Narrative Therapy
A.
NAMA PENDEKATAN
Pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan Narrative Therapy.
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN
Terapi Naratif
mengadopsi pendekatan yang melibatkan perubahan fokus dari teori paling
tradisional. Terapis dianjurkan untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan
minat khusus pada klien dengan mendengarkan cerita-cerita; untuk mencari tahu
kehidupan klien. Menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan
klien dan memfasilitasi mereka bereksplorasi, untuk menghindari diagnosis
dan pelabelan klien atau menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah;
untuk membantu klien dalam pemetaan pengaruh masalah yang dimiliki dalam
kehidupan mareka; dan untuk membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita
yang dominan yang telah diinternalisasi sehingga hati atau pikiran
yang sering kali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk menciptakan kisah
kehidupan alternatif (Freddman&Combs, 1996).
1.
Peran Stories
Kita hidup dengan cerita yang kita ceritakan tentang diri kita
dan orang lain katakan tentang kita. Cerita ini sebenarnya membentuk realitas
yang dalam, bahwa mereka membangun dan membentuk apa yang kita lihat, rasakan
dan lakukan. Cerita kita hidup dan tumbuh dari percakapan dalam konteks sosial
dan budaya. Tetapi klien tidak mempunyai peran patologis, korban yang
hidup tanpa harapan dan meyedihkan, melainkan mereka muncul sebagai pemenang
yang berani menceritakan kisah-kisah nyata. Cerita tidak mengubah orang yang
mengatakan cerita, tetapi juga mengubah terapis yang beruntung menjadi bagian
dari proses ini (Monk, 1997).
2.
Mendengarkan dengan pikiran terbuka
Semua teori kontruksionis sosial menekankan pada klien untuk
mendengarkan tanpa menghakimi atau menyalahkan , menegaskan dan menghargai
mereka. Lindsley (1994) menekankan bahwa terapis dapat mendorong klien untuk
mempertimbangkan kembali peniaian absolut yang bergerak ke arah melihat
keduanya “baik” dan “buruk” unsur-unsur dalam situasi. Terapis Naratif
melakukan upaya tanpa memaksakan sistem nilai mereka dan
interpretasi. Mereka ingin menciptakan makna dan kemungkinan-kemungkinan
baru klien yang berbagi cerita bukan dari prasangka dan pada akhirnya sebuah
teori dan nilai penting dipaksakan.Walaupun terapis Naratif membawa kepada
usaha terapis tentang sikap tertentu seperti: optimisme, hormat,
keingintahuan, ketekunan, dan menghargai klien untuk mengetahui, mereka dapat
mendengarkan masalah-kisah kejenuhan klien tanpa terjebak. Sebagai terapis
Naratif, dalam mendengarkan cerita klien, mereka tetap waspada untuk rincian
yang memberikan bukti dari kompetensi klien dalam melawan masalah yang
menindas.
C.
HAKIKAT MANUSIA
Berdasarkan konsep
perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan konseling naratif ini
didasarkan atas asumsi sebagai barikut:
1.
Perspektif Naratif berfokus pada kemampuan manusia untuk
berpikir kreatif dan imajinatif. Praktisi Naratif tidak pernah menganggap bahwa
ia tahu lebih banyak tentang kehidupan klien daripada yang mereka lakukan.
2.
Klien adalah penafsir utama pengalaman mereka sendiri.
3.
Praktisi Naratif melihat orang sebagai agen
aktif yang mampu memperoleh makna keluar dari dunia pengalaman mereka. Dengan
demikian, proses perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak diarahkan oleh
terapis.
D.
PERKEMBANGAN PERILAKU
1.
Struktur Kepribadian
Terapi Narasi
didasarkan pada empat keyakinan dasar yaitu antara lain sebagai berikut:
a.
Klien tidak ditentukan oleh masalah mereka yang hadir. Klien
sering mengidentifikasi diri dengan masalah mereka. Sebaliknya, dengan memiliki
label disfungsi, klien mulai menerima masalah mereka sebagai bagian yang
terintegrasi dari siapa mereka, bukan karakteristik yang melekat. Sebagai
contoh, klien yang menderita depresi mengalami keadaan temporal bukanlah
karakteristik kepribadian mereka. Membuat perbedaan antara diri dan masalahnya
adalah penting jika klien harus diberdayakan untuk reauthor narasi kehidupan
mereka.
b.
Klien adalah pakar pada kehidupan mereka, sehingga konselor atau
terapis harus bijaksana mencari keahlian mereka. Aspek humanistik konseling dan
psikoterapi adalah keyakinan bahwa klien memiliki jawaban mereka. Klien telah
menghabiskan waktu yang paling dengan diri mereka sendiri, telah mengalami
totalitas kehidupan mereka, dan merupakan sumber terbaik tentang bagaimana
mereka harus datang ke tempat ini mereka dalam kehidupan. Setiap intervensi
yang efektif dengan klien harus memperhitungkan keakraban besar yang mereka
miliki dengan diri dan dilema mereka.
c.
Klien memiliki banyak keterampilan, kompetensi, dan sumber daya
internal yang menarik. Semua klien, bahkan anak muda, memiliki keterampilan
hidup tertentu yang mereka menarik dari dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Kompetensi-kompetensi yang klien telah digunakan untuk tiba pada titik ini
dalam perjalanan hidup mereka harus digunakan sebagai sumber bagi mereka dalam
pekerjaan terapi mereka dan seterusnya. Praktisi harus memperhatikan dan
mengeksplorasi kekuatan yang jelas dalam narasi kehidupan klien.
d.
Terapi perubahan terjadi ketika klien menerima peran mereka
sebagai penulis hidup mereka dan mulai untuk menciptakan sebuah narasi
kehidupan yang kongruen dengan harapan mereka, impian, dan aspirasi. Klien
memiliki banyak pilihan dalam cara mereka pengalaman dan melihat perjalanan
hidup mereka. Memberdayakan klien untuk menerima tanggung jawab atas penulisan
hidup mereka adalah peran konselor atau terapis. Setelah klien melihat pola
tematik dan karakter dalam cerita kehidupan mereka, mereka bisa membuat
struktur cerita mereka terhadap tujuan yang lebih positif dan sehat.
2.
Pribadi Sehat dan Bermasalah
a.
Pribadi sehat
1)
Individu yang memahami kehidupan mereka yang tampaknya
teratur didalam dan luar.
2)
Individuyangmampu mempromosikan interaksi keluargayang sehat dan memberikan pemahaman untuk pembangunan sosial makna dalam kehidupan pribadi.
3)
Individuyangmampu memahami pikiran dan sistem kepercayaan yang berasal dari kenangan awal dan interaksi dalam kehidupan.
b.
Pribadi bermasalah
1)
Individu yang merasa sebagai akibat
tinggal sebuah
narasi pribadi penderitaan, ketakutan, atau tidak
berharga.
2)
Individu yang tidak dapat mengeksplorasi ke dalam diri
mereka sendiri,
3)
Individu yang selalu dibayang-bayangi
oleh keinginan/harapan, aspirasi ketakutan penyesalan dan luka emosional.
E.
HAKIKAT KONSELING
Perspektif narratif
berfokus pada kapasitas manusia untuk mengkreasikan dan imajinasi pikiran.
Praktisi narrative tidak menganggap bahwa mereka mengetahui hal yang
lebih mengenai kehidupan konseli dari yang mereka lakukan (Konseli adalah penafsir utama dari pengalaman
mereka sendiri. Orang-orang dipandang
sebagai agen aktif yang
mampu berarti berasal dari
dunia pengalaman mereka. Dengan demikian proses
perubahan dapat difasilitasi, tapi tidak diarahkan oleh
terapis (Corey, 200:389).
Dari hal ini
disimpulkan bahwa hakikat konseling dari pendekatan naratif ini adalah
keaktifan konselor sebagai fasilitator dan keaktifan konseli dalam menyampaikan
cerita kehidupannya yang menjadi inti dari pendekatan naratif.
F.
KONDISI PENGUBAHAN
1.
Tujuan
Tujuan
umum konseling narasi adalah membawa konseli agar dapat
menggambarkan pengalaman mereka dalam bahasa baru dan segar.
menggambarkan pengalaman mereka dalam bahasa baru dan segar.
Dalam hal ini
dilakukan sampai konseli menemukan pandangan baru. Bahasa
baru ini memungkinkan klien untuk mengembangkan makna baru bagi
pikiran yang bermasalah, perasaan, dan perilaku (Freedman
& Combs, 1996). Terapi narasi hampir selalu mencakup kesadaran
akan dampak dari berbagai aspek budaya dominan pada kehidupan manusia.
Praktisi berusaha untuk memperbesar sudut pandang dan
fokus serta memfasilitasi penemuan atau penciptaan pilihan
baru yang unik untuk orang-orang yang mereka lihat.
2.
Konselor
Peran terapis
Narasi adalah fasilitator aktif. Konsep kepedulian, minat, respek
dengan menghormati, keterbukaan, empati, kontak, dan bahkan daya
tarik dipandang sebagai kebutuhan
relasional. Ketidaktahuan posisi, yang memungkinkan terapis
untuk mengikuti, menegaskan dan dipandu oleh cerita-cerita dari
klien mereka, menciptakan pengamatan terhadap konseli dan dan
berperan sebagai fasilitator dan mengintegrasikan terapi dengan pandangan
postmodern manusia.
Tugas utama terapis
adalah membantu klien membangun cerita yang lebih disukai klien. Terapis
narasi mengadopsi sikap yang ditandai oleh respek dengan hormat dan
bekerja dengan klien untuk mengeksplorasi dampak masalah pada
mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek dari masalah (Winslade & Monk, 2007). Salah satu fungsi utama terapis adalah dengan mengajukan pertanyaan pada klien dan, berdasarkan jawaban, untuk menghasilkan pertanyaan lebih lanjut. Putih dan Epston (1990) mulai dengan eksplorasi klien sehubungan untuk masalah yang diajukan. Hal ini tidak biasa bagi klien untuk menyajikan cerita awal di mana mereka dan masalah menyatu, seolah-olah sama. Terapis Narasi cenderung menghindari penggunaan bahasa yang mencakup diagnosis, penilaian, pengobatan, dan intervensi. Fungsi seperti diagnosis dan penilaian sering memberikan prioritas kepada "kebenaran" praktisi atas pengetahuan klien tentang hidup mereka sendiri. Pendekatan naratif memberikan penekanan kepada klien pemahaman pada pengalaman hidup dan menekankan upaya untuk memprediksi, menafsirkan, dan pathologize. Praktisi Narasi berhati-hati untuk tidak menganggap peran utama mengambil inisiatif dalam kehidupan orang lain atau merebut kekuatan dari klien dalam membawa perubahan (Winslade et al., 1997). Dalam konseling narasi, tidak ada penetapan formula atau resep untuk mengikuti (Freedman & Combs, 1996; Monk, Winslade, Crocket, & Epston, 1997; Winslade & Monk, 2007). Monk (1997) menekankan bahwa terapi narasi akan bervariasi dengan setiap klien karena setiap orang adalah unik. Untuk Monk, percakapan narasi didasarkan pada cara hidup, dan jika konseling narasi "Dipandang sebagai rumus atau digunakan sebagai resep, klien akan memiliki pengalaman setelah sesuatu dilakukan kepada mereka dan merasa ditinggalkan dari percakapan "(hal. 24).
mereka dan apa yang mereka lakukan untuk mengurangi efek dari masalah (Winslade & Monk, 2007). Salah satu fungsi utama terapis adalah dengan mengajukan pertanyaan pada klien dan, berdasarkan jawaban, untuk menghasilkan pertanyaan lebih lanjut. Putih dan Epston (1990) mulai dengan eksplorasi klien sehubungan untuk masalah yang diajukan. Hal ini tidak biasa bagi klien untuk menyajikan cerita awal di mana mereka dan masalah menyatu, seolah-olah sama. Terapis Narasi cenderung menghindari penggunaan bahasa yang mencakup diagnosis, penilaian, pengobatan, dan intervensi. Fungsi seperti diagnosis dan penilaian sering memberikan prioritas kepada "kebenaran" praktisi atas pengetahuan klien tentang hidup mereka sendiri. Pendekatan naratif memberikan penekanan kepada klien pemahaman pada pengalaman hidup dan menekankan upaya untuk memprediksi, menafsirkan, dan pathologize. Praktisi Narasi berhati-hati untuk tidak menganggap peran utama mengambil inisiatif dalam kehidupan orang lain atau merebut kekuatan dari klien dalam membawa perubahan (Winslade et al., 1997). Dalam konseling narasi, tidak ada penetapan formula atau resep untuk mengikuti (Freedman & Combs, 1996; Monk, Winslade, Crocket, & Epston, 1997; Winslade & Monk, 2007). Monk (1997) menekankan bahwa terapi narasi akan bervariasi dengan setiap klien karena setiap orang adalah unik. Untuk Monk, percakapan narasi didasarkan pada cara hidup, dan jika konseling narasi "Dipandang sebagai rumus atau digunakan sebagai resep, klien akan memiliki pengalaman setelah sesuatu dilakukan kepada mereka dan merasa ditinggalkan dari percakapan "(hal. 24).
3.
Konseli
Terapis narasi
mengasumsikan klien adalah ahli ketika datang ke apa yang dia inginkan
dalam hidup. Dalam hal ini berarti konseli berperan aktif dalam konseling
karena konseli yang mengetahui dirinya dan kehidupannya.
4.
Situasi Hubungan
Konseling Narasi
sangat mementingkan kualitas terapis yang membawa kepada usaha
terapi. Beberapa dari termasuk sikap optimisme dan rasa hormat, rasa
ingin tahu dan ketekunan, menghargai pengetahuan klien, dan menciptakan
jenis khusus dari hubungan ditandai dengan dialog pembagian kekuasaan nyata
(Winslade & Monk, 2007). Kolaborasi, kasih sayang, refleksi, dan
penemuan mencirikan hubungan terapeutik. Jika hubungan ini adalah
untuk benar-benar kolaboratif, terapis perlu menyadari bagaimana kekuasaan
memanifestasikan dirinya dalam praktek profesionalnya. Ini tidak berarti
bahwa terapis tidak memiliki otoritas sebagai seorang profesional.
Dia menggunakan otoritas ini, dengan memperlakukan klien sebagai pakar
dalam kehidupan mereka sendiri. Winslade, Crocket, dan Monk (1997)
menggambarkan kolaborasi ini sebagai coauthoring atau berbagi kekuasaan.
Klien berfungsi sebagai penulis ketika mereka memiliki kewenangan untuk
berbicara atas nama mereka sendiri. Dalam pendekatan naratif,
terapis-sebagai-ahli digantikan oleh klien-sebagai ahli -. Gagasan ini menantang sikap
terapis sebagai seorang ahli semua-bijaksana dan maha tahu. Winslade dan
Monk (2007) menyatakan: "Integritas dari hubungan
konseling demikian dipertahankan sementara klien dihormati sebagai
penulis senior dalam pembangunan dari sebuah narasi alternatif "(hal.
57-58).
Klien sering terjebak dalam cerita masalah pola hidup-kejenuhan tidak bekerja. Terapis memasuki dialog ini dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam
upaya untuk memperoleh perspektif, sumber daya, dan pengalaman unik dari klien.
Klien sering terjebak dalam cerita masalah pola hidup-kejenuhan tidak bekerja. Terapis memasuki dialog ini dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam
upaya untuk memperoleh perspektif, sumber daya, dan pengalaman unik dari klien.
G.
MEKANISME PENGUBAHAN
1.
Tahap-tahap Konseling
Ini gambaransingkatmengenai langkahlangkahdalam proses terapi narasi menggambarkanstruktur pendekatan narasi
(O'Hanlon, 1994, hlm 25-26):
a.
Berkolaborasi dengan klien untuk datang dengan nama yang
dapat diterima bersama untuk masalah tersebut.
b.
Melambangkan masalah dan menghubungkan pada keinginan yang
menekan dan strategi untuk masalah tersebut.
c.
Menyelidiki bagaimana masalah telah mengganggu,
mendominasi, atau mengecilkan hati/mengecewakan klien.
d.
Mintalah klien untuk melihat ceritanya dari
perspektif yang berbeda dengan
menawarkan makna alternatif dari peristiwa yang
dialaminya .
e.
Temukan saat-saat ketika klien tidak
didominasi atau berkecil hati oleh
masalah dengan mencari pengecualian untuk masalah ini.
masalah dengan mencari pengecualian untuk masalah ini.
f.
Menemukan bukti historis untuk
mendukung pandangan baru dari klien sebagai orang yang
cukup kompeten untuk
menantang, mengalahkan, atau keluar dari dominasi atau tekanan masalah. (Pada tahap
ini identitas orang tersebut dan
kehidupan cerita mulai mendapatkan ditulis ulang.)
g.
Meminta klien untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana
yang bisa diharapkan dari kekuatan dan kompetensi seseorang. Sehingga klien
menjadi terbebas dari cerita-cerita masalah yang menjenuhkan dari masa lalu,
dan ia dapat membayangkan dan merencanakan untuk masa depan
yang kurang bermasalah.
h.
Menemukan atau menciptakan audiens untuk memahami
dan mendukung cerita baru. Tidaklah cukup untuk
membaca cerita baru. Klien perlu untuk hidup baru cerita luar terapi. Karena orang
itu masalah awalnya dikembangkan
dalam konteks sosial, adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial
dalam mendukung kisah hidup baru yang telah muncul dalam percakapan
dengan terapis.
dalam konteks sosial, adalah penting untuk melibatkan lingkungan sosial
dalam mendukung kisah hidup baru yang telah muncul dalam percakapan
dengan terapis.
Winslade dan Monk
(2007) menekankan bahwa percakapan narasi tidak mengikuti perkembangan
linier dijelaskan di sini, karena lebih baik memikirkan langkah-langkah
dalam hal perkembangan siklus yang mengandung unsur-unsur berikut:
a. Pindah cerita masalah
ke arah deskripsi externalized masalah
b. Peta efek dari masalah
pada individu
c. Dengarkan tanda-tanda
kekuatan dan kompetensi di problemsaturated individu cerita
d. Membangun cerita baru
kompetensi dan mendokumentasikan prestasi ini
2.
Teknik-teknik Konseling
a.
Pertanyaan dan pertanyaan lainnya. Pertanyaan
yang ditanyakan oleh terapis naratif mungkin nampaknya melekat
dalam sebuah percakapan yang unik, bagian dari dialog tentang dialog
sebelumnya, penemuan kejadian-kejadian unik atau eksplorasi proses kultur yang
dominan dan memberikan perintah. Apapun tujuannya, pertanyaan
seringkali sirkuler atau berhubungan, dan ditujukan untuk
memberikan dorongan kepada klien dalam cara yang baru. Seperti prase
terkenal yang digunakan oleh Gregory Bateson
(1972), pertanyaan-pertanyaan itu adalah
pertanyaan untuk mencari perbedaan yang akan membuat perbedaan.
Terapis naratif menggunakan pertanyaan sebagai upaya
untuk menhasilkan pengalaman daripada mengumpulkan informasi.
Tujuan bertanya di sini adalah untuk terus menemukan atau membentuk pengalaman
klien sehingga terapis memahami arah mana yang harus di tempuh. Pertanyaan
selalu dimulai dengan merespek secara positif, keingintahuan dan
keterbukaan. Terapis bertanya dari posisi yang tidak tahu dimana berarti bahwa
mereka tidak memberikan pertanyaan yang kiranya mereka sudah mengetahui
jawabannya. Monk (1997) menjelaskan posisi ini sebagai berikut:
Berkebalikan dengan normative yang ada, cara naratif
mengharuskan konselor untuk mengambil posisi mencari tahu, memeriksa dan
menggali informasi. Dia menunjukkan kepada klien bahwa konselor tidak memiliki
akses khusus kedalam kebenaran. Konselor hanya memiliki peran untuk memahami
pengalaman klien.
Terapis yang menggunakan pendekatan naratif
berusaha memilah-milah atau membentuk kembali wacana yang
melatarbelakangi masalah klien. Melalui proses bertanya, terapis memberikan
kesempatan kepada klien untuk mencari tahu berbagai macam dimensi dalam
kehidupan mereka. Dengan cara ini mereka membantu membawa ke permukaan asumsi
kultur yang tidak terucapkan yang berhubungan dengan pembentukan masalah pada
awalnya. Terapis berperan dalam menemukan bagaimana masalah ini pertama kali
menjadi jelas dan bagaimana masalah ini mempengaruhi pandangan klien terhadap
diri mereka (Monk, 1997). Terapis naratif berusaha melibatkan orang dalam
pembentukan kembali kisah-kisah tentang masalah mereka, mengidentifikasi arah
yang diinginkan dan menciptakan kisah-kisah lainnya yang mencukung arah yang
dipilih tersebut (Freedman dan Combs, 1996).
b.
Eksternalisasi dan dekonstruksi. Terapis naratif
berbeda dari terapis tradisional lainnya dimana terapis naratif percaya bahwa
bukan orangnya yang menjadi masalah tetapi masalahnya memang sebuah masalah.
Menjalani hidup berarti memang menghadapi masalah, tidak menjadi satu dengan
masalah. Masalah dan kisah-kisah tentang masalah memiliki pengaruh pada orang
dan dapat merubah hidup dalam cara-cara yang negatif. Asumsi tentang sebuah
masalah yang tidak dipahami dengan benar akan membatasi kesempatan baik untuk
klien dan terapis untuk menggali perubahan (McKenzie & Monk, 1997). Terapis
naratif membantu klien untuk membentuk kembali kisah-kisah berisi
masalah-masalah yang mereka hadapi dengan memisah-misahkan asumsi-asumsi yang
diyakini begitu saja yang terbentuk dari sebuah kejadian yang mana kemudian
membuka kemungkinan alternatif untuk menjalani hidup (Bertolino & O’Hanlon;
WInslade & Monk, 1999).
Eksternalisasi adalah proses untuk membentuk kembali kekuatan
naratif dan memisahkan orang dari pengidentifikasian masalah dan kadang pemberian
nama kepada masalah tersebut. White (1992) menyatakan orang datang mencari
terapi karena mereka menganggap mereka memiliki masalah dan bukanlah untuk
suatu alasan menyeluruh seperti masalah kejiwaan. Ketika klien memandang diri
mereka adalah masalah, mereka membatasi diri mereka kepada cara-cara untuk
mengatasi masalah tersebut. Pengaruh dari perubahan bahasa yang halus ini
adalah klien dapat merasakan masalah yang ada diluar diri mereka. Bukannya
memiliki masalah, seseorang justru memiliki hubungan dengan masalah. Contohnya,
ada perbedaan antara menyebut seseorang sebagai pecandu alkohol dan mengetahui
ada indikasi bahwa alkohol telah mempengaruhi kehidupannya. Memisahkan masalah
dari diri seseorang akan memberikan harapan dan memungkinkan klien untuk
menghadapi masalah seperti menyalahkan dirinya sendiri. Dengan memahami
kecenderungan untuk menyalahkan dirinya sendiri, klien dapat membentuk kembali
garis ceritanya dan membentuk cerita yang lebih positif.
Sebagian besar klien barangkali tidak mengidentifikasi efek
penuh cerita masalah, barangkali karena ketakutan mereka dibanjiri oleh
kesulitan-kesulitan. Metode yang digunakan untuk memisahkan seseorang dengan
masalah disebut sebagai eksternalisasi percakapan. Metode ini secara khusus
bermanfaat ketika orang-orang mendiagnosis dan memberi label yang tidak
memvalidasi atau memberdayakan proses perubahan (Bertolino dan O'Hanlon 2002).
Eksternalisasi percakapan menetralkan tekanan, cerita yang jenuh dengan
masalah, dan memberdayakan untuk merasa kompeten dalam menangani masalah yang
dihadapi. Dua cara untuk membentuk eksternalisasi percakapan adalah (1)
memetakan pengaruh dari masalah dalam kehidupan seseorang, atau (2) memetakan
pengaruh kehidupan seseorang terhadap pengembangan masalah (McKenzie dan Monk,
1997).
Pemetaan pengaruh masalah terhadap seseorang menghasilkan
informasi yang sangat bermanfaat dan seringkali membuat orang-orang tidak
terlalu salah dan malu. Orang-orang merasa didengar dan dipahami ketika masalah
yang mempengaruhi mereka diselidiki secara sistematis. Ketika pemetaan ini
dilakukan secara hati-hati, ini memberikan landasan untuk mengarang garis
cerita baru bagi klien. Sebuah pertanyaan yang umum adalah “Kapan masalah ini
muncul pertama kali dalam kehidupan anda?” Pekerjaan dari terapis adalah
membantu klien dalam menelusuri masalah dari mana asalnya sampai sekarang.
Terapis menempatkan masalah mendatang dengan bertanya, “Jika masalah berlanjut
selama satu bulan (atau periode tertentu), apakah artinya bagi anda?”
Pertanyaan ini dapat memotivasi klien untuk bergabung dengan terapis dalam
memerangi dampak dari efek masalah tersebut.
Pemetaan efek dari kehidupan seseorang terhadap pengembangan
masalah seringkali membuat klien menjadi sadar bahwa masalah tersebut tidak
sepenuhnya didominasi diri atau kehidupannya. Terdapat beberapa contoh di mana
klien menangani secara baik masalah tersebut. bentuk pemetaan ini membantu
klien tidak tenggelam dalam masalah dan melihat harapan dari bentuk kehidupan
berbeda. Terapis melihat ‘momen kemilau’ ini ketika mereka melakukan
eksternalisasi percakapan dengan klien (White dan Epston, 1990).
Kasus Brandon mengilustrasikan eksternalisasi percakapan.
Brandon mengatakan bahwa dia terlalu marah, khususnya ketika dia merasa bahwa
istrinya mekritiknya secara tidak adil: “Saya hanya cerewet, daya rendah, saya
kacau, kembali bertengkar. Kemudian saya ingin saya tidak seperti itu, tetapi
sudah terlalu lambat. Saya terjerumus lagi” Walaupun pertanyaan tentang
bagaimana kemarahan terjadi, lengkap dengan contoh dan kejadian-kejadian
khusus, akan membangun menunjukkan pengaruh dari masalah, pertanyaan
sesungguhnya adalah eksternalisasi masalah: “Apakah misi dari marah, dan
bagaimanakah anda melakukan misi tersebut?”, “Bagaimanakah kemarahan anda
terjadi, dan bagaimana ini membuat anda menjadi sangat kuat?” “Apakah kemarahan
yang dilakukan anda, dan apa yang terjadi ketika anda memenuhi kebutuhan
tersebut ?
c.
Penemuan hasil yang unik. Dalam pendekatan
naratif, eksternalisasi pertanyaan-pertanyaan diikuti dengan pertanyaan untuk
mencari hasil unik. Terapis berbicara kepada klien tentang momen pilihan atau
keberhasilan berkaitan dengan masalah. Ini dilakukan dengan memilih perhatian
dan beberapa pengalaman yang terpisah dari cerita masalah, terlepas pada
bagaimana tidak signifikan ini bagi klien. Terapis dapat bertanya: “Apakah ada
waktu di mana kemarahan akan menguasai anda, dan anda melawannya? Seperti
apakah diri anda? Bagaimanakah anda melakukan itu?” Pertanyaan-pertanyaan ini
dimaksudkan untuk menyoroti momen ketika masalah tidak terjadi atau ketika
masalah diatasi dengan baik. Hasil unik seringkali dapat ditemukan dalam
masa lalu atau sekarang, tetapi mereka juga dapat dihipotesa untuk masa depan:
“Apakah bentuk yang akan terjadi terhadap kemarahan yang terjadi?” Menyelidiki
pertanyaan-pertanyaan seperti ini memungkinkan klien melihat perubahan mungkin
dilakukan. adalah di dalam perhitungan bahwa hasil unik bahwa terdapat gerbang
untuk memberikan teritorial alternatif bagi kehidupan klien (White, 1992).
Dengan mengikuti deskripsi kejadian unik, White (1992)
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan berikut, baik langsung ataupun tidak
langsung, yang membawa pada naratif yang disampaikan secara lebih jelas:
1)
Apakah yang anda pikir ini akan menunjukkan pada saya tentang
apa yang anda inginkan dari kehidupan dan tentang apa usaha yang telah
dilakukan dalam kehidupan anda?
2)
Bagaimanakah anda berpikir mengetahui ini akan mempengaruhi
pandangan saya tentang anda sebagai orang ?
3)
Dari semua orang yang tahu anda, siapa yang paling tidak
terkejut bahwa anda telah mampu mengambil langkah-langkah ini dalam menantang
masalah mempengaruhi kehidupan anda?
4)
Bagaimanakah aksi yang dapat anda lakukan sendiri jika anda
lebih penuh dalam menggunakan pengetahuan diri tentang siapa anda? (halaman
133).
Pengembangan cerita hasil unik ke dalam cerita solusi
difasilitasi oleh apa yang disebut oleh Epston dan White (1992) sebagai
‘pertanyaan-pertanyaan sirkulasi’:
1)
Sekarang bahwa anda telah mencapai poin ini dalam kehidupan,
siapa lagi yang seharusnya tahu tentang ini?
2)
Saya menduga terdapat sejumlah orang yang mempunyai
pandangan usang tentang anda sebagai orang. Apakah ide anda untuk memperbaharui
pandangan ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak ditanyakan secara beruntun.
Pertanyaan tersebut adalah bagian integral dari konteks percakapan
naratif, dan masing-masing pertanyaan secara sensitif digunakan untuk
menanggapi respon yang disampaikan oleh pertanyaan sebelumnya (White 1992)
McKenzie dan Monk (1997) menyampaikan bahwa terapis meminta ijin
dari klien sebelum menanyakan serangkaian pertanyaan. Dengan membiarkan klien
tahu bahwa mereka tidak mempunyai jawaban terhadap pertanyaan unik yang
disampaikan, terapis menempatkan klien dalam mengontrol proses terapi. Meminta ijin
klien untuk menggunakan pertanyaan keras cenderung meminimkan resiko tekanan
yang tidak diinginkan terhadap klien.
d.
Alternatif cerita and Reautoring. Membentuk
cerita terjadi berulang-ulang dalam dekonstruksi, dan terapis naratif
mendengarkan pembukaan terhadap cerita baru. orang-orang dapat secara kontinyu
dan aktif mengarang kembali hidupnya, dan terapis naratif mengundang klien
untuk mengarang cerita alternatif melalui ‘hasil unik’ atau sesuatu yang tidak
diprediksi oleh cerita yang jenuh masalah (Freedman dan Combs 1996). Terapis
naratif menanyakan pada saat pembukaan: “Sudahkah anda pernah mampu keluar dari
pengaruh masalah?” Terapis mendengarkan isyarat terhadap kompetensi di antara
cerita problematis dan membangun cerita tentang kompetensi.
Sebuah titik balik dalam wawancara naratif terjadi ketika klien
melakukan pilihan apakah melanjutkan hidupnya yang jenuh dengan cerita masalah
atau menciptakan cerita lain (Winslade dan Monk, 1999). Melalui penggunaan
kemungkinan pertanyaan uni, terapis menggerakkan fokus ke masa depan. Contoh,
“Didasarkan pada apa yang anda pelajari tentang diri sendiri, apakah langkah
selanjutnya yang akan anda ambil? Ketika anda bereaksi dari identitas yang
disukai, apakah aksi yang akan membuat anda bertindak lebih ?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong orang-orang memantulkan apa yang telah
mereka capai sekarang dan apa langkah selanjutnya.
Terapis bekerja dengan klien secara kolaboratif dengan membantu
mereka membuat cerita komprehensif yang lebih koheren (Naimeyer 1993). Apakah
terlibat dalam percakapan bebas atau melakukan serangkaian peraturan dalam
proses relatif konsisten, terapis naratif berusaha menunjukkan kemungkinan baru
dan mengkaitkan ini dengan proses dan naratif kehidupan dari orang-orang yang
mereka layani. White dan Epston (1990) menyelidiki kejadian-kejadian unik yang
serupa dengan pertanyaan-pertanyaan pengecualian pada terapis berfokus-solusi.
Keduanya berusaha membangun kompetensi yang sudah ada pada seseorang.
Pengembangan cerita alternatif, atau naratif, dalam menyampaikan harapan akhir:
Sekarang adalah hari pertama dari sisa kehidupan selanjutnya.
e.
Mendokumentasikan bukti naratif. Praktisi naratif
percaya bahwa cerita terjadi hanya ketika terdapat pemirsa yang menghargai dan
mendukung mereka. dengan demikian, penghargaan audien terhadap perkembangan
baru secara sadar diajukan. Memperoleh audien untuk agar perubahan baru terjadi
menimbulkan kebutuhan untuk terjadi jika cerita alternatif tetap hidup (Andrew
dan Clark, 1996).
Satu teknik untuk mengkonsolidasi keuntungan yang dibuat klien
adalah dengan menulis surat. Surat naratif yang ditulis oleh terapis mencatat
sesi dan mungkin memasukkan eksternalisasi deskripsi tentang masalah dan
pengaruhnya terhadap klien sebagaimana halnya laporan kekuatan dan kemampuan
klien yang diidentifikasi dalam sesi tersebut. Surat tersebut menyoroti
perjuangan klien yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah dan menarik
perbedaan antara cerita yang penuh masalah dengan mengembangkan cerita baru dan
disukai (McKenzie dan Monk, 1997). Surat ini seringkali dikirim kepada klien
antar sesi (Andrew, Clark, dan baird, 1997).
Epston telah mengembangkan fasilitas khusus untuk melakukan
dialog terapi antara sesi melalui penggunaan surat (Shite dan Epston, 1990) Suratnya
mungkin panjang, kronologis proses wawancara dan perjanjian yang dicapai, atau
singkat, menyoroti makna atau pemahaman yang terjadi terhadap dirinya di akhir
kunjungan terapi sebelumnya. Surat ini digunakan untuk mendorong klien,
mencatat kekuatan dan prestasi mereka sehubungan dengan menangani masalah atau
mencatat makna dari prestasi mereka bagi orang lain dalam komunitas. Winslade
dan Monk (1999) mencatat bahwa surat yang mendokumentasikan perubahan yang
dicapai klien cenderung memperkuat signifikansi perubahan, baik bagi klien atau
orang lain dalam kehidupan klien.
David Nylund, seorang pekerja sosial klinis, menggunakan surat
naratif sebagai bagian dasar dari prakteknya. Nylund menjelaskan kerangka kerja
konseptual yang dia temukan bermanfaat dalam membuat surat bagi klien (Nylund
dan Thomas, 1994):
1)
Paragraf pendahuluan menghubungkan kembali klien dengan sesi
terapi sebelumnya
2)
Pernyataan meringkas masalah yang ada pada klien
3)
Pertanyaan-pertanyaan yang dipikirkan terapis setelah sesi
tersebut mungkin disampaikan kepada klien. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
mungkin berhubungan dengan pengembangan cerita alternatif
4)
Surat mendokumentasikan hasil unik atau pengecualian terhadap
cerita problematis, yang muncul selama sesi. Pada saat ini, kutipan langsung
terhadap klien digunakan
Nylund dan Thomas (1994) menyatakan bahwa surat naratif
memperkuat pentingnya melakukan apa yang telah dipelajari dalam kantor terapi
ke dalam kehidupan sehari-hari. Pesan yang disampaikan adalah bahwa berpartisipasi
secara penuh di dunia lebih penting daripada di kantor terapi. Dalam survey
informal persepsi nilai surat naratif oleh klien terdahulu, rata-rata mereka
menghargai surat tersebut sama seperti tiga kali sesi individual. Temuan ini
konsisten dengan pernyataan McKenzie dan Monks (19970 : “Beberapa konselor
naratif telah menyampaikan bahwa surat yang dibuat dengan baik setelah sesi
terapi atau sebelum lainnya sama dengan lima sesi reguler” (halaman 113). Surat
naratif sepertinya mempunyai dampak maksimum dalam sejumlah sesi terakhir.
H.
HASIL PENELITIAN
Terapi naratif
mengandung pengertian bahwa seseorang membangun pengetahuan melalui interaksi.
Kata-kata seperti mencari jalan dan mengatasi biasa digunakan dalam pendekatan
ini dimana setiap orang tampak sebagai pahlawan yang telah menyelesaikan
masalah yang mencekam dirinya. Pada akhir terapi, kejelasan memberi makna bagi
konseli sebagai kemenangan dalam menyelesaikan masalah yang telah menindas
mereka sebelumnya. Gagasan naratif memberi metode alternatif bagi konselor
untuk berbicara dengan konseli tentang masalah dan cara pemecahan. Penggunaan
bahasa yang unik ini kondusif untuk melaksanakan bimbingan dan konseling
kolaboratif.
PENDEKATAN POSTMODERN DARI PERSPEKTIF MULTICULTURAL
Kontribusi Multicultural Counseling
Kontribusi Multicultural Counseling
Konstruksionis sosial pendekatan terapi klien dengan menyediakan
kerangka kerja untuk berpikir tentang pemikiran mereka dan untuk menentukan
dampak stories terhadap apa yang mereka lakukan. Klien didorong untuk menjelajahi
bagaimana realitas mereka sedang dibangun dan konsekuensi yang mengikuti dari
konstruksi. Dalam kerangka nilai-nilai budaya mereka dan pandangan dunia, klien
dapat mengeksplorasi kepercayaan mereka dan memberikan reinterpretations mereka
sendiri tentang peristiwa kehidupan yang signifikan.
Para praktisi dengan perspektif konstruktivis sosial dapat memandu klien dengan menghormati nilai-nilai yang mendasarinya. Dimensi ini penting terutama dalam kasus-kasus di mana konselor dari latar belakang budaya yang berbeda dengan klien mereka.
Terapi naratif didasarkan konteks sosial budaya, yang membuat pendekatan ini sangat relevan untuk konseling dengan klien beragam budaya. Banyak pendekatan modern yang telah dibahas dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah-masalah ada di dalam individu. Beberapa model tradisional ini mendefinisikan kesehatan mental dalam kaitannya dengan nilai-nilai budaya yang dominan. Sebaliknya, narasi terapis beroperasi pada premis bahwa masalah-masalah yang diidentifikasi dalam sosial, budaya, politik, dan konteks relasional daripada individua. Mereka sangat peduli dengan mempertimbangkan isu-isu gender, etnis, ras, orientasi seksual, dan kelas sosial dalam proses terapeutik.
Masalah terapis narasi berkonsentrasi pada cerita-cerita yang mendominasi dan menundukkan pribadi, sosial, dan budaya tingkat. Dari orientasi ini, para praktisi membongkar asumsi-asumsi budaya yang merupakan bagian dari problem klien.
Dalam diskusi tentang pengaruh multikultural klien, Bertolino dan O’Hanlon (2002) bahwa mereka tidak mendekati klien dengan pendapat yg terbentuk sebelumnya. Sebaliknya, mereka belajar dari klien tentang pengalaman mereka. Berikut adalah beberapa pertanyaan untuk lebih memahami multikultural klien:
Para praktisi dengan perspektif konstruktivis sosial dapat memandu klien dengan menghormati nilai-nilai yang mendasarinya. Dimensi ini penting terutama dalam kasus-kasus di mana konselor dari latar belakang budaya yang berbeda dengan klien mereka.
Terapi naratif didasarkan konteks sosial budaya, yang membuat pendekatan ini sangat relevan untuk konseling dengan klien beragam budaya. Banyak pendekatan modern yang telah dibahas dalam buku ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah-masalah ada di dalam individu. Beberapa model tradisional ini mendefinisikan kesehatan mental dalam kaitannya dengan nilai-nilai budaya yang dominan. Sebaliknya, narasi terapis beroperasi pada premis bahwa masalah-masalah yang diidentifikasi dalam sosial, budaya, politik, dan konteks relasional daripada individua. Mereka sangat peduli dengan mempertimbangkan isu-isu gender, etnis, ras, orientasi seksual, dan kelas sosial dalam proses terapeutik.
Masalah terapis narasi berkonsentrasi pada cerita-cerita yang mendominasi dan menundukkan pribadi, sosial, dan budaya tingkat. Dari orientasi ini, para praktisi membongkar asumsi-asumsi budaya yang merupakan bagian dari problem klien.
Dalam diskusi tentang pengaruh multikultural klien, Bertolino dan O’Hanlon (2002) bahwa mereka tidak mendekati klien dengan pendapat yg terbentuk sebelumnya. Sebaliknya, mereka belajar dari klien tentang pengalaman mereka. Berikut adalah beberapa pertanyaan untuk lebih memahami multikultural klien:
1.
Apa yang dapat Anda berbagi dengan saya tentang latar belakang
yang memungkinkan saya untuk lebih memahami Anda?
2.
Apa yang telah Anda siapkan menghadapi tantangan perkembangan
budaya Anda?
3.
Jika ada, tentang latar belakang yang sulit bagi Anda?
4.
Bagaimana Anda dapat menarik kekuatan dan sumber daya dari
budaya Anda?
Sumber daya apa yang dapat Anda ambil pada saat dibutuhkan?
Sumber daya apa yang dapat Anda ambil pada saat dibutuhkan?
Pertanyaan seperti ini dapat menjelaskan
pengaruh multikultural tertentu sebagai sumber dukungan atau yang berkontribusi
pada masalah klien.
Keterbatasan Multicultural Counseling terhadap
Pendekatan PostModern
Keterbatasan berkenaan pendekatan postmodern, pada “sikap ketidaktahuan” terapis, mengasumsikan bersama “klien sebagai ahli”. Jika terapis mengatakan pada klien “Saya benar-benar tidak seorang ahli; Anda adalah ahli, aku percaya pada sumber daya Anda untuk mencari solusi untuk masalah Anda,” kemungkinan akan menimbulkan kurangnya kepercayaan pada Therapist.
Keterbatasan berkenaan pendekatan postmodern, pada “sikap ketidaktahuan” terapis, mengasumsikan bersama “klien sebagai ahli”. Jika terapis mengatakan pada klien “Saya benar-benar tidak seorang ahli; Anda adalah ahli, aku percaya pada sumber daya Anda untuk mencari solusi untuk masalah Anda,” kemungkinan akan menimbulkan kurangnya kepercayaan pada Therapist.
Untuk menghindari situasi ini, terapis
menggunakan solusi-fokus atau orientasi narrative kepada klien bahwa ia
memiliki keahlian dalam proses terapi, tetapi klien tidak langsung terlibat
dalam perilaku yang bertentangan dengan tujuan dasar mereka.
Sarah Walther
Sarah Walther adalah salah satu dari 'generasi kedua' terapis
narasi yang membangun dan memperluas pemikiran Michael White dan metode. Sarah
adalah seorang guru yang berpengalaman dan
menarik dari Institut Terapi Narasi dan menawarkan pelatihan dan
konsultasi sebagai anggota fakultas pengajaran Institut, baik di Inggris dan internasional.
Dia telah menulis sejumlah makalah yang berhubungan dengan terapi naratif dan
prakteknya berbasis di Timur Lancashire CAMHS, di mana dia adalah Therapist
Narasi pertama ditunjuk oleh layanan kesehatan nasional publik. Dia berbicara
dengan anak, orang muda dan mereka yang terlibat dalam kehidupan mereka di mana
ada berbagai kekhawatiran, termasuk: efek trauma; kesulitan makan; pikiran dan
tindakan yang terkait dengan merugikan diri dan bunuh diri; kronis masalah
kesehatan fisik, dll
Ada jumlah yang signifikan dan terus meningkat
bukti untuk efektifitas untuk praktek terapi naratif. Berikut ini kami sajikan
ringkasan literatur penelitian tentang terapi narasi, termasuk beberapa
penelitian berbasis bukti.
Keluarga terapi dan mengotori: Audit pendekatan eksternalisasi
dan lainnya
Evril Silver, Alison Williams, Fiona Worthington, dan Nicola
Phillips (1998)
Jurnal Terapi Keluarga, 20, 413-422.
Ini adalah audit yang retrospektif dari hasil
terapi dari 108 anak dengan mengotori dan keluarga mereka. Lima puluh empat
anak dirawat oleh eksternalisasi dan anak-anak perbandingan 54 dan keluarga
diobati dengan metode biasa di klinik yang sama. Hasil dari kelompok
eksternalisasi lebih baik dan baik dibandingkan dengan standar yang berasal
dari studi sebelumnya dari kekotoran. Eksternalisasi dinilai sebanyak lebih
membantu orang tua di follow-up. Ada jumlah yang signifikan dan
terus meningkat bukti untuk efektivitas untuk praktek terapi naratif. Berikut
ini kami sajikan ringkasan literatur penelitian tentang terapi narasi, termasuk
beberapa penelitian berbasis bukti.
Proses dan hasil terapi narasi untuk penyakit depresi pada orang
dewasa: refleksivitas Narasi, aliansi kerja dan peningkatan gejala dan
antar-pribadi hasil
Lynette Vromans (2008) [tesis PhD, Queensland University of
Technology]
Tujuan penelitian, untuk mengetahui proses dan
hasil terapi naratif, terdiri tujuan teoritis dan empiris. Tujuan pertama
adalah untuk mengartikulasikan sebuah sintesis teoritis dari teori naratif,
penelitian, dan praktek. Proses refleksivitas narasi diidentifikasi sebagai
konstruk teoritis yang menghubungkan teori dengan penelitian narasi narasi dan
praktek. Tujuan kedua adalah untuk mendukung sintesis ini secara empiris dengan
memeriksa proses terapi narasi, khususnya refleksivitas naratif dan aliansi
terapi, dan hubungannya dengan hasil terapi. Tujuan ketiga adalah untuk
mendukung sintesis yang diusulkan teori, penelitian, dan praktek dan memberikan
bukti kuantitatif untuk kegunaan terapi naratif, dengan mengevaluasi gejala depresi
dan antar pribadi hasil keterkaitan melalui analisis signifikansi statistik,
signifikansi klinis.
Untuk mendukung sintesis teoritis, uji coba
proses-hasil dievaluasi delapan sesi terapi narasi untuk 47 orang dewasa dengan
gangguan depresi besar. Variabel proses dependen adalah narasi refleksivitas
(dinilai pada Sesi 1 dan 8) dan aliansi terapeutik (dinilai pada Sesi 1, 3 dan
8). Primer variabel hasil dependen adalah gejala depresi dan antar-pribadi
keterkaitan. Analisis Primer dinilai hasil terapi pada pra-terapi,
pasca-terapi, dan tiga bulan follow-up dan digunakan strategi benchmarking
terhadap terapi pra-mengevaluasi pasca-terapi dan pasca terapi untuk
menindaklanjuti keuntungan, efek ukuran dan pra -terapi untuk pasca terapi
signifikansi klinis ... Uji klinis memberikan dukungan empiris untuk kegunaan
terapi narasi dalam meningkatkan gejala depresi dan antar-pribadi keterkaitan
dari pra-terapi untuk pasca terapi: besarnya perubahan yang menunjukkan efek
ukuran besar (d = 1,10-1,36) untuk gejala depresi dan efek ukuran sedang (d =
0,52-0,62) untuk antar-pribadi keterkaitan. Terapi efektif dalam mengurangi
gejala depresi pada klien dengan sedang dan berat pra-terapi keparahan gejala
depresi. Perbaikan gejala depresi, tetapi tidak antar-pribadi keterkaitan,
dipertahankan tiga bulan setelah terapi. Penurunan gejala depresi dan proporsi
klien yang mencapai perbaikan klinis yang signifikan (53%) pada gejala depresi
pada pasca terapi sebanding dengan perbaikan dari psychotherapies standar,
dilaporkan dalam penelitian patokan. Penelitian ini memiliki implikasi untuk
membantu pemahaman kita tentang pendekatan naratif, menyempurnakan strategi
yang akan memudahkan dokter pemulihan dari gangguan psikologis dan menyediakan
dengan dasar bukti yang lebih luas untuk praktek narasi.
Narasi terapi untuk orang dewasa dengan gangguan depresi utama:
Peningkatan gejala dan hasil interpersonal yang
Lynette P. Vromans & Robert D. Schweitzer (2010)
Psikoterapi Penelitian, 19 Maret 2010,
Penelitian ini meneliti gejala depresi dan hasil keterkaitan
antar pribadi dari delapan sesi terapi narasi manualized untuk 47 orang dewasa
dengan gangguan depresi besar. Pasca terapi, depresi gejala perbaikan (d =
1,36) dan proporsi klien mencapai perbaikan yang dapat diandalkan (74%),
gerakan untuk penduduk fungsional (61%), dan perbaikan klinis yang signifikan
(53%) sebanding dengan hasil penelitian patokan. Pasca terapi peningkatan
keterkaitan interpersonal (d = .62) kurang substansial dibandingkan gejala.
Tiga bulan follow-up ditemukan pemeliharaan gejala, tapi keuntungan tidak
interpersonal. Pembandingan dan analisis signifikansi klinis dikurangi
keterbatasan ukuran desain diulang, memberikan bukti empiris untuk mendukung
terapi narasi untuk orang dewasa dengan gangguan depresi besar.
Mengevaluasi narasi terapi keluarga menggunakan satu sistem
desain penelitian
David Besa, California Graduate School of Family Psychology
(1994)
Penelitian pada Praktek Pekerjaan Sosial, 4 (3), 309-325
Penelitian ini menilai efektivitas Terapi Narasi dalam mengurangi
orang tua / anak konflik. Orang tua diukur kemajuan anak mereka dengan
menghitung frekuensi perilaku tertentu selama fase awal dan intervensi.
Praktisi-peneliti menggunakan single-kasus metodologi dengan strategi paket
pengobatan, dan hasilnya dievaluasi dengan menggunakan tiga desain dasar ganda.
Enam keluarga dirawat menggunakan teknik Terapi Narasi beberapa termasuk
eksternalisasi, pertanyaan pengaruh relatif, mengidentifikasi hasil yang unik
dan rekening unik, menelorkan unik ulang deskripsi, memfasilitasi sirkulasi
unik, dan menugaskan antara sesi-tugas. Dibandingkan dengan tarif awal, lima
dari enam keluarga menunjukkan perbaikan dalam orang tua / anak konflik, mulai
dari 88% dengan penurunan 98% dalam konflik. Perbaikan terjadi hanya ketika Terapi
Narasi diaplikasikan dan tidak diamati dalam ketiadaan.
I.
Kelemahan dan Kelebihan
1.
Kelemahan:
a.
Cerita bisa dibuat-buat
2.
Kelebihan:
a.
Memiliki nilai
b.
Mendapatkan solusi yang lebih cepat
c.
Lebih fleksibel dan dapat dikombinasikan dengan
pendekatan pengobatan lain yang kompatibel
d.
Bisa diterapkan di segala jenjang umur dan status sosial
e.
Cerita dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain, berbentuk
sepanjang jalan, dan diberikan kepada orang sebagai warisan dari keluarga
mereka
f.
Bisa berbagi perasaan dengan orang lain
g.
Mengembangkan hubungan yang dekat
h.
memungkinkan orang untuk mengenali kemampuan
i.
berpartisipasi aktif
j.
berpikir kreatif dan imajinatif
SUMBER PUSTAKA
Corey, G. 2009. Theory
and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, CA: Brooks/Cole.
Capuzzi, D. & Gross, D.R. 2007. Counseling
& Psychotherapy: Theories and Intervention. Upper Saddle River,
New Jersey: Pearson Prentice-Hall
McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi
Kasus. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar