnya : karena mendapat
kritik yang pedas dari orang tua, yang membuat mereka mencap diri mereka tidak
mampu (inadequate).
c)
Cognitive
Pada
kepribadian avoidant, kandungan kognisi menjalin hubungan timbal balik
patologis dengan struktur kognisi (misalnya perangkat penyusunan informasi),
dimana hubungan ini yang bertanggungjawab atas terjadinya gangguan. Sifat
terlalu curiga adalah pusat dari seluruh gangguan. Avoidant secara konstan
memeriksa lingkungan mencari potensi ancaman. Mereka sensitif terhadap segala
perasaan dan niatan orang lain terhadap mereka. Yang dihasilkan adalah sistem
pemrosesan informasi yang dikuasai oleh terlalu banyak stimulus yang menghambat
mereka memahami sesuatu yang biasa atau keadaan sekitar. Akibatnya, penilaian
terhadap potensi bahaya menjadi sangat tinggi, bahkan kejadian yang sebenarnya
tidak mengandung bahaya-pun ditandai sebagai ancaman. Karena terlalu banyak potensi
ancaman yang masuk maka tidak ada satu informasi-pun yang diolah secara
mendalam.
Hipotesis
yang menyatakan bahwa setiap sumber stimulasi itu berbahaya berlanjut sebagai
akibat dari ketidakpastian, membiarkan sebuah ancaman tanpa diperiksa akan sangat
berisiko. Hasilnya, kecemasan meningkat, kepekaan terhadap tanda-tanda bahaya
juga meningkat dan kedalaman pemrosesan informasi makin menderita. Akibatnya,
seluruh proses kognitif menjadi sangat terbebani karena menganggap segala
sesuatu sebagai ancaman. Oleh sebab itu seorang avoidant harus menarik diri
demi mendapatkan rasa aman.
d)
Humanistic
Pandangan
diri: melihat diri sebagai individu yang tidak mampu dan tidak kompeten dalam
bidang akademis dan situasi bekerja. Pandangan tentang orang lain: melihat
orang lain yang mengkritik, tidak tertarik, dan penuntut. Kepercayaan: intinya
adalah “saya tidak baik...tidak berharga...tidak dicintai. Saya tidak bisa
menerima perasaan yang tidak menyenangkan.” Tingkatan kepercayaan yang lebih
tinggi adalah “jika orang mendekati saya, mereka akan menemukan “keaslian diri
saya” dan akan menolak saya-hal ini tidak bisa diterima.” Tingkat selanjutnya,
adalah kepercayaan mengenai instruksi diri (self-instructional) seperti: “lebih
baik tidak mengambil resiko,” “sebaiknya saya menghindari situasi yang tidak
menyenangkan”, “jika saya merasa atau berpikir sesuatu yang tidak menyenangkan,
saya seharusnya mencoba keluar dengan mengacaukan diri.”
e)
Interpersonal
Perasaan
utamanya adalah disphoria, kombinasi kecemasan dengan sedih, dihubungkan dengan
kurangnya perolehan kesenangan yang relasi terdekat dan keyakinan diri dalam
penyelesaian tugas. Penerimaan yang rendah terhadap disphoria menghambat mereka
dalam mengatasi perasaan malu dan membantu mereka untuk lebih efektif. Karena
mereka menghayati dan mengawasi perasaan terus menerus, mereka sensitif untuk
perasaan sedih dan cemas. Ironisnya, disamping kewaspadaan yang sangat terhadap
perasaan tidak nyaman, mereka malu untuk mengidentifikasi pikiran yang tidak
menyenangkan itu-kecenderungan yang sesuatu dengan strategi utama yang disebut
“cognitive avoidance”. Walaupun mendapatkan masalah, mereka tetap tidak mau
terlibat hubungan dengan resiko kegagalan atau penolakan.
2.
DEPENDENT PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN DEPENDEN)
Ciri
utama dari gangguan kepribadian dependen adalah kurangnya rasa percaya diri dan
otonomi. Individu dengan gangguan kepribadian ini memandang dirinya lemah dan
orang lain lebih kuat. Ia juga memiliki kebutuhan yang kuat untuk diperhatikan
atau dijaga oleh orang lain yang sering kali menyebabkan munculnya perasaan
tidak nyaman ketika sendirian. Ia mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk
meyakinkan bahwa ia tidak merusak hubungan yang telah terjalin dengan orang
lain. Ketika hubungan dekat berakhir, individu yang mengalami gangguan ini
segera berusaha menjalin hubungan lain untuk menggantikan hubungan yang telah
berakhir tersebut.
Kriteria
dalam dsm pada umumnya mendeskripsikan individu yang mengalami gangguan
kepribadian dependen sebagai orang yang sangat pasif, misalnya memiliki
kesulitan dalam memulai sesuatu atau mengerjakan sesuatu sendiri, tidak mampu
menolak, dan meminta orang lain mengambil keputusan untuk dirinya. Bagaimanapun
juga, penelitian mengindikasikan bahwa sifat-sifat pasif tersebut tidak
mencegah individu melakukan hal-hal penting untuk menjaga hubungan dekat,
misalnya menjadi sangat penurut dan pasif, tetapi dapat juga mengambil langkah
aktif untuk menjaga hubungan.
Berdasarkan
dsm-iv-tr, kriteria gangguan kepribadian dependen yaitu sebagai berikut:
•
Kesulitan dalam mengambil keputusan tanpa nasihat dan dukungan yang berlebihan
dari orang lain.
•
Kebutuhan terhadap orang lain untuk memikul tanggung jawab dalam hidupnya.
•
Kesulitan dalam mengatakan atau melakukan penolakan terhadap orang lain karena
takut kehilangan dukungan dari orang lain.
•
Kesulitan dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu sendiri karena kurang
percaya diri.
•
Melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan baginya sebagai cara untuk memperoleh
penerimaan dan dukungan dari orang lain.
•
Perasaan tidak berdaya ketika sendiri karena kurang percaya pada kemampuan diri
dalam menyelesaikan sesuatu tanpa bantuan orang lain.
•
Segera mencari hubungan baru ketika hubungan yang sedang terjalin telah
berakhir.
•
Sangat ketakutan untuk mengurus atau menjaga diri sendiri.
Prevalensi
dari gangguan ini adalah sekitar 1,5 persen, lebih banyak ditemukan di india
dan jepang. Hal itu kemungkinan dikarenakan lingkungan di kedua negara tersebut
yang memicu perilaku dependen. Gangguan kepribadian ini muncul lebih banyak
pada wanita daripada pria, kemungkinan karena perbedaan pengalaman sosialisasi
pada masa kanak-kanak antara wanita dan pria. Gangguan kepribadian dependen
sering kali muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian borderline, skizoid,
histrionik, skizotipal, dan avoidant, sama seperti diagnosis axis i gangguan
bipolar, depresi, gangguan kecemasan, dan bulimia.
Perspektif
Psikososial Mengenai Dependent Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Menurut
teori psikodinamika, gangguan ini timbul karena adanya regresi atau fiksasi
pada masa oral perkembangan psikoseksual. Hal itu karena orang tua yang sangat
melindungi atau orang tua yang mengikuti apa yang dibutuhkan penderita di masa
kecil, atau menuntut perilaku dependen dari penderita sebagai imbalan dari
pengasuhan.
b)
Behavioral
Millon
dkk mengemukakan bahwa saat anak-anak, penderita gangguan ini sangat baik
tetapi penuh ketakutan. Mereka memiliki orang tua yang hangat tetapi sangat
melindungi (overprotective). Mereka tidak belajar menangani rasa takutnya dan
menjadi asertif, melainkan menjadi makin taergantung pada orang lain. Jika
anak-anak seperti ini memiliki saudara yang agresif atau dengan teman-temannya
mengalami suatu yang menyababkan mereka merasa tidak menarik dan tidak adekuat,
perasaan ragu meningkat, dan perilaku dependen akan diperkuat oleh orang tua
yang sangat melindungi. Pendekatan kognitif-behavioral mengemukakan bahwa
penyebabnya adalah karena kurang asertif dan kecemasan dalam membuat keputusan.
c)
Cognitive
Individu
dependen biasanya menggambarkan dirinya lemah, rentan, tidak mampu, tidak
cakap, atau tidak kompeten. Ketika ketidakmampuan mereka menjadi terlalu jelas
terlihat, rasa cemas dan panik mungkin muncul. Untuk menjaga agar kerentanan
mereka terkontrol, banyak individu dependen lebih suka untuk tidak melihat diri
mereka terlalu dalam, lebih suka membatasi kesadaran mereka hanya pada
kesenangan dalam hidup, melihat hanya yang baik saja dan tidak pernah melihat
yang buruk. Sewaktu kesulitan diakui, individu dependen sering menyimpan
harapan bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Penyangkalan, yang telah
dibahas dalam perspektif psikodinamis, secara bertahap berkembang menjadi gaya
kognitif yang lebih luas.
Skema
diri (self-schema) dari individu dependen meliputi kualitas positif dan
negatif. Pada sisi positif, individu dependen melihat diri mereka sebagai
seseorang yang penuh pertimbangan, penuh perhatian, dan bisa bekerja sama.
Dengan mengingkari prestasi yang sah, mereka terlihat sederhana dan rendah
hati. Diam-diam, mereka mungkin mengharapkan sanjungan dan pujian, tapi tidak
terlalu berlebihan, karena harapan akan kemandirian dan self-sufficientcy pasti
akan mengikuti. Namun kualitas baik yang individu dependen anggap ada pada diri
mereka juga diimbangi oleh sejumlah dasar patologis, kepercayaan kondisional
dan instrumental (Beck et al., 1990, hal. 45).
Banyak
individu dependen yang sangat tidak canggih secara kognitif. Bagi orang lain,
mereka terlihat naif, kekanak-kanakan, dan polos –sebuah gambaran yang sering
mereka perkuat dengan meminimalkan prestasi dan kemampuan diri mereka sendiri
dan memperbesar ketidakmampuan instrumental mereka. Pada individu yang tidak
mampu, tuntutan yang dibuat lebih sedikit. Karena orang lain selalu datang untuk
membantu mereka, maka individu dependen mungkin mengembangkan beberapa strategi
penanggulangan yang terpisah dari keahlian hidup dasar. Kadang-kadang, hal
tersebut juga tidak sempurna. Beberapa tidak bisa menyeimbangkan neraca
keuangan atau membutuhkan begitu banyak instruksi dan nasehat, sehingga untuk
mempertahankan pekerjaan dasar saja merupakan sesuatu yang tidak mungkin.
Individu dependen lain yang lebih dekat pada jangkauan normal mungkin memiliki
kompetensi meskipun terbatas pada daerah tertentu saja, hal ini biasanya muncul
dalam rangka melindungi hubungan pengasuhan. Di sini, pendapat, “Saya harus
belajar bagaimana melakukan ini dan itu dengan baik jika saya ingin menikmati
rasa aman dan perlindungan dari hubungan ini,” berfungsi sebagai suatu
kepercayaan kondisional tambahan yang sangat adaptif. Individu tersebut
melakukan sesuatu untuk persetujuan orang lain dan akhirnya mungkin menjadi
ahli dalam suatu kerangka pikir yang mendukung, seperti halnya dengan istri
dependen yang lembur demi kemajuan tujuan karir suaminya.
Aspek
kedua dari kognisi individu dependen adalah gaya kognitif mereka, yang
menampilkan pola pemikiran yang sangat mungkin untuk tetap menyeluruh dan
tersebar. Individu yang mawas diri secara terus menerus mencari di dalam dirinya
sendiri dan menciptakan ide yang pasti mengenai siapa mereka sebenarnya, ingin
menjadi apa mereka, dan apa yang mereka inginkan dari hidupnya. Karena individu
dependen jarang melihat ke dalam dirinya, mereka hanya bisa mengembangkan ide
yang samar mengenai tujuan dan identitas diri mereka.
Sebagian
besar individu dependen, yang kehidupannya diatur oleh figur otoritas kompeten
sejak masa bayi, tidak pernah mengembangkan potensi untuk membuat penilaian
kualitatif yang secanggih itu. Orang lain entah menganggap individu dependen
tidak mampu, atau secara alamiah mengontrolnya sendiri dan mengambil keputusan,
untuk setiap pertanyaan hidup, hasil terbaik apa yang akan keluar dan bagaimana
mencapainya. Yang cara apapun, individu dependen berulang kali menemukan diri
mereka terkurung dalam sebuah dunia yang secara aktif mematahkan semangat
perkembangan kecanggihan kognitif. Kebutuhan mungkin bukan hanya merupakan
sumber dari penemuan, tapi juga sumber dari berbagai bakat kognitif, khususnya
kemampuan untuk menyusun rencana, untuk memegang berbagai kemungkinan di dalam
benak, untuk menentukan kriteria suatu hasil yang baik bagi diri sendiri dan
orang lain, dan untuk menilai kemungkinan suatu tindakan yang direncanakan
untuk berhasil. Kemampuan kognitif canggih ini tidak pernah berkembang
sepenuhnya pada individu dependen, baginya semua kebutuhannya telah menjadi
tanggung jawab orang lain.
Namun
hal tersebut tidak berarti bahwa kepribadian dependen selalu bodoh atau tidak
berpengetahuan. Sebagai contoh, dalam lingkungan sekolah, dimana harapan
konkrit akan nilai yang bagus akan mendapatkan persetujuan, pujian, dan kasih
sayang dari orang tua dan guru, banyak dependen yang normal siap menaati dan
menghasilkan rapor di atas rata-rata. Beberapa bahkan menjadi anak kesayangan
guru. Namun ketika ditempatkan dalam konteks dimana evaluasi masa depan tidak
terelakkan dan serangkaian tindakan ambigu, bahkan dependen normal mungkin
merasa cemas atau tertekan. Mereka dengan gangguan yang terdiagnosa cenderung
melarikan diri atau menangis. Keseluruhan mereka yang kurang canggih secara
kognitif mencegah kemungkinan untuk mempertimbangkan semua alternatif dan
memperhitungkan rasio keuntungan-kerugian dari perspektif tiap individu yang
dipengaruhinya. Selain itu, ketakutan akan mengecewakan orang lain yang mereka
miliki mencegah mereka bahkan untuk mencobanya. Sebagai gantinya, kunci dari
kognisi individu dependen terletak pada pembangunan dunia yang lebih sederhana
tapi lebih bisa diatur, walaupun mereka memiliki kekurangan dalam penilaian
kompleks. Secara kognitif, individu dependen membutuhkan kesederhanaan, seperti
halnya individu kompulsif membutuhkan dunia internal yang terkontrol dan
teratur.
Dalam
Beck et al. (1990), Fleming menyatakan sejumlah distorsi kognitif yang membuat gangguan
tetap bertahan. Ada dua yang sepertinya penting: Pertama, individu dependen
melihat dirinya sebagai “secara alamiah tidak mampu dan tidak berdaya”; kedua,
kekurangan-kekurangan yang mereka rasa ada pada dirinya (self-perceived
shortcomings) mengarahkan mereka untuk menyimpulkan bahwa mereka harus mencari
seseorang yang bisa mengatasi kesulitan hidup dalam dunia yang berbahaya. Hal
tersebut sebenarnya hanya merupakan pengulangan dari apa yang telah mereka
pelajari. Namun antara premis dan kesimpulan terdapat beberapa kesalahan logis
yang menyimpangkan kenyataan (Fleming, 1990) dan kemudian membatalkan semua
argumen. Yang paling penting dari hal tersebut adalah pemikiran dikotomus,
suatu gaya pemikiran yang membagi dunia menjadi kutub yang saling bertolak
belakang, tanpa terdapat daerah abu-abu di antara keduanya. Jika individu
dependen tidak diperhatikan, mereka melihat diri mereka sendiri sebagai
seseorang yang benar-benar sendirian di dunia ini. Dengan cara yang sama, jika
mereka sama sekali tidak yakin bagaimana melakukan sesuatu, tentunya masalah
tersebut pasti tidak dapat teratasi, paling tidak bagi mereka.Pemikiran
dikotomus tidak dapat dihindari mengarah pada distorsi ketiga: individu
dependen cenderung untuk menganggap sesuatu sebagai malapetaka.
d)
Interpersonal
Setelah
menikah, orang dengan gangguan kepribadian dependen akan bergantung pada
pasangannya untuk membuat keputusan seperti dimana mereka akan tinggal,
tetangga mana yang bisa dijadikan teman, bagaimana mereka harus mendisiplinkan
anak, pekerjaan seperti apa yang akan mereka ambil, bagaimana mereka membuat
anggaran rumah tangga, dan kemana mereka sebaiknya berlibur. Individu dengan
gangguan ini biasanya menghindari diri dari tanggung jawab. Mereka menolak
tantangan dan promosi, serta bekerja di bawah potensi mereka. Mereka cenderung
sangat sensitive terhadap kritikan, sangat terpaku pada rasa takut akan
penolakan dan pencampakan. Mereka dapat meresa hancur karena berakhirnya suatu
hubungan dekat atau karena adanya kemungkinan untuk menjalani hidup sendiri. Karena
takut akan penolakan, mereka sering menomorduakan keinginan dan kebutuhan
mereka demi orang lain. Mereka setuju akan pernyataan yang aneh tentang diri
mereka sendiri, dan melakukan hal-hal yang merendahkan diri untuk menyenangkan
orang lain.
3.
OBSESSIVE-COMPULSIVE PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN
OBSESIF-KOMPULSIF)
Individu
dengan obsessive-compulsive personality bersifat perfeksionis, sangat
memperhatikan detail, aturan, jadwal, dan sebagainya. Individu yang mengalami
gangguan obsesif-kompulsif sangat memperhatikan detail sehingga kadang ia tidak
dapat menyelesaikan hal yang dikerjakannya. Ia lebih berorientasi pada
pekerjaan daripada bersantai-santai dan sangat sulit mengambil keputusan karena
takut membuat kesalahan. Selain itu, ia juga sangat sulit mengalokasikan waktu
karena terlalu memfokuskan diri pada hal-hal yang tidak seharusnya. Biasanya ia
memiliki hubungan interpersonal yang kurang baik karena keras kepala dan
meminta segala sesuatu dilakukan sesuai dengan keinginannya. Istilah yang umum
digunakan sebagai julukan bagi individu seperti itu adalah “control freak”.
Individu dengan gangguan kepribadian ini pada umumnya bersifat serius, kaku,
formal dan tidak fleksibel, terutama berkaitan dengan isu-isu moral. Ia tidak
mampu membuang objek yang tidak berguna, walaupun objek tersebut tidak
bernilai. Di samping itu, ia juga pelit atau kikir.
Berdasarkan
dsm-iv-tr, kriteria dependent personality disorder yaitu sebagai berikut:
•
Sangat perhatian terhadap aturan dan detail secara berlebihan sehingga poin
penting dari aktivitas hilang.
•
Perfeksionisme yang ekstrem pada tingkat di mana pekerjaan jarang
terselesaikan.
•
Ketaatan yang berlebihan terhadap pekerjaan sehingga mengesampingkan waktu
senggang dan persahabatan.
•
Kekakuan dalam hal moral.
•
Kesulitan dalam membuang barang-barang yang tidak berguna.
•
Tidak ingin mendelegasikan pekerjaan kecuali orang lain megacu pada satu
standar yang sama dengannya.
•
Kikir atau pelit.
•
Kaku dan keras kepala.
Gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif agak berbeda dengan gangguan obsesif kompulsif.
Pada gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, tidak terdapat obsesi dan kompulsi
seperti pada gangguan obsesif-kompulsif. Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif
paling sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian avoidant dan
memiliki prevalensi sekitar 2 persen.
Perspektif
Psikososial Mengenai Obsessive-Compulsive Personality Disorder
a)
Psikodinamik
Menurut
Freud, perkembangan manusia terjadi melalui beragam tahapan psikoseksual.
Masing-masing, wilayah badan tertentu menjadi zona yang erogenous, fokus energi
libidinal selama periode tertentu itu. Seksualitas diterima sebagai kekuatan
instingtif yang biasanya diabaikan. Bagi banyak orang, kemajuan melalui tahapan
psikoseksual tidaklah begitu memukau. Beberapa individu mengalami frustasi
eksesif atau kegemaran eksesif, muncul dalam penyesuaian energi seksual atas
tahap tertentu, sehingga mewarnai keseluruhan kepribadian. Sepanjang tahap
oral, energi seksual terfokus pada mulut. Gratifikasi kebutuhan oral yang
eksesif dipercaya mengarah pada perkembangan karakter oral, ekuivalen
psikodinamik dari kepribadian dependen kontemporer.
Begitu
anak-anak beranjak balita, mereka meninggalkan tahap oral dan memasuki periode
pelatihan toilet, tahap anal, dimulai pada usia 18 bulan. Seperti freud catat
(1908), bila tahap oral menghisap air susu ibu, refleks bawaan semua bayi, maka
tahap anal mengawali periode erotisisme anal yang tidak hanya menampakkan apa
yang kelihatan. Khususnya, tahap anal memerlukan kontrol diri, penundaan
gratifikasi instingtif yang mengiringi pembuangan feses. Dorongan penuh hasrat
dari id mengarahkan secara langsung keinginan pada orangtua, sehingga tahap
anal memainkan peran penting dalam pembentukan superego dan kontrol impuls
agresif.
Pengaruh
pasti tahap anal atas perkembangan kepribadian tergantung pada perilaku yang
dilakukan orangtua ketika melakukan pelatihan toilet. Perilaku yang kaku,
tergesa-gesa, dan terlalu menuntut dapat memunculkan ciri-ciri anal-retrentif,
imbangan karakter logik dari kepribadian kompulsif. Pada dasarnya, anak-anak
menanggapi orangtua dengan mundur dan menolak melakukan, mengarah pada
ciri-ciri dewasa seperti kekeras-kepalaan, kekakuan, dan kemarahan tersembunyi.
Tipe-tipe anal-retentif juga dipercayai selalu tepat waktu, teratur, teliti,
dan dikelilingi kebersihan, ciri-ciri utama yang mengarahkan orangtua mereka
agar patuh jadwal, dengan segalanya pada tempatnya, tanpa berantakan.
Alternatifnya, anak-anak mungkin menanggapi dengan menjadi tipe anal-ekspulsif.
Di sini, anak-anak menjadi ofensif; feses menjadi senjata. Strategi
anal-retentif sepenuhnya merupakan penolakan, kini strategi berubah menjadi
perusakan keinginan mereka secara aktif, hasrat yang membuat orang lain
menyesali karena mereka pernah menguasainya. Biasanya, ciri-ciri kedewasaan
merupakan kebalikan dari tipe anal-retentif dan mencakup kerusakan,
penyimpangan dan kekejaman sadistis.
Seiring
psikoanalisis mulai mengembangkan relasi ego psikologi dan obyek, konsepsi
karaker anal pun diperluas. W. Reich (1933) mengemukakan sang kompulsif sebagai
yang dikelilingi dengan ‘aturan pedantik’, sebagai makhluk hidup menurut pola
yang disesuaikan namun juga cenderung risau dan cemas. Mungkin lebih penting,
w. Reich (1949) menganggap sang kompulsif sebagai yang diterimas secara
emosional, tidak menampakkan cinta dan afeksi, karakteristik yang dia sebut
‘blok afek’.
Kita
telah melihat bahwa kompulsif, secara tersirat meminta aturan, rincian, dan
kesempurnaan sebagai seperangkat peniruan dengan apa yang tidak dapat diduga
atau tidak pasti di dunia sekitar mereka. Namun itu bukanlah batas persyaratan
ini; sang kompulsif meminta rasa aman yang sama dari dunia internal mereka.
Pada sembarang waktu, pengujian kecil sendiri menunjukkan bahwa banyak dari
kita yang mendidih karena perasaan bertikai yang menarik kita dan mencegah
penilaian hitam-putih, bahkan pada situasi sederhana sekalipun. Anda mengikuti
suatu kelas dan walau instrukturnya hebat, beban kerja lebih sesuai di kelas
lain dan menyebabkan anda marah dan menyesal. Anda mengikuti kelas, walau beban
kerjanya mudah, anda bisa saja dapat substansi lebih karena bayaran anda. Anda
mencintai ibu anda, namun dia mengejek anda; lalu, ketika dia mengurus anda
walau sebentar, anda penasaran apakah dia masih mencintai anda. Isu-isunya
mungkin berbeda, namun setiap orang terjebak di teka-teki kata semacam itu.
Banyak di antara kita hanya mengakui kedua sisi koin dan menoleransi
kompleksitas hidup. Tidak ada yang semuanya jahat atau semuanya baik.
Bagi
sang kompulsif, perasaan berlawanan dan disposisi semacam itu menciptakan
perasaan marah yang intens, ketidakpastian, dan ketidakamanan yang harus tetap
diikat. Untuk melakukan hal tersebut, mereka memakai semua strategi bertahan,
lebih dari pola kepribadian lainnya. Riset berpendapat bahwa yang pertama, dan
mungkin yang paling menentukan, adalah pembentukan reaksi (berman & mccann,
1995). Di sini, sang kompulsif membalikkan dorongan kecerobohan dan
pemberontakan yang terlarang untuk mengkompromikan ideal ego yang kaku dan
tinggi. Contohnya, ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan kecemasan
banyak orang, sang kompulsif menghargai diri mereka sendiri ketika menampilkan
kedewasaan dan kemasukakalan, seperti yang efeknya, sang kompulsif secara
simbolik membersihkan diri mereka sendiri dari kekotoran dan kehinaan dengan
mengembangkan apa yang bertentangan secara diametral.
Kedua,
sang kompulsif sering memindahkan kemarahan dan ketidakamanan dengan mencari
beberapa posisi kekuasaan yang memperbolehkan mereka untuk menjadi superego
yang dijatuhi sanksi secara sosial untuk yang lainnya. Di sini, sang kompulsif
mengeluarkan kemarahan mereka dengan membuat yang lainnya mematuhi standar yang
tidak mampu bekerja secara terinci atau kaku. Mereka yang rendah kedudukannya
maka harus mengakui otoritas dan pengetahuan atasan yang kompulsif atau
menjatuhkan korban ke penghakiman menyeluruh yang mensegel kebahagiaan bijak
dan sadistis di belakang topeng kedewasaan. Hukuman menjadi tugas;
humanitarianisme, kegagalan. Ayah yang kelewat moralis dan ibu yang kelewat
menguasai menyediakan contoh permusuhan kamuflase. Di samping usaha kontrol
mereka, riset menunjukkan bahwa ciri-ciri kompulsif erat kaitannya dengan
agresi impulsif (stein, trestman, mitropoulou, & coccaro, 1996).
Mekanisme
pertahanan lainnya yang dipakai sang kompulsif, isolasi afek, menghubungkan
domain psikodinamik dan kognitif, setidaknya bagi kepribadian macam ini.
Permintaan yang sama akan aturan dan kesempurnaan yang sang kompulsif minta
kepada lingkungan mereka, mereka meminta lanskap mental mereka sendiri. Untuk
menjaga impuls dan perasaan oposisional dari memengaruhi satu sama lain dan
memegang citra-citra ambivalen dan perilaku berlawanan dari pembuangan menjadi
kepedulian sadar, mereka mengatur dunia dalam mereka menjadi kompartemen kaku,
dan ketat. Efeknya, sang kompulsif berusaha mencekik insting, gairah, dan emosi
dengan menghancurkan pengalaman sehingga lebih mudah dibicarakan daripada
dirasakan. Bagi orang normal, kenangan bukan hanya mekanisme mengingat kembali,
namun juga serangkaian pemutaran kembali episode dari hidup kita untuk
mengingat kembali keutuhan pengalaman asli, dengan semua emosi dan sensasi yang
mengiringinya. Walau beberapa di antaranya menakutkan dan yang lainnya
dihargai, semua kita punya kenangan seperti itu sehingga kita seringkali ke
sana.
Sang
kompulsif berbeda. Isi mental mereka menyerupai tempat penyimpanan yang diatur
dalam jumlah besar dari fakta yang diciutkan atau dikeringkan, yang
masing-masing ditunjukkan namun tetap terpisah dari yang lainnya. Efeknya,
tujuan mereka berlawanan dengan dengan sajak. Oleh karena sajak membubuhi
pengalaman dengan menyediakan jaringan simbolik dan metaforis dengan pengalaman
terkait, sang kompulsif berusaha mendapatkan setiap aspek pengalaman di kompartemen
kecilnya. Mereka mengumpulkan kenangan mereka dan hanya melakukan asosiasi
intelektual di antara mereka. Dengan mencegah interaksi mereka, sang kompulsif
memastikan bahwa tidak ada satu pun fase pengalaman yang mampu mengkatalis
apapun sehingga mampu menghasilkan emosi yang tidak terantisipasi atau
menggerakkan kedalaman yang signifikan. Akibatnya, banyak kompulsif melihat
penjajakan diri itu percuma saja. Psikoterapi mungkin dilihat terlalu banyak
sains halus untuk menjamin waktu atau perhatian mereka. Bagi para kompulsif,
isolasi afeksi dan struktur mental secara tertutup saling memberdayakan.
Konsepsi
modern kepribadian kompulsif diletakkan berhadapan dengan kerangka
relasi-obyek. Seperti telah dicatat, perkembangan psikodinamik dari kepribadian
kompulsif erat terkait dengan tahap anal. Freud menekankan frustasi dan
perasaan energi psikoseksual yang mendalam. Pemikir psikodinamik belakangan
menafsirkan kembali tahapan psikoseksual dalam istilah relasi-obyek, memusatkan
peranan pengawas, bukan perasaan mendalam energi kejiwaan. Konflik mendasar
terjadi antara hasrat orangtua ikut campur dan mengontrol, serta rasa otonomi
anak yang bertumbuh. Pelatihan toilet lalu hanya merupakan bagian kecil
interaksi total antara orangtua dan anak, serta adalah di luar interaksi total
ini personalitas itu tumbuh.
Pada
saat mereka mencapai kedewasaan mereka, sang kompulsif masa depan telah penuh
menghayati keketatan dan regulasi orangtua mereka. Hingga kini, mereka
dilengkapi dengan ukuran dalam yang secara kasar menilai dan mengawasi mereka,
tanpa iba menyusup untuk meragukan mereka dan ragu-ragu sebelum beraksi. Sumber
daya tantangan eksternal telah digantikan dengan kontrol pendekatan diri
internal yang ketat. Sang kompulsif kini menjadi jaksa dan hakim mereka sendiri,
siap mengutuk diri mereka sendiri tidak hanya karena banyak lagak namun juga
karena pemikiran transgresi. Dengan menekankan perasaan bersalah, anak-anak
mendapatkan suara kritis nurani yang siap memarahi bahkan ketika pengasuh
secara fisik absen atau bahkan mati. Unsur keagamaan sering memainkan peranan
penting. Beberapa di antaranya mengatakan konsekuensi menakutkan dari dosa;
yang lainnya mengatakan bagaimana sulitnya atau malunya orangtua mereka jika
mereka menyimpang dari ‘jalan lurus’. Kadang-kadang, mereka mengubah rasa
moralitas mereka menjadi rasa superioritas moral, dan memakainya untuk mengisi
bahan bakar kemarahan yang mengesampingkan ekspresi kemarahan dan fokus padanya
atas tujuan yang sesuai.
b)
Behavioral
Individu
dengan tipe ini, kemungkinan saat kecil dididik untuk selalu mematuhi peraturan
figur otoritas, dituntut untuk selalu benar dalam berbagai hal, dihukum karena
tidak bisa tampil sempurna, tidak diberi reward setelah melakukan kesuksesan.
Selain itu, bisa juga karena melihat saudaranya dihukum karena tidak sempurna,
mereka sering diberi tanggung jawab atas hal yang tidak mereka ketahui atau
tidak mereka kuasai, dicap sebagai anak yang buruk (dalam hal sikap). Orang
dengan gangguan obsesif-kompulsif dapat bekerja dengan baik dalam posisi yang
membutuhkan pekerjaan metodologis, deduktif atau terperinci. Tetapi mereka
rentan terhadap perubahan yang tidak diharapkan. Dilihat dari teori
kognitif-behavioral, pasien gangguan ini mempunyai perhatian yang tidak
realistik mengenai perfeksitas dan penolakan terhadap kesalahan. Kalau gagal
dalam mencapai perfeksitas, ia menganggap dirinya tidak berharga (Martaniah,
1999 : 79).
c)
Cognitive
Ciri-ciri
kognitif yang kuat dari kepribadian kompulsif dikenali dan ditulis teoris
analitik jauh sebelum perspektif kognitif menjadi tenar. Adapun kajian
pengolahan-informasi kontemporer peduli dengan pencatatan arsitektur dan proses
kognisi, kajian analitik lebih peduli dengan gaya kognitif dan hubungan erat
antara karakter dan kognisi. W. Reich (1933, h. 211) menilai sang kompulsif
sebagai bimbang dan ragu.
Teoris
psikoanalitik lainnya mencatat ketidaktoleransian. Sang kompulsif memperlakukan
isi mental mereka selayaknya mereka memperlakukan kerja mereka,. Mereka gemar
memiliki barang-barang yang konkrit; semuanya harus sesuai dengan beberapa
sistem klasifikasi; semuanya yang sulit diatur menjadi sumber kecemasan atau
sasaran kutukan. Mencandui konsep klasik tentang karakter anal, rado (1959:
326) menggambarkan orang ini sebagai konkrit, berorientasi pada fakta, dan
mengutuk keragaman dan imajinasi. Ciri-ciri kognitif seperti itu mungkin bisa
dilacak ke belakang pada lingkungan keluarga. Ketika orangtua anda begitu keji,
mudah menghukum, dan merasa benar sendiri, anda biasanya lebih menyukai hal
kongkrit karena lebih mudah menilai dan menghindari masalah, terutama jika kamu
adalah anak-anak dan tanpa unsur kognitif dewasa.
Segalanya
yang berada pada sisi terjauh dari perhatian kepribadian kompulsif berpotensi
diangkut secara langsung menuju pusat kesadaran dan meletakkan di bawah
kehebatan orang. Para individu ini tidak hanya tidak mampu memahami ‘gambaran
besar’ namun juga tidak mampu merasakan keseluruhan nada emosional dari situasi
impersonal, menyumbang pada impresi kepribadian bahwa mereka kaku atau dingin.
Oleh karena kompulsif fokus pada rincian di dalam komunikasi dan gagal utuh
menilai atmosfer interpersonal, mereka tidak bisa bersantai atau spontan atau
empatik. Shapiro juga menghubungkan level perhatian kompulsif pada kekurangan
intuisi mereka, tidak ada bahwa mereka jarang berfirasat. Akhirnya, sang
kompulsif keras melawan apresiasi estetik dari sastra atau seni. Level
perhatian kerja di dalam konjungsinya dengan pertahanan isolasi emosional,
contohnya, membuat mereka merasa masa bodoh atas tragedi atau drama manusia
lainnya. Kalau saja elsa bisa menilai atmosfer ruang kelas mereka, dia akan
menanggapi umpan balik murid dan tidak akan duduk di pusat bimbingan.
Faktanya,
tidak peka akan ketidakpekaan mereka pada nuansa emosional, sang kompulsif
gagal menyadari bahwa kehidupan emosional orang lain jauh lebih kaya daripada
dirinya sendiri. Banyak orang akan iba pada imersi sang kompulsif yang asing
terhadap kesegeraan akan perasaan yang benar-benar hidup, banyak kompulsif
tidak mampu memandang-ke-dalam pemiskinan kehidupan mereka. Sebaliknya, mereka
membersihkan dan men-dehumanisasi keberadaan mereka dengan mengatur pemikiran
mereka secara kaku sesuai dengan aturan dan regulasi konvensional, jadwal
formal, dan hierarki sosial. Beberapa di antaranya melakukan hal seperti itu
dengan sikap merendahkan diri dan hina, menganggap orang lain tidak teratur,
tidak efisien, dan primitif. Tipe-tipe seperti itu muncul di pengaturan
birokratis, di mana hasrat mereka akan spesifisitas dan rincian bisa dipakai
sebagai senjata melawan siapa saja yang menghalangi mereka, mereka pun
diacuhkan, atau agak terlalu tega. Dengan merumitkan hidup orang lain, sang
kompulsif membendung kemarahan bagian dalam mereka seraya membenarkan perilaku
mereka sesuai aturan keorganisasian.
Para
kompulsif lain nampaknya sesuai untuk mengatur dan merinci hampir semua sebagai
pertahanan kognitif melawan ketidakpastian dan kemenduaan. Tidak seperti
varietas sadistik sebelumnya, mereka lebih tunduk dan takut akan kemurkaan,
memiliki kebutuhan yang intens agar pasti. Perilaku kompulsif seperti itu
begitu takut berbuat salah, melarang diri mereka sendiri pada situasi yang
akrab dan intim. Mereka menghindari hal berbahaya dengan mempertahankan
pendekatan hidup yang ketat dan teratur. Rutinitas yang sama memperbolehkan
mereka bermain aman namun mencegah mereka dari pengembangan persepsi atau
pendekatan baru penyelesaian masalah.
Individu
seperti itu biasanya bimbang, terus menerus mencari sumber informasi, saran,
dan opini otoritatif sebelum memutuskan. Sering, pencarian mereka meninggalkan
penilaian mereka dilimpahi ratusan rincian yang mereka rasakan tidak mampu
menggabungkan secara konklusif. Selamanya terteror dan tertekan, mereka mungkin
terperosok di dalam suatu kelumpuhan analisa yang sama sekali mencegah mereka
mengambil keputusan. Efeknya, mereka terperangkap di dalam lingkaran setan
pengolahan-informasi: makin banyak rincian yang mereka kumpulkan, makin banyak
fakta yang gagal dipahami atas suatu kajian aksi tertentu atau konklusi, dan
kecemasan mereka pun meningkat. Solusinya adalah menggandakan kembali usaha
mereka dan mengumpulkan lebih banyak rincian.
Sebaliknya,
perintah moral yang memerintah pengalaman mereka diberdayakan dan diatur
beberapa kesalahan kognitif kunci (beck, et.al., 1990). Mungkin, sang kompulsif
memandang dunia secara hitam-putih. Pernyataan ‘mesti’ mereka menetapkan
kemutlakan tidak layak di dalam situasi tertentu, kemampuan personal, atau
ketersediaan sumber daya. Sebaliknya, sang kompulsif diperintah komandemen yang
disarikan dari superego yang mahakuat: “anda tidak akan pernah gagal. Anda akan
selalu terkontrol. Anda tidak terjebak kesalahan, sekecil apapun,” dll.
Mempertimbangkan dikotomi mereka, pandangan moralistik akan dunia, tidaklah
mengejutkan bahwa konsekuensi menyakiti satu komandemen ini saja adalah kotor,
bahkan bencana. Sang kompulsif tidak bisa melakukan apa yang mereka inginkan;
mereka harus melakukan apa yang semestinya, di setiap kasus. Hasilnya, hidup
memang hanya punya sedikit potensi untuk sedikit kebahagiaan dan amat
berpotensi untuk cemas. Banyak dari kehidupan sang kompulsif terbuang di masa
lalu dan di masa depan, hilang pemahaman atas apa yang mesti mereka lakukan
kepada orang tertentu atau situasi, atau apa yang telah mereka lakukan akan
menghilang. Kadang-kadang kungkungan keinginan mereka bisa membuat mereka
nampak tidak menarik. Hanya kadang-kadang mereka berpusat di saat sekarang,
rumah bagi mereka yang gembira dan keakraban hidup.
d)
Interpersonal
Kita
bisa simpulkan bahwa sang kompulsif begitu mengekang interaksi interpersonal
mereka. Orang normal mampu melakukan spontanitas, sang kompulsif secara aktif
mengawasi tingkah laku dan pesan mereka sendiri. Komunikasi mereka mungkin
nampaknya didahului kekakuan kartu pencatatan, mungkin dengan sedikit melihat
ini: pertama, memformulasikan rencana interpersonal. Kedua, memeriksa rencana
secara teliti demi menghindari pemborosan dalam ketepatan dan kematangan,
mengadopsi permulaan yang rendah untuk menghilangkan kemungkinan perilaku
sehingga dapat melenyapkan segala kemungkinan penghinaan atau ketidakmampuan.
Ketiga, memformulasikan perilaku yang baru jika perlu, dan memeriksa
sebelumnya. Keempat, memerankan perilaku terpilih, mengukur reaksi orang lain,
dan kembali ke langkah pertama. Kekakuan meningkat ketika partisipan lain di
dalam transaksi punya tingkat atau status tertentu yang meluas yaitu sang
kompulsif sehingga pentingnya penyensoran kesalahan pun meningkat.
Proses
kompulsif interpersonal mensyaratkan bahwa mereka menginvestasikan banyak waktu
dan energi untuknya. Untuk alasan ini, sang kompulsif sering dilihat orang lain
begitu kaku, muram, atau bahkan cemberut. Walau mereka amat sopan, ini mengalir
dari hasrat mereka untuk mengikuti kesepakatan sosial, bukan dari keinginan
terdalam. Postur dan gerak mereka mungkin nampak ketat dan terkontrol.
Kata-kata mereka cermat dipilih agar akurat dan obyektif. Apapun topik
percakapan, sang kompulsif lebih suka tetap mempertahankan jarak dan
impersonal, merendahkan penilaian subyektif atau opini demi menerima kecerdasan
atau formulasi abstrak yang tidak mengungkapkan apapun bagi mereka sendiri.
Mereka mungkin bicara dengan tata cara yang impersonal dan jumawa daripada
memahamkan komentar mereka, menaikkannya sampai ke level peraturan. Contohnya,
seorang kompulsif mungkin berkata, “seorang seringkali menemukan dalam hidup
bahwa pengalaman salah satu guru terbaik,” bukan berkata, “anda membuat
kesalahan, pelajari apa yang anda bisa, dan selanjutnya.” Untuk alasan ini,
impresi interpersonal mereka adalah salah satu dari kesopanan, formalitas, dan
kekangan.
Dinamika
kepribadian kompulsif bagian dalam terutama dibuat jelas ketika membedakan
arahan interpersonal mereka dengan atasan dan bawahan. Memberikan kesadaran dan
keasyikan mereka dengan rincian, efisiensi, dan kesempurnaan, sang kompulsif
membuat baik ‘pria dan perempuan organisasi,’ mengadopsi kebutuhan dan tujuan
bisnis sesuai keinginannya sendiri, nyaris menjadi bagian dari superego mereka
sendiri. Mayoritas berhubungan dengan orang lain berdasarkan tingkat atau
status. Mereka menyanjung, bahkan memuja, atasan mereka, namun otoriter atau
tiran terhadap bawahan. Dengan mempersekutukan diri mereka sendiri dengan orang
lain yang berkuasa, sang kompulsif menikmati serangkaian perlindungan dan secara
tidak langsung mendapatkan mantel kekuatan dan penghormatan. Pada waktu
bersamaan, mereka memakai posisi kekuasaan mereka untuk menyebarkan ketakutan
kepada bawahan mereka, ketakutan sama yang mereka alami sendiri ketika
‘dipanggil di atas karpet’ di hadapan orang lain yang lebih berkuasa. Untuk
mengekang permusuhan tertekan mereka, sang kompulsif mungkin mengantagoniskan
pekerja mereka dengan peraturan, regulasi, tata cara, dan konformitas sesuai
dengan deskripsi kerja.
4.
PASSIVE AGGRESSIVE DISORDER (NEGATIVISTIC)
Terdapat
dua konsep utama dalam gangguan ini Gangguan Kepribadian Pasif-Agresif kondisi
kroni di mana seseorang tampaknya secara aktif sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan orang lain, tetapi sebenarnya secara pasif melawan mereka. Dalam proses,
orang menjadi semakin bermusuhan dan marah. Orang dengan gangguan kepribadian
pasif-agresif ditandai oleh obstruksionisme (senang menghalang-halangi),
menunda-nunda, sikap keras kepala dan tidak efisien. Perilaku tersebut adalah
manifestasi dari agresi yang mendasari, yang diekspresikan secara pasif. Pasien
gangguan kepribadian pasif-agresif secara karakteristik adalah suka
menunda-nunda, tidak menerima permintaan untuk kinerja yang optimal, tidak
bersedia meminta maaf, dan cenderung untuk mencari kesalahan pada diri orang
lain walaupun pada orang tempat mereka bergantung; tetapi mereka menolak untuk
melepaskan mereka sendiri dari hubungan ketergantungan. Mereka biasanya tidak
memiliki ketegasan tentang kebutuhan dan harapan mereka. Orang dengan gangguan
ini tidak memiliki kepercayaan pada diri sendiri dan biasanya pesimistik akan
masa depan.
Mereka
memendam rasa amarah dan permusuhan yang diekspresikan dengan cara tidak
langsung tapi menggunakan cara yang menyakitkan. Tidak sensitif terhadap kritik
dan selalu menganggap dirinya benar. Dari sudut kognitif-behavioral,
pasif-agresif berkembang dari kepercayaan bahwa ekspresi terbuka dan kemarahan
adalah berbahaya. Menuntut orang lain harus tahu apa yang diinginkan, tanpa ia
memintanya.
Orang
dengan kelainan ini membenci tanggung jawab yang ditunjukkan melalui perilaku
mereka, daripada oleh secara terbuka mengungkapkan perasaan mereka. Mereka
sering menggunakan penundaan, inefisiensi, dan lupa untuk menghindari melakukan
apa yang mereka perlu lakukan atau telah diberitahu oleh orang lain untuk
melakukannya.
Perspektif
Psikososial Mengenai Passive Aggressive Disorder
a.
Psikoanalisa
Gambaran
psychoddinamic dari orang pasif-agresif dapat ditelusuri dari tahap pemuasan
oral, dimana basic trust dibangun.
b.
Behavior
Individu
dengan gangguan ini seringnya dibesarkan di keluarga dengan pola asuh yang
tidak konsisten dan pelatihan yang bertolak belakang (ucapan dan perbuatan
orang tua tidak seimabang, contoh:: melarang anak merokok padahal dirinya
sendiri merokok di depan anak). Hal ini membuat orang pasif-agresif tidak dapat
mempercayai lingkungannya.
c.
Cognitive
Secara
kognitif, orang pasif-agresif selalu berpikir curiga dan sinis, sangat kaku,
dan selalu berpikir hitam-putih.
d.
Interpersonal
Secara
interpersonal, orang dengan tipe ini seringnya sangat focus pada pemberian
reward dan sangat cemburu bila terdapat ketidak adilan dalam pembagiannya.
Sumber:
Davidson,
Gerald C., John M. Neale, & Ann M. Kring. 2004. Abnormal Psychology (9th
Edition). US: john wiley & sons, inc.
Millon,
Theodore, Seth G., Carrie M., Sarah M., & Rowena R. 2004. Personality
Disorder In Modern Life. US: john wiley & sons, inc.
Nevid,
J., Rahtus S., & Beverly G. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Wiramihardja,
Sutardjo A. 2007. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: PT Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar