Selasa, 24 September 2013

LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN


LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN
Deka Zuhana, Irma Dessy Arianie, Mailinda dan Ria Arini
Kata sejarah dari bahasa Inggris “HISTORY” yang sebenarnya kata HISTORY itu sendiri berasal dari bahasa Yunani ISTORIA yang berarti orang pandai. Sejarah/historis adalah suatu keadaan atau kejadian pada masa lampau dimana adanya peristiwa yang menjadi sebuah acuan untuk mengembangkan suatu kegiatan atau kebijakan pada saat ini. Mempelajari sejarah sangatlah penting karena dengan mempelajari sejarah manusia memperoleh banyak informasi dan manfaat sehingga menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menentukan sebuah kebijakan.Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).
Sedangkan pendidikan adalah sebuah proses yang arif dan terencana dan berkesinambungan guna mendorong atau memotivasi  peserta didik dalam mengembangkan  potensi anak.  Pendidikan juga sebagai usaha sadar yang sistematis selalu bertolak dari sejumlah landasan.dalam hal ini landasan histori pendidikan di indonesia  akan memberikan arah atau kebijakan  terhadap pembentukan manusia di indonesia.
Seorang ahli pendidikan sebelum menangani pendidikan maka  terlebih dahulu mereka  memeriksa sejarah tentang pendidikan  baik yang bersifat nasional maupun internasional (Pidharta 2009 : 110). Dengan melihat sebuah sejarah maka mereka bisa melihat tujuan dari pendidikan tersebut apakah sudah cocok dengan kondisi pada saat ini. Guna membantu pendidik dalam mengenal pendidikan maka dalam makalah ini akan dibahas landasan historis pendidikan di indonesia, Sejarah pendidikan di dunia dan Pendidikan di Indonesia masa kini serta Berbagai problematika yang dicatat sejarah terkait pendidikan Hal ini bertujuan agar Mengetahui landasan historis Pendidikan Nasional Indonesia, mengetahui Sejarah pendidikan di dunia dan Pendidikan di Indonesia masa kini serta mengetahui problematika pendidikan di Indonesia masa kini.

Landasan historis memberikan peranan yang penting karena dari sebuah landasan historis atau sejarah bisa membuat arah pemikiran kepada masa kini. Menurut Pidharta , (2007 : 109) sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya.
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.
Ada beberapa zaman yang memiliki pengaruh pada dunia pendidikan yaitu zaman-zaman:
Zaman Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis (Pidarta, 2007: 111-114). Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Intisari pandangan aliran Realisme tentang pendidikan  meliputi: Anak-anak harus belajar dari alam, Belajar dengan metode induktif, Mementingkan aktifitas anak, Mengutamakan pengertian, Ekspresi kata untuk menyatakan pengertian menjadi penting, Belajar melalui bahasa ibu, Belajar dibantu oleh gambar-gambar, Materi dipelajari satu demi satu dari yang mudah ke yang sukar, Pelajaran disesuaikan dengan perkembagan anak, Pendidikan bersifat demokratis yaitu untuk semua anak  (ibid.: 113-114).
Zaman Rasionalisme
Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa atau a blank sheet of paper, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (ibid.: 114-115).
Proses belajar menurut John Locke ada tiga langkah, yaitu:
  • Ø Mengamati hal-hal yang ada di luar diri manusia
  • Ø Mengingat apa yang telah diamati dan dihafalkan
·         Ø Berpikir, yaitu mengolah bahan-bahan yang telah diperoleh tadi, ditimbang-timbang untuk diri sendiri (ibid.:114)
 Zaman Naturalisme
Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi guru, sehingga pendidikan dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16). Naturalisme menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
Menurut Rousseau ada tiga asas mengajar, yaitu:
  • Asas pertumbuhan, pengajaran harus member kesempatan untuk anak-anak bertumbuh secara wajar dengan cara mempekerjakan mereka, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya.
  • Asas aktivitas, melalui bekerja anak-anak akan menjadi aktif, yang akan memberikan pengalaman, yang kemudian akan menjadi pengetahuan  mereka.
  • Asas individualitas, dengan cara menyiapkan pendidikan sesuai dengan individualitas masing-masing anak, sehingga mereka berkembang menurut alamnya sendiri. (ibid.: 116)
 Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi, Johann Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel di Jerman, dan Stanley Hall Amerika Serikat.
Intisari konsep pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
  • Ø Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
  • Ø Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang melalui observasi dan eksperimen (Mudyahardjo, 2008: 114)
  • Ø Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture).
  • Ø Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal (Mudyaharjo, 2008: 114)
Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
  • Ø Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
  • Ø Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
  • Ø Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme di Jerman, yaitu kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I (Pidarta, 2007: 120-21).
 Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte (ibid.: 121).
Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul Natorp dan George Kerchensteiner di Jerman serta John Dewey di Amerika Serikat.
Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-24).
Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari zaman  zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (ibid.: 125). Ada 3 tokoh yang berjuang melalui pendidikan yaitu tokoh – tokoh tersebut adalah Mohammad syafei, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Mohammad syafei mendirikan sekolah INS (indonesisch nederlandse school) di sumatera barat pada tahun 1962. Sekolah ini dikenal dengan sekolah kayu tanam yang bertujuan membina anak- anak ke arah hidup yang merdeka melalui pendidikan hidup mandiri, model sekolah INS adalah asrama . tokoh berikutnya adalah Ki Hajar Dewantara yang mendirikan taman siswa. Sifat sistem dan metode pendidikan di ringkas ke dalam empat kawasan yaitu asas taman siswa , panca darma, adat istiadat dan semboyan atau lambang. Semboyan yang terkenal yang di buat oleh Ki Hajar dewantara adalah ing ngarsa sung telada, ing madya mangun karso dan tut wuri handayani. Tokoh selanjutnya Ahmad Dahlan  yang mendirikan organisasi Islam dengan nama Muhammadiyah. Pendidikan muhammadiyah ini sebagian besar memusatkan diri pada pengembangan agama islam dengan tujuan mewujudkan orang muslim yang berakhlak mulia dan percaya kepada diri sendiri.
Ada beberapa Sejarah pendidikan yang memiliki peranan penting untuk diketahui ,yaitu keadaan pendidikan di masa Belanda , Jepang dan pendidikan indonesia Masa kini
Zaman Kolonial Belanda
Pada Awal Abad ke 20  masalah pendidikan mendapat perhatian yang besar oleh pemerintah belanda  hal itu berhubungan dengan dilaksanakan politik etis. Sekolah sekolah mulai banyak didirikan namun tetap pembangunan sekolah tidaklah seimbang dengan jumlah pendduduk. Didirikannya sekolah desa dan sekolah modern. Sistem pendidikannya masih menyangkut kepentingan belanda tujuannya pendidikan tersebut yaitu agar anak indonesia bisa dipekerjakan menjadi pegawai rendah.
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda untuk anak belanda (ELS), (HCS) indonesia, dan (HIS) cina. sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO,HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan.
Menurut (Nasution.M.A, 1983:145) ada 6 prinsip politik pendidikan kolonial belanda di indonesia yaitu : pertama : dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah anak belanda dan untuk anak pribumi, untuk anak orang berada dan tidak berada; kedua : Gradualisme yang ekstrim dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak indonesia; ketiga : prinsip konkordansi yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah di nederland dan menghalangi penyesuannya dengan keadaan di indonesia; keempat : Kontrol sentral yang ketat; kelima : tidak adanya perencanaan pendidikan sistematis dan keenam : pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
Zaman Kolonial Jepang
Masa jepang kegiatan pendidikan dan pengajaran menurun akibatnya angka buta huruf meningkat oleh karena itu diadakannya program  pemberantasan buta huruf yang di pelopori oleh Putera Namun Di bidang pendidikan Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. Sekolah guru terdiri dari  sekolah guru 2 tahun, sekolah guru 3 tahun dan sekolah guru lama pendidkannya 6 tahun. (waridah, sukardi, & sunarto, 2003 : 179).
Zaman Kemerdekaan sampai saat ini
Setelah indonesia merdeka  hal yang dilakukan adalah melakukan pembangunan pada saat itu di bangunlah pembangunan dalam bidang ekonomi diharapkan bidang ekonomi bisa mendukung bidang-bidang yang lainnya.seiringnya berjalannya waktu pemerintah pendidikan terus berkembang ke arah yang lebih baik hal ini telah ditandainya muncul Pasal 2 tahun 1989 yang mengatur tentang sistem  pendidkan. Saat ini sistem pendidikan nasional terdapat pada UU RI No. 20 Th. 2003, Bab VI, Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan, Bagian kesatu, Umum, pasal 13, jalur pendidikan terdiri atas pendidiknan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya pendidikan.
Secara UUD memang pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya, setiap tahun dan setiap ada pergantian pimpinan selalu berupaya menyempurnakan kurikulum, pola dan starategi pembelajaran, namun demikian penyempurnaan tersebut hanya terarah kepada pembinaan pengetahuan dan keterampilan, terarah pada pembinaan pola dan sterategi pembelajaran dan peningkatan mutu pendidikan. Akan tetapi Peningkatan Mutu menjadi sebuah PR yang belum terselesaikan oleh pemerintah saat ini. Karena belum adanya pemerataan pendidikan, sehingga mutu pendidikan pun masih belum sesuai dengan yang di kehendaki.
Isu-Isu Problematika dalam Histori Pendidikan
Ada beberapa isu yang kami angkat dalam makalah ini yaitu masalah Pemerataan pendidikan.Mutu Pendidikan
Masalah Pemerataan Pendidikan
Masalah pemerataan pendidikan adalah bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang luas dalam mendapat pembelajaran. Masalah pemerataan pendidikan ini  timbul masih banyak warga negara yang tidak ditampung dalam sistem pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan. Dalam hal ini harusnya pemerintah membangun sekolah SD Kecil pada tempat terpencil atau bisa dibuat sistem guru kunjung.
Masalah Mutu Pendidikan
Isu selanjutnya  yaitu tentang mutu pendidikan. Mutu pendidikan menjadi sebuah masalah karena kebanyakan hasil yang dinilai dari sebuah mutu itu hanya di nilai dari sebuah nilai kognitifnya atau nilai akhir dari Ujian nasional dan Mutu nilai tersebut harus sama antara desa dan kota. Sehingga proses pembelajarannya terfokus untuk meraih nilai UN tersebut. Padahal ada yang harus dipikirkan oleh guru yaitu bagaimana membentuk seorang anak sehingga ilmu yang di dapat tersebut dapat dibawa dalam dunia kerja.
 Masalah Otonomi Daerah dalam bidang pendidikan
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita  masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi bidang pendidikan dimulai dengan keluarnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan kemudian ditindak lanjuti dengan PP No. 20 tentang Peribangan Keuangan Daerah yang di dalamnya mengatur tentang sektor-sektor yang didesentralisasikan dan yang tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pendidikan termasuk salah satu sektor yang didesentralisasikan, sehingga sejak itu pendidikan terutama dari TK sampai dengan SMA menjadi urusan kabupaten/kota. Sedangkan pendidikan tinggi menjadi urusan Pemerintah Pusat dan Provinsi..
Sejak urusan pendidikan didesentralisasikan, signal-signal adanya banyak masalah baru sudah tampak. Diantaranya, adalah tarik menarik kepentingan untuk urusan guru serta saling lempar tanggung jawab untuk pembangunan gedung sekolah. Pengelolaan guru menjadi tarik menarik, karena jumlahnya yang banyak, sehingga banyak kepentingan politik maupun ekonomi yang bermain di dalamnya. Sedangkan pembangunan gedung sekolah, utamanya gedung SD menjadi lempar-lemparan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemda karena besarnya dana yang diperlukan untuk itu. Sementara, di lain pihak, baik Pemerintah Pusat maupun Pemda sama-sama mengeluh tidak memiliki dana.
Masalah Kurikulum
Perkembangan Kurikulum di indonesia selalu berubah-ubah dalam pendidikan masa kini kurikulum yang di pakai yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan angin segar bagi dunia pendidikan dasar dan menengah. KTSP dimaknai sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Ini berarti satuan pendidikan tertantang untuk menterjemahkan standar isi yang ditentukan oleh Depdiknas. Bahkan diharapkan sekolah mampu mengembangkan lebih jauh standar isi tersebut.
Meskipun sekolah diberi kelonggaran untuk menyusun kurikulum, namun tetap harus memperhatikan rambu-rambu panduan KTSP yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Hal ini diharapkan agar selalu ada sinkronisasi antara standar isi dan masing-masing KTSP.
Dalam prakteknya, peluang ini juga akan menghadapi kendala yang tidak ringan, Pertama, belum semua guru atau bahkan kepala sekolah mempunyai kemampuan untuk menyusun kurikulum. Kedua, semua komite sekolah atau bahkan orang Depdiknas belum memahami tatacara penyusunan sebuah kurikulum yang baik. Ketiga, kebingungan pelaksana dalam menerjemahkan KTSP.
Sudah sering dikemukakan oleh berbagai kalangan, ketidaklogisan KTSP terjadi karena seolah diberikan kebebasan untuk mengolaborasikan kurikulum inti yang dibuat Depdiknas, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah dengan melalui Ujian Nasional (UN) justru yang paling menentukan kelulusan siswa.

Kesimpulan

Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa sejarah sangatlah penting untuk diketahui apalagi sejarah pendidikan indonesia dari perjuangan para tokoh-tokoh pendidik di indonesia serta peran pemerintah untuk mengembang dunia pendidikan.Seluruh perjuangan yang dilakukan  sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya, tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu, pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia.
Hal ini dikarenakan pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan memajukan diri, agar tidak ketinggalan jaman, dan selalu berusaha menyongsong zaman yang akan datang atau untuk dapat hidup dan bekerja senafas dengan semangat perubahan zaman.
Akhir kata, pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi pengawal,perantara,dan pemelihara peradaban. Dengan demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya dan bukan merupakan “harta karun” yang tersia-siakan.
  
DAFTAR PUSTAKA
Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1992. PTS dan Potensinya di Hari Depan: Memoir Seorang PUrek I.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nasution.M.A, P. D. (1983). Sejarah pendidikan indonesia. bandung: jemmars bandun
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sigit, Sardjono. 1992. Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Waridah, s., sukardi, j., & sunarto, p. (2003). sejarah nasional dan umum. jakarta:    PT. Bumi aksara.






KATA PENGANTAR

                Bismillahirrohmanirrohim Alhamdulillahirobbilaalamin, puji syukur kehadirat kehadirat Allah SWT , Sang Pemiliki sirkulasi Waktu, Sang Maha Tahu, Sang Maha Pemilik Segala Ilmu atas ijin – Nya memberikan waktu kepada penyusun sehingga makalah berjudul Landasan historis dan filosofis Pendidikanini dapat diselesaikan sebagai salah satu bagian tugas dari mata kuliah Landasan Pendidikan dibawah bimbingan yang penyusun banggakan yaitu bapak Dr. H. Saraka,M.pd.
Pembahasan makalah ini memasuki wilayah Landasan pendidikan yang ditinjau dari segi historis dan filosofis, diharapkan dengan memahami sejarah dan landasan filosofis pendidikan kita dapat memecahkan dan mengembangkan serta menjawab permasalahan dan tantangan dalam dunia pendidikan yang kita hadapi saat ini. Melalui tinjauan masa lalu yang menghasilkan sistem , yang sedikit banyak jika bukan seluruhnya, telah kita adopi saat ini dapat dijadikan landasan dalam rancangan pendidikan untuk masa depan tanpa meninggalkan pendidikan masa lalu. Sebagaimana dinyatakan oleh salah satu pakar pendidikan terkemuka dunia sebagai berikut:
“ masa lalu hanyalah masa lalu yang tidak lebih dari sebuah peristiwa. Jika hal itu seluruhnya telah pergi dan terjadi, maka hanya ada satu alasan yang masuk akal terhadap hal tersebut (sebagai bahan renungan) . Biarkanlah sukma terkubur bersama dengan jasadnya. Tapi ilmu pengetahuan terhadap masa lalu merupakan kunci  untuk memahami saat ini. Sejarah sesuai dengan masa lalu, tapi masa lalu tersebut ialah sejarah saat ini ”.
Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik ALLAH SWT sang Maha Pemilik Hikmah dan Kebijaksanaan. Makalah sederhana ini tentu saja masih perlu penyempurnaan, untuk itu kritik dan saran perbaikan, kami harapkan demi penyempurnaannya, sekaligus menambah wawasan bagi kita semua. Terimaksih.



                                                                                                Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG
Sebagai guru  yang memiliki kesempatan dan menekuni dunia pendidikan serta sebagai salah satu pilar penggerak dan perancang pendidikan masa depan, kita memiliki pertanyaan besar yang dihadapkan ke kita tentang pentingnya penyelidikan terhadap sejarah pendidikan. Bagaimanakah peran dan tinjauan tentang sejarah pendidikan ? atau pertanyaan klasik yang krusial, bagaimanakah sistem pendidikan yang telah dilaksanakan di masa lalu ?  begitu pula pertanyaan – pertanyaan penting tentang sejarah pendidikan seperti berikut ini :
1.      Mengapa guru seharusnya menyelidiki sejarah pendidikan ?
2.      Bagaimanakah pengelola pendidikan dan para pendidik di masa lalu mendefinisikan ; kedudukan pendidikan, ilmu pengetahuan, pendidikan, sekolah, pengajaran dan pembelajaran ?
3.      Apakah konsep – konsep dari orang terdidik yang mendominasi selama periode sejarah pendidikan barat?
4.      Bagaimankah ide – ide pendidikan telah berubah melalui perjalanan waktu ?
5.      Bagaimanakah teori – teori pendidikan dan kedudukan para pendidik di dunia barat telah berkontribusi terhadap pendidikan modern ?
Mengapa ? mungkin kita bertanya demikian , haruskah kita peduli dengan masa lalu sementara konsentrasi dan kepedulian kita saat ini adalah apa yang harus kita lakukan dikelas kita besok ?
            Ide – ide John Dewey, salah satu filsuf pendidikan terkemuka dunia, menyarankan sebuah hal yang masuk akal untuk penyelidikan dan penggunaan sejarah (pendidikan) masa lalu. Kemudian dia, dalam bukunyaDemocracy and Education, menegaskan bahwa “ masa lalu hanyalah masa lalu yang tidak lebih dari sebuah peristiwa. Jika hal itu seluruhnya telah pergi dan terjadi, maka hanya ada satu alasan yang masuk akal terhadap hal tersebut. Biarkanlah sukma terkubur bersama dengan jasadnya. Tapi ilmu pengetahuan terhadap masa lalu merupakan kunci  untuk memahami saat ini. Sejarah sesuai dengan masa lalu, tapi masa lalu tersebut ialah sejarah saat ini ”.
            Dewey menyatakan bahwa kamu adalah kamu yang sekarang karena masa lalumu. Harapan – harapan dan permasalahan – permasalahan mu adalah hasil dari sejarah masa lalumu tersebut. Pandangan Dewey kemudian tentang pengalaman manusia menyarankan bahwa sejarah pendidikan akan bernilai dengan alasan – alasan sebagai berikut :
1.      Isu – isu dan permasalahan – permasalahan pendidikan berakar pada masa lalu oleh karena itu penyelidikan terhadap sejarah pendidikan dapat membantu kita untuk memahami dan memecahkan masalah – masalah kekinian.
2.      Usaha – usaha nyata untuk menata ulang dan mereformasi pendidikan mulai dengan situasi saat ini, yang merupakan produk dari masa lalu kita; dengan menggunakan tinjauan dan telaahan masa lalu kita dapat merencang masa depan.
3.      Penyelidikan  terhadap pendidikan di masa lalu menyediakan dan menghadirkan sebuah pandangan yang menjelaskan menerangkan secara nyata akan kegiatan – kegiatan kita saat ini sebagai para guru atau pendidik.
Pencapaian terhadap penyelidikan sejarah pendidikan dari perspektif kepedulian kita terhadap  pendidikan saat ini barangkali akan membantu jika kita melihat dan belajar pada pengalaman para pendidik di masa lalu untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan yang akan kita hadapi sebagai seorang guru.

1.2.     RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
          Penyajian makalah ini memfokuskan dan membatasi pembahasan pada landasan historis dan filosofis pendidikan dari sistem pendidikan di zaman purbakala/primitif  sampai pada pengaruh pendidikan barat, yang dirincikan sebagai berikut:
1. Pendidikan pada Masyarakat Primitif.
2. Pendidikan pada Zaman Yunani Kuno.
3. Pendidikan pada Zaman Romawi Kuno.
4. Pengaruh Pembelajaran Arab (Islam) terhadap Pendidikan Barat.
5. Pendidikan dan Kebudayaan pada Zaman Pertangahan.
6. Pendidikan Humanisme Klasik Zaman Renaisance
7. Pendidikan dan Reformasi Keagamaan
8. Pengaruh Pencerahan Terhadap Dunia Pendidikan Barat


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pendidikan pada Masyarakat Primitif.
          Didalam rentang yang panjang hingga saat ini, manusia telah mengembangkan menciptakan, melanjutkan, dan mentransfer aspek kecakapan hidup dan budaya yang mereka miliki. Konsep budaya bertahan hidup inilah yang telah berlangung dari zaman prasejarah hingga saat ini, yang menjadi landasan / peletak dasar berdirinya sekolah – sekolah formal. Individu – individu/orang yang buta huruf atau tidak terpelajar menghadapi masalah – masalah dan tantangan – tantangan bertahan hidup (dalam artian luas) di lingkungan mereka yang  membenturkannya dalam menghadapi kekuatan alam, binatang, dan musuh – musuh lain manusia. Untuk bertahan hidup, sudah menjadi kodrat manusia pasti membutuhkan makanan, tempat bernaung/pemukiman, kehangatan, dan pakaian. Agar perubahan yang cepat dari lingkungan yang penuh tantangan didalam kehidupan yang berkelanjutan untuk tetap bertahan hidup maka manusia mengambangkan kecakapan hidup yang menjadi simpul – simpul dan rumusan  budaya yang dihasilkan (R.F.Butts, A Cultural History of Western Education. New York; McGraw Hill 1955,hal. vii – x , 1 – 8 )
          Agar budaya dari kelompok tertentu tetap berlangsung dan bertahan maka budaya tersebut harus di transfer dari kelompok tua dan dewasa kepada yang lebih muda atau anak – anak. Karena anak – anak belajar ;bahasa, kecakapan/keterampilan, ilmu pengetahuan, dan nilai – nilai sosial. Dapat dikatakan bahwa kegiatan mereka tersebut merupakan perwujudan nyata dari proses pewarisan konsep dan budaya serta landasan pendidikan. Pola dan rumusan awal pendidikan di zaman primitif meliputi ; 1)pembuatan alat atau instrumen, 2) adat istiadat dari kehidupan kelompok, dan .3) pembelajaran bahasa.
 Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan cakupan pendidikan pada periode zaman primitif.
Kelompok/masyarakat sejarah dan periode
Tujuan Pendidikan
Kurikulum
Agen
Pengaruh Terhadap Pendidikan Barat
Masyarakat Primitif
7.000 – 5000 sm
1.  Mengajarkan     kecakapan hidup kelompok
2.    merekatkan ikatan
kelompok
1.    Latihan keterampilan berburu, memancing dan mengumpulkan makanan
2.    Ketarampilan /Kemampuan bercerita, menyanyi, berpuisi, menari dan pengajaran mitos.
1.    Orang Tua
2.   Anggota Suku Tertua
3.   Pemuka Agama
Penekanan pada aturan – aturan pendidikan informal dalam pemahaman nilai dan keterampilan.

Dari pemaparan tersebut diatas maka dapat diasumsikan beberapa kesimpulan tentang Landasan Filosofis dan Landasan Historis Pendidikan, sebagai berikut :
a. Landasan Filosofis Pendidikan di Zaman Primitif :
Adanya kebutuhan untuk bertahan hidup dan mengajarkan kecakapan hidup sederhana untuk menghadapi dan memecahkan  masalah – masalah dan tantangan – tantangan di lingkungan yang membenturkannya dalam menghadapi kekuatan alam, binatang, dan musuh – musuh lain manusia. Untuk bertahan hidup, sudah menjadi kodrat manusia pasti membutuhkan makanan, tempat bernaung/pemukiman, kehangatan, dan pakaian.
b. Landasan Historis Pendidikan di Zaman Primitif :
   Agar sistem pendidikan dan budaya dari kelompok tertentu tetap berlangsung dan bertahan maka hal tersebut perlu di transfer dari kelompok tua dan dewasa kepada yang lebih muda atau anak – anak. Karena anak – anak belajar ;bahasa, kecakapan/keterampilan, ilmu pengetahuan, dan nilai – nilai sosial. Dapat dikatakan bahwa kegiatan mereka tersebut merupakan perwujudan nyata dari proses pewarisan konsep dan budaya serta landasan pendidikan. Pola dan rumusan awal pendidikan di zaman primitif meliputi ; 1)pembuatan alat atau instrumen, 2) adat istiadat dari kehidupan kelompok, dan .3) pembelajaran bahasa.

2.    Pendidikan Pada Masyarakat Yunani Kuno
          Ahli – ahli sejarah dan pendidikan pada masyarakat barat sering melakukan tinjauan dan penelaahan terhadap Masyarakat Yunani Kuno lalu mengambil kesimpulan bahwa budaya dan sistem pendidikan Yunani Kuno merupakan sumber dan referensi asli / dasar dari pembentukan budaya Barat. Penyelidikan pada budaya klasik Yunani menerangkan dengan jelas terhadap masalah – masalah dan tantangn – tantangan yang dihadapi oleh para pendidik dimasa kini. 
          Beberapa pertanyaan mendasar yang seyogyanya dipecahkan pada pembahasan ini seperti ; 1) Apakah model – model (pembelajaran) yang bermanfaat sehingga materi belajar dapat ditiru dan difahami oleh  anak –anak /peserta didik ? 2) Bagaimanakah (sistem) pendidikan membantu dalam membentuk tatanan masyarakat yang baik? 3) Bagaimankah pendidikan merefleksikan perubahan sosial, ekonomi, dan kondisi politik ? Bagaimanakah pendidikan melayani manusia dalam mencari kebenaran ?
Butir pembahasan pada pendidikan pada masyarakat Yunani Kuno, sebagai berikut:
a. Pendidikan Homeric
b. Pendidikan para Ahli Filsuf ; Guru – guru Pengembara
·         Socrates dan Plato ; sebagai filsuf moralitas
·         Aristotle ; yang berusaha merumuskan fenomena alam secara rasional/akal dan menjelaskannya secara sistematis.
·         Isocrates ; Sang pendidik dan ahli retorika.

Secara detail dijabarkan sebagai berikut :
a.    Pendidikan Epik Homeric
Para generasi pembaca telah bergairah dan bersemangat dalam suasana tegang ketika membaca puisi – puisi epik dan heroik dari Homer, the Illiad and Odyssey. Puisi epik karangan dan rancangan Homer ini menetapkan tujuan pendidikan melalui cerita – cerita dan puisi heroik, sehingga melalui tokoh heroik yang ditunjukkan dan diperkenalkan maka anak – anak sebagai peserta didik dapat meniru dan memahami konsep – konsep kepahlawanan, sikap ksatria. Melalui pembelajaran tentang karakter dan sifat dari para heroik tersebut anak muda Yunani akan belajar tentang ; 1) karakter, sifat, tingkah laku, ciri – ciri dan kualitas yang membuat hidup menjadi berharga. 2) tingkah laku dan karakter yang diharapkan menjadi anak muda yang ksatria. 3) kelemahan pada karakter manusia akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Masyarakat Athena lebih menekankan pada nilai – nilai pengajaran kemanusiaan, rasionalitas, dan demokrasi guna membentuk tatanan sosial dan politik nya. Sementara itu ,Sparta sebagai musuh dan rival dari Athena , lebih menekankan pada pendidikan militer dan melaksanakan pemerintahan nya dengan nuansa militer yang diktator.
            Bagi Yunani, budaya – penyerapan dan partisipasi di dalam budaya – sangat penting daripada sekolah formal. Melalui proses budaya anak muda Yunani belajar menjadi salah satu unsur masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Kebanyakan di pusat – pusat kota Yunani pendidikan formal disediakan untuk anak – anak muda pria. Di Athena contohnya para anak putri umunya belajar tentang keterampilan dalam pengelolaan rumah tangga dan menjadi ibu rumah tangga yang terampil. Sementara itu, berbeda dengan yang dilakukan di Sparta, para putri muda Sparta lebih banyak bersekolah, yang meliputi latihan – latihan atletik yang berat dan melelahkan untuk mempersiapkan mereka menjadi ibu yang sehat bagi para prajurit masa depan Sparta.
b.      Pendidikan Para Filsuf
Di pertengahan abad 50 sm, perubahan secara global akan kondisi ekonomi berakibat pada berubahnya pula tatanan sosial dan pendidikan di Yunani, khususnya di Athena. Para tuan – tuan tanah yang kaya raya dan aristokrat tidak lagi ditempatkan sebagai kelas yang tertinggi karena goncangan perekonomian yang melanda mereka. Perubahan sosial ini menghasilkan situasi dan kondisi baru bagi generasi baru pendidik yakni ahli – ahli filsuf.
Para filsuf tersebut menempati strata tertinggi ditatanan pendidik profesional yang diharapkan mampu menciptkan metode – metode pengajaran yang beragam pada kelas – kelas komersial di Athena dan Sparta sehingga menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan intelektual dan kecakapan retorika yang handal. Para filsuf tersebut juga mengklaim bahwa mereka mampu mengajarkan ilmu dan kecakapan/skill apapun yang ingin masyarakat pelajari, bahkan mereka mampu berkontribusi dalam mobilitas sosialekonomi masyarakat  yang tidak mampu dilakukan para ahli sebelumnya, meskipun, malangnya,  ternyata ada beberapa diantaranya ialah filsuf palsu atau gadungan yang menyesatkan.
Ilmu seperti pengajaran tata bahasa, logika, retorika kemudian menghasilkan ahli – ahli retorika yang hebat, kesenian yang bebas, bahkan menghasilkan ahli advokat dan legislator yang handal.
Kehadiran para filsuf ini menjadikan dunia pendidikan bagi Yunani Kuno lebih terstruktur, berikut merupakan beberapa filsuf yang dimaksud ,yakni:
1.      Protagoras ;  metodenya meliputi : 1) presenter hebat dalam berdeklamasi sehingga mampu menjadikannya figur yang baik dalam berpidato. 2) ujian berorasi skala besar pada masyrakat digunakan sebagai model / tata cara berdeklamasi atau berpidato. 3) penyelidikan mendalam terhadap retorika, tata bahasa dan logika.4) latihan orasi bagi orator – orator muda yang kemudian akan dikritisi oleh para guru pengajar. 5) orasi publik yang dilakukan oleh murid di depa umum.
2.      Socrates dan Plato ; sebagai filsuf moralitas
Filosofi Socrates ialah etika sederhana yang menyatakan bahwa seseorang mencari dan menjalani kehidupan harus menggunakan moral yang  mulia dan budi pekerti yang baik. Socrates menyelam dalam alam pemikiran untuk menemukan prinsip – prinsip semesta terhadap kebenaran, keindahan, dan ketuhanan.
Plato , yang merupakan murid dari Socrates, mencetuskan ide tentang kebenaran dan nilai – nilai sejati. Teori Plato tentang ilmu pengetahuan ialah berdasarkan teori “ Reminiscence”  yang mana individu – individu diarahkan  untuk memanggil ide – ide dan kebenaran – kebenaran yang pada saat kini masih tersembunyi didalam pikiran. Teori ini menganggap bahwa jiwa seseorang, sebelum ia lahir, telah hidup di dalam sebuah dunia ide spiritualistis, yang tidak lain adalah sumber segala kebenaran dan ilmu pengetahuan.
3.      Aristotle ; yang berusaha merumuskan fenomena alam secara rasional/akal dan menjelaskannya secara sistematis.
Murid dari Plato yakni, Aristotle meupakan guru dan pembimbing dari Raja Alexander Agung. Aristotle mendirikan “the Lyceum” yaitu sekolah filsafat Athena. Dan menulis secara luas pelajaran seperti fisika, astronomi, pertanian, ilmu hewan, logika, etika, dan metafisika. Sebagai filsuf realis, Aristotle menganggap bahwa realitas diposisikan di dalam sebuah tatanan yang objektif. Objek, tersusun dari bentuk dan zat, eksis / ada secara independen dari pengetahuan kita terhadap objektif tersebut. Manusia merupakan perwujudan dari rasionalitas, Oleh karena itu mereka memiliki kemampuan megetahui dan mengobservai hukum – hukum alam yang membangun dan menyusun mereka.
Di dalam bidang pendidikan Aristotle meletakkan landasan teori pendidikan yang menyatakan bahwa komunitas yang baik didasarkan pada penanaman pada rasionalitas. Ia memandang bahwa pendidikan ditanamkan diantara dua elemen, yakni, rasionalita seseorang secara individu dan rasionalitas masyarakat.
4.      Isocrates ; Sang pendidik dan ahli retorika.
Isocrates adalah ahli retorika Yunani yang penting didalam sejarah pendidikan Barat karena dia mengembangkan pembangunan teori pendidikan yang baik yang berdasarkan kecakapan retorika dan ilmu pengetahuan. Bagi Isocrates, pendidikan mempunyai objektifitas yang mengandung peranan penting bagi pelayanan publik karena segala hal dan kegiatan yang disusun berdasarkan  koridor ilmu pengetahuan.
 Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan cakupan pendidikan pada periode Pendidikan Masyarakat Yunani Kuno .
Kelompok/masyarakat sejarah dan periode
Tujuan Pendidikan
Kurikulum
Agen
Pengaruh Terhadap Pendidikan Barat
Masyarakat Yunani Kuno
1.600  –300 sm
1.    Untuk menanamkan identitas tanggung jawab kewarganegaraan warganya
2.     Athena; untuk mengembangkan karakter mulia tiap individu
Sparta ; untuk mengembangkan para prajurit dan pemimpin militer.
Athena ; kecakapan membaca, menulis, aritmatika, drama, musik, pendidikan fisik, sastra dan puisi.

Sparta; latihan dan lagu militer serta taktik perang.
1.    Athena ; guru privat dan sekolah, filsuf
2.   Sparta;guru dan pemimpin militer
Athena; untuk mengembangkan karakter mulia tiap individu
Dan pendidikan bebas pada tiap individu

Sparta ; konsep militer terpusat.

Dari pemaparan tersebut diatas maka dapat diasumsikan beberapa kesimpulan tentang Landasan Filosofis dan Landasan Historis Pendidikan pada Masyarakat Yunani Kuno, sebagai berikut :
a. Landasan Filosofis Pendidikan pada Masyarakat Yunani Kuno.
Bagi Yunani, budaya – penyerapan dan partisipasi di dalam budaya – sangat penting daripada sekolah formal. Melalui proses budaya anak muda Yunani belajar menjadi salah satu unsur masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Kebanyakan di pusat – pusat kota Yunani pendidikan formal disediakan untuk anak – anak muda pria. Di Athena contohnya para anak putri umunya belajar tentang keterampilan dalam pengelolaan rumah tangga dan menjadi ibu rumah tangga yang terampil. Sementara itu, berbeda dengan yang dilakukan di Sparta, para putri muda Sparta lebih banyak bersekolah, yang meliputi latihan – latihan atletik yang berat dan melelahkan untuk mempersiapkan mereka menjadi ibu yang sehat bagi para prajurit masa depan Sparta.
Para filsuf menempati strata tertinggi ditatanan pendidik profesional yang diharapkan mampu menciptkan metode – metode pengajaran yang beragam pada kelas – kelas komersial di Athena dan Sparta sehingga menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan intelektual dan kecakapan retorika yang handal. Para filsuf tersebut juga mengklaim bahwa mereka mampu mengajarkan ilmu dan kecakapan/skill apapun yang ingin masyarakat pelajari, bahkan mereka mampu berkontribusi dalam mobilitas sosialekonomi masyarakat  yang tidak mampu dilakukan para ahli sebelumnya, meskipun, malangnya,  ternyata ada beberapa diantaranya ialah filsuf palsu atau gadungan yang menyesatkan.
Ilmu seperti pengajaran tata bahasa, logika, retorika kemudian menghasilkan ahli – ahli retorika yang hebat, kesenian yang bebas, bahkan menghasilkan ahli advokat dan legislator yang handal.
b. Landasan Historis Pendidikan pada Masyarakat Yunani Kuno
Puisi epik karangan dan rancangan Homer ini menetapkan tujuan pendidikan melalui cerita – cerita dan puisi heroik, sehingga melalui tokoh heroik yang ditunjukkan dan diperkenalkan maka anak – anak sebagai peserta didik dapat meniru dan memahami konsep – konsep kepahlawanan, sikap ksatria. Melalui pembelajaran tentang karakter  dan sifat dari para heroik tersebut anak muda Yunani akan belajar tentang ; 1) karakter, sifat, tingkah laku, ciri – ciri dan kualitas yang membuat hidup menjadi berharga. 2) tingkah laku dan karakter yang diharapkan menjadi anak muda yang ksatria. 3) kelemahan pada karakter manusia akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Masyarakat Athena lebih menekankan pada nilai – nilai pengajaran kemanusiaan, rasionalitas, dan demokrasi guna membentuk tatanan sosial dan politik nya. Sementara itu ,Sparta sebagai musuh dan rival dari Athena , lebih menekankan pada pendidikan militer dan melaksanakan pemerintahan nya dengan nuansa militer yang diktator.
         
3.    PENDIDIKAN PADA MASYARAKAT ROMAWI
          Pada saat Yunani sedang mengembangkan konsep – konsep budaya dan pandidikannya di belahan timur Mediterania, di sisi lain di belahan dunia Barat  Mediterania, yakni negara Romawi sedang menggabungkan dan mengkombinasikan kedudukan politik nya di Semenanjung Italia melalui wilayah Barat Mediterania. Di dalam perjalanan dari bentuk Negara Republik yang Kecil menjadi Kerajaan yang Megah dan Besar, Orang – orang Romawi terkonsentrasi dengan peperangan dan politik.
          Setelah bangsa Romawi mampu menciptakan dan membentuk kerajaan / imperium nya, kemudian mereka memfokuskan diri pada pembenahan administrasi, hukum, dan diplomasi/politik yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan kerajaan yang telah mereka  bangun.  Jika bangsa Yunani terfokus pada filsafat, maka Bangsa Romawi justru sangat tertarik dengan pendidikan , politik praktis dan kemampuan administrasi. Pendidikan ideal bagi bangsa Romawi diberikan teladan dan contoh oleh konsep orator, yakni Isocrates. Orator Romawi merupakan orang – orang yang terdidik yang liberal dan berpandangan luas didalam kehidupan kemasyarakatan yang menjelma sebagai senator, pengacara, pegawai negeri sipil, dan politisi. Cicero dan Quintilian ialah tokoh yang sangat berpengaruh di zaman tersebut.
a.      CICERO ;  Sang Orator Ulung
          Cicero, yang merupakan senator yang berbeda dan unggul dibandingkan yang lain,  telah melakukan penyelidikan dan penelitian tentang tata bahasa, sastra, sejarah, dan retorika antara Yunani dan Latin. Dia menilai dan sangat menghargai antara kaum tua bangsa Romawi terhadap nilai – nilai praktis dan kegunaan sesuatu serta perhatian bangsa Yunani terhadap kemanusiaan dan kebudayaan bebas.
          Cicero menghasilkan sebuah karya, yaitu : “ de Oratore”mengkombinasikan konsep – konsep Romawi dan Yunani terhadap konsep manusia yang terdidik (Aubrey Gwynn, 1966). Konsep Romawi menyebutkan bahwa hasil – hasil latihan orator adalah dengan memenangkan  debat dan argumen – argumen di sebuah forum. Cicero menambahkan pandangan Yunani terhadap pendidikan retorika dengan menekankan budaya kebebasan dan universalitas atau humanitas. Cicero merekomendasikan bahwa setiap orator, sebagai manusia yang berfikir rasional, seharusnya dididik dengan seni kebebasan dan  seharusya menggunakan pendidikan yang mereka perolah untuk kepentingan masyarakat umum. Cicero juga menganjurkan pada para pendidik untuk mengajarkan unsur – unsur kebahasaan seperti tata bahasa, puisi dan sastra. Dia juga yakin bahwa untuk menghasilkan orator yang ulung dan hebat mestinya diajarkan juga pada mereka tentang seni bebas, etika, psikologi,ilmu pengetahuan militer,farmasi,ilmu alam,geograpi,astronomi,sejarah, hukum, dan filsafat, dengan penekanan pada pembelajaran sejarah. Cicero juga menekankan pendidikan moral dengan menggunakan aturan Hukum Dua Belas Tabe Klasik Romawi , yang diantaranya menyebutkan untuk menghormati orang tua, menjaga harta/tanah yang dimiliki, dan untuk melayani negara.
b.      QUINTILIAN ; Sang Guru Retorika.
Terlahir dengan nama lengkap Marcus Fabius Quintilianus (35 – 95 sm) yang bekerja sebagai asisten pengacara/ahli hukum yang merupakan landasan awalnya sebagai ahli retorika yang kemudian memberikan nya kedudukan sebagai ahli retorika latin pertama. Sebagai ahli terkemuka retorika Romawi, Quintilian mengabdi pada kerajaan Romawi. Selanjutnya, program – program pendidikan orator Quintilian ialah refleksi dari kenyataan – kenyataan yang terjadi di kerajaan / imperium Romawi, yang diatur oleh titah daripada keputusan kelompok / kesepakatan bersama yang membentuk suatu argumen retoris. Berbeda dengan Cicero yang merupakan abdi bagi senat Roma, Quintilian ialah juga sebagai seorang guru yang memimpin ranah pendidikan di zaman tersebut di Romawi.
Pada tahun 94 sm berdiri lah Quintilian’s Institute Oratoria yang memfokuskan pada teori retorika, penyelidikan tentang retorika, pendidikan retorika, kemampuan berdeklamasi dan berbicara di depan publik. Quintilian mengenalkan bahwa pembelajaran harus berdasarkan pada tingkat / taraf dari perkembangan dan tahapan pertumbuhan manusia. Adapun tingkatan yang dimaksud berdasrkan teori Quintilian ada 3 tahap yakni ;
Tahap Pertama,  ditahapan ini usia potensial untuk dilakukan pembelajaran berusia dari lahir sampai pada usia tujuh tahun. Anak diberikan kepedulian, perhatian dan dipenuhi segala kebutuhan dasarnya. Bagi orang tua dan pendidik perlu mempelajari pedagogi untuk memahami lebih mendalam tentang bakat anak juga harus secara terus menerus mengenalkan cara pengucapan yang benar dalam menggunakan bahasa dalam bebiasaan sehari - hari, termasuk menggunakan jasa pelayan / pengasuh dari Yunani, sehingga dengan mendengarkan dan memahami dari usia dini tentang cara pengucapan yang benar dan cara bertutur yang benar pula diharapkan menghasilkan anak – anak berbakat di bidang orator dan retorika di masa depan.
            Tahap Kedua, pembelajarn pada tahapan ini dimulai dari (7) usia tujuh tahun sampai dengan (14) empat belas tahun. Di tahapan ini, anak – anak belajar dari pengalaman – pengalaman yang bermanfaat, membentuk ide – ide yang jelas, dan melatih ingatan mereka. Anak – anak mampu menuliskan bahasa yang mereka gunakan dalam bertutur. Lebih lanjut para pendidik lebih menekankan pada pembelajaran menulis dan membaca. Para guru – yang kompeten – ahli membaca dan menulis dalam pengajarannya harus mengajarkan  bahasa tutur maupun tulisan dengan perlahan dan mendalam pemahamannya.
            Tahap Ketiga, pembelajaran diusia 15 tahun sampai dengan dewasa dan matang ini, Quintilian menekankan pembelajaran pada seni beraliran bebas serta tata bahasa Yunani dan Latin pada tingkat sekolah menengah atas. Termasuk sastra Yunani dan Romawi, sejarah,mitologi,musik,geometri,astronomi,dan gimnastik dipelajari juga.
            Setelah mempelajari tata bahasa dan seni bebas orator yang berpotensial lalu belajar tentang ilmu retorika, yang di aplikasikan dalam pelajaran drama, puisi,sejarah,hukum,filsafat dan retorika.
            Bagi Quintilian, kesempurnaan oratoris / retorika tergantung pada keluhuran moral dari sang orator itu sendiri (William M.Smail, Quintilian on Education.1966). untuk mempengaruhi publik pendengar atau audience orator seyogyanya harus dipercaya terlebih dahulu. Pemikiran, program dan teori – teori Quintilian secara signifikan diaplikasikan pada sistem pendidikan Barat pada sistem pembelajaran dan pengajarannya. Untuk mengantisipasi kebutuhan para pendidik modern terahdap perbedaan individual pelajar Quintilian merekomendasikan bahwa pembelajaran yang dirancang mestinya sesuai dengan kefahaman dan kemampuan dari pelajar/siswa. Dia juga merekomendasikan bahwa guru harus memotivasi para siswa serta dapar menciptakan dan mengkondisikan pembalajaran yang menarik dan attraktif.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan cakupan pendidikan pada periode Pendidikan Masyarakat Romawi .
Kelompok/masyarakat sejarah dan periode
Tujuan Pendidikan
Kurikulum
Agen
Pengaruh Terhadap Pendidikan Barat
ROMAWI
750 – 450 sm
·      Untuk mengembangkan pemahaman dan tanggung jawab kewarganegaraan dalam sistem republik yang kemudian berubah menjadi kerajaan.
·      Untuk mengembangkan kecakapan pada tatanan sistem adminstrasi dan militer.
Bacaan , tulisan,aritmatika,hhukum dua belas tabel,hukum, dan filsafat.
Sekolah umum dan sekolah khusus, guru,sekolah – sekolah retorika.
Penekanan pada kemampuan untuk menggunakan pendidikan untuk pengembangan kecakapan administrasi, berkaitan dengan pendidikan dan tanggung jawab kewarganegaraan

          Berikut ini merupakan landasan filosofis dan historis pendidikan pada zaman Romawi:
a.      Landasan Filosofis Pendidikan Zaman Romawi
         Adanya kebutuhan dalam pembenahan administrasi, hukum, dan diplomasi/politik yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan kerajaan yang telah mereka  bangun melalui pendidikan , politik praktis dan kemampuan administrasi yang diaplikasikan melalui pembelajaran retorika, oratoris yang kemudian di kembangkan oleh Cicero dan Quintilian di bawah kendali imperium.
b.      Landasan Historis Pendidikan Zaman Romawi
         Jika bangsa Yunani terfokus pada filsafat, maka Bangsa Romawi justru sangat tertarik dengan pendidikan , politik praktis dan kemampuan administrasi. Pendidikan ideal bagi bangsa Romawi diberikan teladan dan contoh oleh konsep orator, yakni Isocrates. Orator Romawi merupakan orang – orang yang terdidik yang liberal dan berpandangan luas didalam kehidupan kemasyarakatan yang menjelma sebagai senator, pengacara, pegawai negeri sipil, dan politisi. Cicero dan Quintilian ialah tokoh yang sangat berpengaruh di zaman tersebut.
         Cicero menghasilkan sebuah karya, yaitu : “ de Oratore”mengkombinasikan konsep – konsep Romawi dan Yunani terhadap konsep manusia yang terdidik (Aubrey Gwynn, 1966). Konsep Romawi menyebutkan bahwa hasil – hasil latihan orator adalah dengan memenangkan  debat dan argumen – argumen di sebuah forum. Cicero menambahkan pandangan Yunani terhadap pendidikan retorika dengan menekankan budaya kebebasan dan universalitas atau humanitas. Cicero merekomendasikan bahwa setiap orator, sebagai manusia yang berfikir rasional, seharusnya dididik dengan seni kebebasan dan  seharusya menggunakan pendidikan yang mereka perolah untuk kepentingan masyarakat umum. Cicero juga menganjurkan pada para pendidik untuk mengajarkan unsur – unsur kebahasaan seperti tata bahasa, puisi dan sastra.
Sedangkan Quintilian Pada tahun 94 sm berdiri lahQuintilian’s Institute Oratoria yang memfokuskan pada teori retorika, penyelidikan tentang retorika, pendidikan retorika, kemampuan berdeklamasi dan berbicara di depan publik. Quintilian mengenalkan bahwa pembelajaran harus berdasarkan pada tingkat / taraf dari perkembangan dan tahapan pertumbuhan manusia. Adapun tingkatan yang dimaksud berdasrkan teori Quintilian ada 3 tahap yakni ;
Tahap Pertama,  ditahapan ini usia potensial untuk dilakukan pembelajaran berusia dari lahir sampai pada usia tujuh tahun. Anak diberikan kepedulian, perhatian dan dipenuhi segala kebutuhan dasarnya. Termasuk menggunakan jasa pelayan / pengasuh dari Yunani, sehingga dengan mendengarkan dan memahami dari usia dini tentang cara pengucapan yang benar dan cara bertutur yang benar pula diharapkan menghasilkan anak – anak berbakat di bidang orator dan retorika di masa depan.
Tahap Kedua, pembelajarn pada tahapan ini dimulai dari (7) usia tujuh tahun sampai dengan (14) empat belas tahun. Di tahapan ini, anak – anak belajar dari pengalaman – pengalaman yang bermanfaat, membentuk ide – ide yang jelas, dan melatih ingatan mereka. Anak – anak mampu menuliskan bahasa yang mereka gunakan dalam bertutur.
Tahap Ketiga, pembelajaran diusia 15 tahun sampai dengan dewasa dan matang ini, Quintilian menekankan pembelajaran pada seni beraliran bebas serta tata bahasa Yunani dan Latin pada tingkat sekolah menengah atas. Termasuk sastra Yunani dan Romawi, sejarah,mitologi,musik,geometri,astronomi,dan gimnastik dipelajari juga. Setelah mempelajari tata bahasa dan seni bebas orator yang berpotensial lalu belajar tentang ilmu retorika, yang di aplikasikan dalam pelajaran drama, puisi,sejarah,hukum,filsafat dan retorika.



4.    PENGARUH PEMBALAJARAN ISLAMIS ARAB PADA PENDIDIKAN BARAT
          Pada abad ke 10 dan 12, Sistem pembalajaran Arab memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan pendidikan barat (western). Terutama sekali pada evolusi dari sistem sekolah abad pertengahan ( dibawah pemikiran filosofis pembelajaran menengah dan tinggi). Dari adanya persentuhan dengan pelajar – pelajar dan sarjana – sarjana dari Arab di Utara Afrika dan Spanyol, pendidik dari Barat belajar cara dan pemikiran baru tentang matematika, ilmu pengetahuan alam, farmasi, dan filsafat.
          Ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan yang lainnya dari Arab berakar dari refolusi keagamaan yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW yang telah mengenalkan Agama Islam. Yang kemudian disebarkan oleh pengikutnya melalui Afrika Utara dan Spanyol dan wilayah – wilayah lainnya. Beberapa kontribusinya antara lain : 1) pengembangan dalam ilmu pengetahuan matematika, 2) Penerjemahan literatur Yunani kedalam bahasa Arab.

5.    BUDAYA DAN PENDIDIKAN PADA ABAD PERTENGAHAN
     Tahun – tahun antara kejatuhan Roma dan bangkitnya era Renaissance telah ditandai oleh ahli – ahli sejarah sebagai abad pertengahan atau periode pertengahan. Era dari budaya dan pendidikan Barat ini mulai dari akhir periode klasik dari Yunani Kuno dan Romawi dan berakhir pada awal era modern.
     Periode pertengahan pertama – tama dicirikan dengan sebuah penolakan terhadap pembelajaran dan kemudian suatu kebangkitan kembali dari pendidik – pendidik sistem sekolah. Dengan tidak adanya kekuatan; kewenangan politik berpusat; tatanan kehidupan , , sosial kemasyarakatan, dan pendidikan telah dibawa dan diarahkan pada suatu tiruan dan penyatuan oleh gereja Katolik Latin dibawah pimpinan Paus di Roma.
     Selama periode ini, tradisi pembelajaran pada tingkat dasar diadakan oleh pendeta / jemaah gereja, koor nyayian gereja, sekolah – sekolah biara, di bawah arahan gereja pembantu/wilayah. Sedangkan pada tingkat menengah diadakan oleh, antara sekolah – sekolah biara dan sekolah katedral yang menawarkan sebuah kurikulum umum. Sekolah yang menyediakan pendidikan dasar juga sama baiknya dalam melakukan pelatihan  yang dilakukan oleh ahli serikat gereja dan juga pedagang. Para ksatria / prajurit menerima pelatihan mereka didalam taktik militer dan kode kesatriaan dan kesopanan di istana.Pada periode pertengahan ini dikenal pula tokoh pendidik yakni ; Aquinas.
     Aquinas : Pendidikan Sistem Skolastik
Pada abad ke 12 ini, pendidik pertengahan telah mengembangkan sistem skolastik, yakni suatu metode penyelidikan/inquiri, ilmu pengetahuan,  dan pengajaran.
     Para praktisi dan pelaku pendidikan pada sekolah dalam hal ini yang merupakan pengajar ialah para kaum pendeta dipanggil dan dipercaya dalam keagamaan dan dan menjadi alasan sebagai sumber pelengkap akan kebenaran. Mereka menerima kitab Injil dan tulisan – tulisan dari pendeta – pendeta / Bapa gereja sebagai sumber dari kata dan pernyataan Tuhan dan alasan sebagai manusia yang dipercaya. Ahli skolastik percaya bahwa pemikiran dan otak manusia dapat mengambil kesimpulan terhadap pelajaran jika memiliki sandaran dan sumber dari kitab suci mereka. Ketika ahli skolastik tersebut menemukan pekerjaan yang telah dilakukan oleh Aristotle dan dan filsuf Yunani lainnya yang mengadopsi sistem dan pembelajaran Arab, mereka akhirnya menemui permasalahan dan tantangan terhadap perdamaian dari tinjauan filsafat dan prinsip – prinsip keagamaan.
     Saint Thomas Aquinas, seorang ahli teologi Dominika, berkonsentrasi pada ajaran bahwa perlu mengkombinasikan dan mengupayakan penyatuan secara damai antara kepercayaan yang bersumber pada kitab Injil  dan prinsip – prinsip rasionalitas dari Yunani yang diwakili oleh ajaran Aristotle, dalam memahami hubungan antara tuhan dan manusia juga termasuk prinsip – prinsip ketuhanan agama kristen.
       Di dalam karyanya yang berjudul De Magistro atau Tentang Guru, Aquinas mendiskusikan dan menyebutkan pekerjaan guru salah satunya ialah mengombinasikan agama, cinta – kasih sayang, dan pembelajaran (John W.Donohu, St.Thoma Aquinas and Education.1968). Aquinas juga mengenalkan tentang pendidikan informal dan pendidikan formal. Menurut dia pendidikan informal harus menghubungkan penuh hati – hati dengan disiplin dari sekolah formal.
     Pendidikan informal meliputi semua agen dan pelaksana yang mungkin terlibat dengan siswa seperti keluarga, teman, dan lingkungan, yang dapat mengembangkan dan meningkatkan keunggulan dan kebajikan individu/siswa. Sementara itu, sekolah, sebagai pelaksana pendidikan formal melakukan proses pembelajaran melalui pembelajaran formal. Ia menyatakan bahwa guru harus memilih dan menseleksi bahasa yang efektif yang digunakan untuk menyampaikan pelajaran kepada siswa. Di dalam hal kurikulum Aquinas mengikuti tradisi seni bebas/liberal yang muatan kurikulum nya yaitu : Logika, Matematika, Filsafat alam dan moral, metafisika, dan teologi yang disusun bagi perguruan dan sekolah yang lebih tinggi.
     Para ahli skolastik dan Aquinas telah mendefinisikan ide – ide tentang makna pendidikan, ilmu pengetahuan alam, dan tujuan sekolah. Bagi ahli skolastik, ilmu pengetahuan bersumber dari dua hal sebagai pelengkap dan pendukung yang menguntungkan yakni : kepercayaan (keagamaan)  dan akal. Oleh karena itu maka sistem pendidikan yang disusun berdasarkan ajaran agama (kristen) yang bersumber dari kitab Injil dan diaplikasikan oleh unsur – unsur gereja. Dan sebagai tambahan bahwa akibat dari adanya peperangan salib maka terjadi persentuhan dalam bidang pendidikan dan kemudian sistem tersebut diadopsi yang berasal dari Sistem sekolah Arab dan Yunani Byzantine yang memiliki para  pakar pendidik seperti Aristotle, Euclid, Ptolemy, Galen, dan Hippokrates. Beberepa universitas yang berdiri antara abad 12  dan 15 masehi yakni ; Universitas Padua dan Universitas Naples di Italia, Universitas Montpellier, Orleans, dan Toulouse di Perancis, Universitas Oxford, Cambridge di Inggris, Universitas Erfurt, Heidelberg, dan Cologne di Jerman, Universitas St.Andrew dan Aberdeen di Skotlandia, Eropa. Dll.

6.    Pendidikan Humanisme Klasik Era Renaissance.
            Renaissance yang terjadi pada abad ke 14 masehi dan puncaknya pada abad ke 15 menjadi saksi terhadap ketertarikan manusia terhadap aspek – aspek ke manusiaan Yunani dan Latin. Zaman ini juga merupakan periode transisi antara era pertangahan dan era modern. Praktisi pendidikan yang beraliran humanis klasik Renaisance memiliki kesamaan dengan model skolastik abad pertengahan, menemukan para pendahulu dari ahli – ahli pendidikan mereka di masa lalu dan menekankan pada naskah – naskah klasik sebagai tolok ukur dan sumber sistem pendidikan mereka (artinya bahwa mereka mengadopsi dan memperbaharui sistem pendidikan dari Yunani, Latin bahkan Romawi) . Mekipun begitu, tidak seperti para ahli skolastik, pendidik beraliran humanis lebih tertarik dengan pengalaman – pengalaman kebumian manusia daripada pandangan bahwa Tuhan sebagai pusat dunia satu - satunya. Ahli yang ada pada periode ini seperti Dante, Petrarch, dan Boccaccio.
            Pengaruh dari Renaisance nampak sangat di Itali yang memfokuskan pembangunan dan pendidikan mereka pada bidang seni, sastra dan arsitektur, yang lalu memproklamirkan bahwa mereka adalah “penjaga ilmu pengetahuan”.
            Di sisi lain, pendidikan humanis klasik menantang model skolastik / sekolahan yang lebih dahulu ada. Pihak istana yang merupakan didikan logika skolastik tidak lagi menjadi model orang yang berpendidikan. Berikut ini salah satu pakar pendidik di era Renaissance:
            Erasmus :   Sang Pelopor Reformasi yang Kritis
            Dia yang lahir di Rotterdam , Belanda tahun 1465 – 1536 masehi merupakan pelopor sistem pendidikan sekolah klasik ala  Renaissance. Kritisinya tentang pembelajaran klasikal bahasa ialah dia menasehatkan bahwa guru seharusnya menghubungkan dengan baik antara pembelajaran bahasa dengan arkeologi, astronomi, etimologi, sejarah, dan kitab Injil. Alasannya ialah bahwa pada wilayah ini berkaitan dengan penyelidikan literature klasik.
          Berkenaan dengan pentingnya masa kanak – kanak, Erasmus merekomendasikan bahwa pendidikan bagi anak – anak  harus dimulai secepat dan sedini mungkin. Orang Tua memiliki tanggung jawab sangat vital bagi pendidikan anak – anak mereka. Anak seharusnya menerima pembelajaran denga cara – cara yang baik dan (seperti) mendengarkan cerita – cerita yang bermanfaat terhadap perkembangan kepribadian mereka. Erasmus yakin bahwa memahami makna dan isi lebih penting daripada penguasaan gaya dan tata bahasa. Siswa seharusnya mengerti makna melalui ; percakapan dari bahasa yang akan membuat pembelajaran menjadi menarik, permainan dan adu pertunjukkan juga dianjurkan.
            Erasmus sangat peduli dengan isi dan tidak hanya gaya yang tampak terihat dengan jelas pada metode pengajarannya. Bagi pengajar bahasa dia merekomendasikan, guru semestinya ; 1) mempresentasikan biografi pengarang, 2) menguji jenis – jenis tema dari pelajaran yang diterima siswa, 3) mendiskusikan alur dasar (cerita), 4) menganalisa gaya penulis, 5) memperhatikan pelajaran moral dari pelajaran yan dipelajari, 6) menjelaskan isu – isu filosofis yang timbul dari pelajaran yang dipelajari.
           
7.    Reformasi Keagamaan dan Pendidikan
            Reformasi keagamaan pada ke 15 dan 17 berhubungan dengan kritisi dari lembaga kaum humanis dari utara Eropa. Kebangkitan dari  kelas ekonomi / srata menengah dan bersamaan dengan kebangkitan kebangsaan nasional merupakan faktor yang juga sangat penting. Meskipun begitu, bagaimanapun juga, para pelaku reformasi keagamaan dalam hal ini agama Protestan seperti ; John Calvin, Martin Luther, Philip Melanchthon, dan Ulrich Zwingli mencari kebebasan bagi dirinya sendiri dan pengikutnya dari kekuasaan Paus dan merekonstruksi doktrin dan bentuk keagamaan yang mereka yakini.para pereformasi ini dikenal dengan aliran humanisme klasik yang mencari cara untuk mengembangkan lembaga dan landasan filosofis pendidikan yang akan mendukung ketercapaian reformasi keagamaan mereka secara total.
            Pereformasi Protestan ini secara signifikan membentuk / membingkai pengembangan filosofis dan lembaga pendidikan pada masa tersebut. Banyaknya bermunculan sekte – sekte keagamaan mampu mengembangkan toeri – teori pendidikan mereka sendiri, mendirikan sekolah – sekolah mereka, menyusun kurikulumnya, dan mencari jalan untuk meyakinkan anak – anak mereka terhadap kebenaran ajaran dari reformasi keagamaan (Kristen Protestan ) yang mereka yakini dan diajarkan kepada mereka.
            Pengaruh kuat secara umum dari Reformasi Protestan terhadap pendidikan adalah sebuah dorongan terhadap tingkatan kesustraan yang lebih luas diantara segenap masyarakat. Kebanyakan dari pereformasi tersebut memaksakan bahwa orang – orang yang beriman / percaya harus membacakan  kItab Injil dalam bahasa ibu (daerah)  mereka.
            Komitmen untuk mempertahankan kepercayaan juga memiliki peranan penting dengan menggunakan metode yang mudah diingat dan menarik dari pembelajaran keagamaan seperti penggunaan sebuah buku yang merangkum prinsip – prinsip keagamaan Kristen yang diinterpretasikan dengan satuan – satuan yang beragam kedalam bentuk pertanyaan  dan jawaban yang sistematis. Metode ini diyakini bahwa sebagai suatu hasil dari metode yang menarik dan mudah maka dalam hal menghafal / mengingat pelajaran siswa dapat menyerap prinsip – prinsip keagamaan yang mereka yakini. Sekolah – sekolah Vernakular (lembaga pendidikan dasar yang menawarkan kurikulum ; membaca (reading), menulis (writing), aritmatika, dan agama) digunakan untuk menciptakan kelas – kelas dasar dari sastra, pembelajaran bahasa yang merupakan alat komunikasi dari komunitas tersebut.
          Sekolah Vernakular (sekolah di daerah yang mengajarkan bahasa daerah)  di Inggris, contohnya, menggunakan bahasa Inggris dalam pengajaran bahasanya, juga bermacam – macam jenis sekolah menengah yang dipertahankan untuk mendidik kelas yang lebih tinggi di Latin dan Yunani. Pembelajaran gimnastium di Jerman, tata bahasa Latin di Inggris, dll. Adalah contoh perguruan tinggi yang mempersiapkan dan melatih siswanya untuk menjadi pemimpin – pemimpin elit.
          Meskipun ada banyak sekali para pelopor reformasi Protestan dan pereformasi yang bertentangan Katolik Roma, perhatian khusus diberikan kepada Martin Luther, Sang Pendukung Reformasi, atas ide – idenya dalam bidang pendidikan dan reformasi keagamaan dan dalam membentuk tatanan budaya Barat. Pada tahun 1517 Lutrher memakukan suratnya yang terkenal “ ninety – five theses” ke pintu benteng gereja di Wittenberg. Sejak saat itu Luther terlibat dalam rangkaian tindakan dan gerakan untuk menentang pihak gereja Katolik Roma dan juga Paus yang berkenaan dengan perihal kemanjaan, kewenangan Paus , dan kebebasan untuk bersuara sesuai hati nurani.
          Luther yang merupakan seorang professor pada sebuah universitas, mengenalkan bahwa reformasi pendidikan ialah sebuah kekuatan gabungan dari reformasi keagamaan. Pihak gereja, negara, keluarga, dan sekolah adalah agen dari reformasi.
          Keluarga merupakan agen penting dalam membentuk karakter anak – anak dengan memahamkan nilai – nilai kekristenan. Dia menganjurkan skala prioritas bagi orang tua untuk mengajarkan membaca dan nilai – nilai agama pada anak – anak mereka. Setiap kelurga keluarga seharusnya berdoa bersama – sama, membaca kitab Injil, mempelberjari katekismus dan melatih kemampuan berwirausaha. Luther percaya dan berpendapat bahwa pejabat publik sebagai pemangku kebijakan harus disadarkan terhadap tanggung jawab pendidikan mereka bagi masyarakat.  Surat yang berjudul “ Letter to the Mayors and Aldermen of All Cities of Germany in Behalf of Cristian School”  –  surat untuk para walikota dan anggota dewan (penyusun undang – undang) di seluruh kota di Jerman untuk kepentingan Sekolah – sekolah Kristiani –  menekankan muatan pengajaran / muatan kurikulum nya pada ; nilai – nilai spiritual, materi, dan manfaat – manfaat politik yang berasal dari  sekolah. Sekolah yang merupakan tempat untuk menghasilkan masyarakat yang terpalajar dan sebagai anggota gereja. Mereka akan mempersiapkan menteri – menteri terlatih yang akan memimpin kaum mereka dalam reformasi keagamaan kristianinya. Pandangan Luther tentang sosial, keagamaan, dan kedudukan pendidikan bagi perempuan secara substansial tidak berbeda dengan pandangan dari abad pertengahan. Dia meyakini bahwa seorang suami sebagai pemimpin rumah memiliki otoritas penuh terhadap istrinya.
          Didalam penerapan reformasi pendidikannya, Luther dibantu oleh Philip Melanchton. Keduanya menginginkan untuk mengakhiri tindakan monopoli dari gereja  Katolik Roma melalui pendidikan dan sekolah – sekolah formal. Mereka mengharapkan negara untuk mengawasi sekolah – sekolah dan melisensi guru. Pada tahun 1559 m Melancthon membuat draf undang – undang dan peraturan – peraturan sekolah Wurtemberg yang kemudian menjadi model bagi negara Jerman. Sekolah – sekolah daerah didirikan disetiap desa untuk mengajarkan agama, membaca, menulis, aritmatika dan musik. Pada sekolah menengah di ajarkan gimnastium dan pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan bahasa secara klasikal. Sementara itu dalam hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam mereka menggunakan sandaran pada kitab Injil.
8.    Pengaruh Pencerahan terhadap Pendidikan Barat
          Para filsuf, ilmuwan, dan sarjana dari era Pencerahan dengan jelas meyaikini bahwa adalah hal yang mungkin bagi manusia untuk mengembangkan kehidupan mereka, lembaga – lembaga mereka, dan keadaan mereka dengan menggunakan akal mereka dalam memecahkan segala persoalan. Misalnya, penggunaan metode ilmiah, para ilmuwan merumuskan tentang aturan – aturan / hukum alam.
          Ahli – ahli terpelajar yang ada di era ini seperti Diderot, Rousseau, Franklin, dan Jefferson yang komitmen terhadap pandangan bahwa manusia sedang maju dan menyongsong kearah sebuah dunia baru yang lebih baik. Jika manusia mengikuti alasan dan menggunakan metoda ilmiah, hal ini akan memungkinkan untuk melanjutkan kemajuan – kemajuan diplanet ini. Lebih khusus dalam pendidikan pada kurikulum sekolah mereka menekankan pada individualisme, persamaan derajat/penyetaraan, tanggung jawab kewarganegaraan, dan pemikiran intelektualitas.

BAB III
PENUTUP
3.1    Kesimpulan
Kita telah menguji pertanyaan – pertanyaan sesuai konteks sejarah (pendidikan) yang berkenaan dengan pembelajaran dan pengajaran yang alamiah yang dirumuskan pada awal makalah ini. Apakah pengetahuan? Apa yang dimaksud dengan pendidikan? Apakah yang dimaksud dengan sekolah ? siapa yang seharusnya hadir di sekolah? Bagaimanakah pengajaran dan pembelajaran seharusnya ditangani?
Dengan jelas, beberapa jawaban yang diberikan oleh para pakar pendidik dimasa lalu telah mempengaruhi kita di masa kini.  Meskipun tanggapan dari jawaban tersebut diterjemahkan dengan tidak lengkap dan bersifat ambigu.
Asal dari pendidikan Amerika yang telah ditemukan oleh pengalaman pendidik di Eropa. Meskipun hubungan antara pendidikan pada masyarakat primitif dan masyarakat Amerika sangatlah berbeda tipis. Sekolah, yang telah melalui abad dari sejarah manusia, telah melibatkan tingkatan dan derajat perpindahan dari warisan budaya dari generasi ke generasi berikutnya. Corak dan ciri ini telah ditemukan pada pendidikan primitif dan modern. Pada Yunani kuno, konsep manusia terpelajar/terdidik, penyelidikan dengan landasan rasionalitas, dan kebebasan berpikir yang telah dicetuskan oleh Socrates, Plato, dan Aristotle.
Ide – ide pendidikan retorika telah dikembangkan oleh ahli – ahli filsafat yang disarikan oleh Isocrates, Cicero dan Quintilian.
Sementara itu selama periode  abad pertengahan peletak dasar dari universitas – universitas modern dibentuk / didirikan di Bologna dan Paris. Pendidikan pertengahan dipengaruhi oleh suatu tingkatan matematika dan kontribusi ilmu pengetahuan yang telah memasuki dunia Barat dari sebuah jalan dari Arab. Konsep manusia terdidik yang liberal dikembangkan oleh ahli pendidik humanis klasik era Renaissance. Dengan penekanan terhadap melek hurufnya dan pendidikan ala sekolah (pendidikan) daerah/vernakular, pereformasi protestan memiliki pengaruh langsung terhadap sekolah yang telah dibentuk di kolonial Amerika. Ide – ide pencerahan khususnya berpengaruh di Amerika setelah perang revolusioner, tapi mereka meneruskan untuk mempengaruhi pendidikan khususnya Amerika hingga saat ini.


DAFTAR PUSTAKA

Ornstein,c.Allan and Levine, U.Daniel. An Introduction to the Foundations of Education; third edition. Houghton Mifflin Company, Boston, New Jersey. 1884. United Stated of America.

Landasan Historis Pendidikan di Indonesia
LANDASAN HISTORIS
PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus, pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo, 2008: 3, 11).
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan afeksi, seperti sikap suka belajar, tahu cara belajar, rasa percaya diri, mencintai prestasi tinggi, punya etos kerja, kreatif dan produktif, serta puas akan sukses yang akan dicapai (Pidarta, 2007: viii)
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka secara formal dimulai sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan kelanjutan dari cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau yang tersurat atau tersirat masih menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan ini (Mudyaharjo, 2008: 214)
Dalam proses pertumbuhan menjadi negara maju, Indonesia telah mengalami pelbagai perubahan, termasuk bidang pendidikannya. Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar karena perubahan selalu dipengaruhi oleh berbagai factor yang bisa berganti selaras dengan perkembangan serta tuntutan zaman pada saat itu. Tidaklah mengherankan apabila system pendidikan yang kita anut segera setelah merdeka adlah sistem kontinental karena kontak kita pada saat itu adlah dengan negara-negara Eropa, khususnya negeri Belanda (Dardjowidjojo, 1991: ix)
Pengambilalihan sistem kontinental itu tentu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa sistem tersebut belum tentu cocok dan langgeng dengan perkembangan pendidikan yang kita kehendaki.
Setelah kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental sekitar lima windu, kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak cocok lagi dengan tuntutan perkembangan zaman (Dardjowodjojo, 1992: 1).
Proses pendewasaan pun berlanjut, dan pengalaman telah banyak mengajarkan kepada kita untuk memetik mana yang baik dan mana yang buruk. Keadaan politik nasional dan internasional, perekonomian dunia, hubungan antar bangsa, dan peran yang dimainkan bangsa Indonesia pun bergeser dan berubah, yang sedikit banyak mendorong kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi:
A. Apa yang menjadi landasan historis Pendidikan Nasional Indonesia?
B. Apa implikasi konsep pendidikan yang bersumber dari landasan historis ini?
II. LANDASAN HISTORIS KEPENDIDIKAN DI INDONESIA
Sejarah atau history keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).
Informasi-informasi di atas merupakan warisan generasi terdahulu kepada generasi muda yang tidak ternilai harganya. Generasi muda dapat belajar dari informasi-informasi ini terutama tentang kejadian-kejadian masa lampau dan memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan diri mereka. Sejarah telah memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka dan semuanya ini diharapkan akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa yang akan datang.
Misalnya, Indonesia dan negara-negara lainnya pada tahap awal perkembangan ekonomi mereka telah mengembangkan sistem pendidikan yang baik dan berdasarkan kebudayaan tradisional. Pada masa kolonial, sistem pendidikan berkembang dengan berdasar pada sistem pendidikan sebelumnya ini. Pada masa modern seperti sekarang, sistem pendidikan yang berlaku juga berdasarkan pengembangan dari sistem pendidikan kolonial (Williams, 1977: 17).
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan retrospektif (Buchori, 1995: vii). Pandangan ini melahirkan studi-studi historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi pada periode tertentu di masa yang lampau.
Perjalanan sejarah pendidikan di tanah air yang sangat panjang, bahkan semenjak jauh sebelum kita menacapai kemerdekaan pada tahun 1945, baik sebagai aktivitas intelektualisasi dan budaya maupun sebagai alat perjuangan politik untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme, telah diwarnai oleh bermacam-macam corak (Sigit, 1992: xi) . Menjelang 64 tahun Indonesia merdeka, dengan system politik sebagai penjabaran demokrasi Pancasila di Era Reformasi ini yang telah mewujudkan pola Pendidikan Nasional seperti sekarang, kita mulai dapat melihat dengan ke arah mana partisipasi masyarakat dalam ikut serta menyelenggarakan pendidikan itu. Semua corak tersebut memiliki pandangan atau dasar pemikiran yang hampir sama tentang pendidikan; pendidikan diarahkan pada optimasi upaya pendidikan sebagai bagian integral dari proses pembangunan bangsa.
Di samping itu, pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkam generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan dijadikan sebagai institusi utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang diharapkan suatu bangsa. Apalagi kini semakin dirasakan bahwa SDM Indonesia masih lemah dalam hal daya saing (kemampuan kompetisi) dan daya sanding (kemampuan kerja sama) dengan bangsa lain di dunia (Anzizhan, 2004: 1).
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.
Berikut ini adalah pembahasan landasan sejarah kependidikan di Indonesia yang meliputi:
A. SEJARAH PENDIDIKAN DUNIA
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai dari zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an). Namun pendidikan pada zaman ini belum memberikan kontribusinya pada pendidikan zaman sekarang (Pidarta, 2007: 110). Oleh karena itu, pendidikan pada zaman ini tidak dijabarkan dalam makalah ini.
Makalah ini membahas sejaran pendidikan dunia yang meliputi zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4) Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme, serta (7) Sosialisme.
1. Zaman Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis (PIdarta, 2007: 111-14). Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan pada zaman ini meliputi:
Ø Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran,
Ø Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri,
Ø Penanaman pengertian lebih penting daripada hafalan,
Ø Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak,
Ø Pelajaran harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
Ø Pengetahuan diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan) dan anak-anak harus belajar dari realita alam,
Ø Pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar (ibid.: 111-14).
2. Zaman Rasionalisme
Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (ibid.: 114-15).
3. Zaman Naturalisme
Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga pendidikan dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16). Naturalisme menyatakn bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
4. Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan Stanley Hall.
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
Ø Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
Ø Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang melalui observasi dan eksperimen (Mudyahardjo, 2008: 114)
Ø Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang disertai asuhan yang baik (nurture).
Ø Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan pengembangan pendidikan universal (Mudyaharjo, 2008: 114).
5. Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
Ø Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
Ø Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
Ø Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I (Pidarta, 2007: 120-21).
6. Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme. Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme adalah August Comte (ibid.: 121).
7. Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey.
Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-24).
B. SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (ibid.: 125). Mudyahardjo (2008) dan Nasution (2008) menguraikan masing-masing zaman tersebut secara lebih terperinci.
Berikut ini adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah pendidikan Indonesia:
1. Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5. Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaituBhinneka Tunggal Ika , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut (Mudyahardja, 2008: 215)
Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan kehidupan bergama Hindu dan Budha (ibid.: 217)
2. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan (ibid.: 221). Pendidikan Islam pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. (ibid.: 223)
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).
3. Zaman Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold), bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution, 2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki tujuan yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan (Mudyahardjo, 2008: 243). Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah, memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan yang seragam: sama di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds Oost Indische Compagnie)atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602 (Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial. Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman Kolonial Belanda
VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah di tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan Belanda (ibid.: 3).
Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atauEnlightement, yang mana mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social, banyak mempengaruhi mereka (ibid.: 8).
Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat Indonesia (ibid.: 10-13).
Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudulHutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan, perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.: 16). Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda. Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lainnya (ibid.: 17).
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda, telah menimbulkan elite intelektual baru.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa merdeka (Pidarta, 2008: 125-33).
5. Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945 cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan kepada dunia.
6. Zaman Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga tidak dapat bersekolah.
7. Zaman ‘Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai bidang, baik spiritual maupun material.
Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara.
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan makmur, lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).
8. Zaman ‘Orde Baru’
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga, sekolah dan masyarakat(Ibid.: 422, 433). Pendidikan pada masa memungkinkan adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak hanya di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan (ibid.: 434).
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pasar (Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39) mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4) kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2) persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).
9. Zaman ‘Reformasi’
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total Quality Management).
III. IMPLIKASI SEJARAH TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA.
Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu (Nasution, 2008: v).
Pembahasan tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi konsep-konsep pendidikan sebagai berikut:
A. Tujuan Pendidikan
Pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai macam potensi peserta didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk mengembangkan aspek keagamaan, kemanusiaan, kemanusiaan, serta kemandirian peserta didik. Di samping itu, tujuan pendidikan harus diarahkan kepada hal-hal yang praktis dan memiliki nilai guna yang tinggi yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
B. Proses Pendidikan
Proses pendidikan terutama proses belajar-mengajar dan materi pelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian dan kerjasama siswa dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan teknologi.
C. Kebudayaan Nasional
Pendidikan harus juga memajukan kebudayaan nasional. Emil Salim dalam Pidarta (2008: 149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak ditelan oleh budaya global.
D. Inovasi-inovasi Pendidikan
Inovasi-inovasi harus bersumber dari hasil-hasil penelitian pendidikan di Indonesia, bukan sekedar konsep-konsep dari dunia Barat sehingga diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yang bercirikan Indonesia.
IV. PENUTUP
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Mereka sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya, tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu, pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia.
Hal ini dikarenakan pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan memajukan diri, agar tidak ketinggalan jaman, dan selalu berusaha menyongsong zaman yang akan datang atau untuk dapat hidup dan bekerja senafas dengan semangat perubahan zaman.
Akhir kata, pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi pengawal , perantara, dan pemelihara peradaban. Dengan demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya dan bukan merupakan “harta karun” yang tersia-siakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anzizhan, Syafaruddin. 2004. Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1991. Pedoman Pendidikan Tinggi. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1992. PTS dan Potensinya di Hari Depan: Memoir Seorang PUrek I. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sigit, Sardjono. 1992. Peranan dan Partisipasi Perguruan Swasta di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Wiiliams, Gareth. 1977. Towards Lifelong Education: A New Role for Higher Education Institutions. Paris: UNESCO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar