LANDASAN
HISTORIS PENDIDIKAN
Deka
Zuhana, Irma Dessy Arianie, Mailinda dan Ria Arini
Kata sejarah dari
bahasa Inggris “HISTORY” yang sebenarnya kata HISTORY itu sendiri berasal dari
bahasa Yunani ISTORIA yang berarti orang pandai. Sejarah/historis adalah suatu
keadaan atau kejadian pada masa lampau dimana adanya peristiwa yang menjadi
sebuah acuan untuk mengembangkan suatu kegiatan atau kebijakan pada saat ini.
Mempelajari sejarah sangatlah penting karena dengan mempelajari sejarah manusia
memperoleh banyak informasi dan manfaat sehingga menjadi lebih arif dan
bijaksana dalam menentukan sebuah kebijakan.Sejarah adalah keadaan
masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh
konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang
mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk
dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).
Sedangkan pendidikan
adalah sebuah proses yang arif dan terencana dan berkesinambungan guna
mendorong atau memotivasi peserta didik dalam mengembangkan potensi
anak. Pendidikan juga sebagai usaha sadar yang sistematis selalu bertolak
dari sejumlah landasan.dalam hal ini landasan histori pendidikan di
indonesia akan memberikan arah atau kebijakan terhadap pembentukan
manusia di indonesia.
Seorang ahli
pendidikan sebelum menangani pendidikan maka terlebih dahulu mereka
memeriksa sejarah tentang pendidikan baik yang bersifat nasional maupun
internasional (Pidharta 2009 : 110). Dengan melihat sebuah sejarah maka mereka
bisa melihat tujuan dari pendidikan tersebut apakah sudah cocok dengan kondisi
pada saat ini. Guna membantu pendidik dalam mengenal pendidikan maka dalam
makalah ini akan dibahas landasan historis pendidikan di indonesia, Sejarah
pendidikan di dunia dan Pendidikan di Indonesia masa kini serta Berbagai
problematika yang dicatat sejarah terkait pendidikan Hal ini bertujuan agar
Mengetahui landasan historis Pendidikan Nasional Indonesia, mengetahui Sejarah
pendidikan di dunia dan Pendidikan di Indonesia masa kini serta mengetahui
problematika pendidikan di Indonesia masa kini.
Landasan historis
memberikan peranan yang penting karena dari sebuah landasan historis atau
sejarah bisa membuat arah pemikiran kepada masa kini. Menurut Pidharta , (2007
: 109) sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala
macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah
penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model, konsep,
teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya.
Dengan demikian,
setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia untuk maju, pada umumnya
dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut pada masa yang lampau
(Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang pendidikan. Sejarah
pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan pendidikan suatu bangsa.
Ada beberapa zaman
yang memiliki pengaruh pada dunia pendidikan yaitu zaman-zaman:
Zaman Realisme
Seiring berkembangnya
ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh penemuan-penemuan ilmiah baru,
pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan bersumber dari keadaan dunia
pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan sebelumya yang banyak berkiblat pada
dunia ide, dunia surga dan akhirat. Realisme menghendaki pikiran yang praktis
(Pidarta, 2007: 111-114). Menurut aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh
tidak hanya melalui penginderaan semata tetapi juga melalui persepsi
penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh pendidikan
zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan Johann Amos Comenius. Intisari
pandangan aliran Realisme tentang pendidikan meliputi: Anak-anak harus
belajar dari alam, Belajar dengan metode induktif, Mementingkan aktifitas anak,
Mengutamakan pengertian, Ekspresi kata untuk menyatakan pengertian menjadi
penting, Belajar melalui bahasa ibu, Belajar dibantu oleh gambar-gambar, Materi
dipelajari satu demi satu dari yang mudah ke yang sukar, Pelajaran disesuaikan
dengan perkembagan anak, Pendidikan bersifat demokratis yaitu untuk semua
anak (ibid.: 113-114).
Zaman Rasionalisme
Aliran ini memberikan
kekuasaan pada manusia untuk berfikir sendiri dan bertindak untuk dirinya,
karena itu latihan sangat diperlukan pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk
dirinya. Paham ini muncul karena masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan
kekuasaan Raja Perancis yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John
Locke. Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa atau a blank sheet
of paper, yaitu mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan
dengan kebebasan dan kekuatan akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk
membentuk pengetahuannya sendiri. Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa
mengarah kepada hal-hal yang negatif, seperti intelektualisme, individualisme,
dan materialisme (ibid.: 114-115).
Proses belajar menurut
John Locke ada tiga langkah, yaitu:
- Ø
Mengamati hal-hal yang ada di luar diri manusia
- Ø
Mengingat apa yang telah diamati dan dihafalkan
·
Ø Berpikir, yaitu mengolah bahan-bahan yang
telah diperoleh tadi, ditimbang-timbang untuk diri sendiri (ibid.:114)
Zaman Naturalisme
Sebagai reaksi
terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18 muncullah aliran Naturalisme
dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini menentang kehidupan yang tidak
wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti korupsi, gaya hidup yang
dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan antara
kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi guru, sehingga pendidikan
dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16). Naturalisme
menyatakan bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat menemukan
jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
Menurut Rousseau ada
tiga asas mengajar, yaitu:
- Asas
pertumbuhan, pengajaran harus member kesempatan untuk anak-anak bertumbuh
secara wajar dengan cara mempekerjakan mereka, sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhannya.
- Asas
aktivitas, melalui bekerja anak-anak akan menjadi aktif, yang akan
memberikan pengalaman, yang kemudian akan menjadi pengetahuan
mereka.
- Asas
individualitas, dengan cara menyiapkan pendidikan sesuai dengan
individualitas masing-masing anak, sehingga mereka berkembang menurut
alamnya sendiri. (ibid.: 116)
Zaman Developmentalisme
Zaman
Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini memandang pendidikan
sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini sering disebut
gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini adalah: Pestalozzi,
Johann Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel di Jerman, dan Stanley Hall
Amerika Serikat.
Intisari konsep
pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
- Ø
Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk watak susila
dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social manusia.
- Ø
Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat perkembangan
anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang melalui observasi dan eksperimen
(Mudyahardjo, 2008: 114)
- Ø
Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang
disertai asuhan yang baik (nurture).
- Ø
Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar dan
pengembangan pendidikan universal (Mudyaharjo, 2008: 114)
Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme
muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk patriot-patriot bangsa dan
mempertahankan bangsa dari kaum imperialis. Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais
(Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson (Amerika Serikat).
Konsep pendidikan yang
ingin diusung oleh aliran ini adalah:
- Ø
Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
- Ø
Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
- Ø
Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional, pendidikan
kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara, dan
pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme
di Jerman, yaitu kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang
berlebih-lebihan di beberapa negara, seperti di Jerman, yang akhirnya
menimbulkan pecahnya Perang Dunia I (Pidarta, 2007: 120-21).
Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa
pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang
dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak
berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme.
Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera
sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme
adalah August Comte (ibid.: 121).
Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam
pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai reaksi terhadap dampak liberalisme,
positivisme, dan individualisme. Tokoh-tokohnya adalah Paul Natorp dan George
Kerchensteiner di Jerman serta John Dewey di Amerika Serikat.
Menurut aliran ini,
masyarakat memiliki arti yang lebih penting daripada individu. Ibarat atom,
individu tidak ada artinya bila tidak berwujud benda. Oleh karena itu,
pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial (ibid.: 121-24).
Sejarah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di
Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari zaman zaman
kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha,
zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan zaman merdeka (ibid.: 125). Ada 3
tokoh yang berjuang melalui pendidikan yaitu tokoh – tokoh tersebut adalah
Mohammad syafei, Ki Hajar Dewantara dan Kyai Haji Ahmad Dahlan. Mohammad syafei
mendirikan sekolah INS (indonesisch nederlandse school) di sumatera barat pada
tahun 1962. Sekolah ini dikenal dengan sekolah kayu tanam yang bertujuan
membina anak- anak ke arah hidup yang merdeka melalui pendidikan hidup mandiri,
model sekolah INS adalah asrama . tokoh berikutnya adalah Ki Hajar Dewantara
yang mendirikan taman siswa. Sifat sistem dan metode pendidikan di ringkas ke
dalam empat kawasan yaitu asas taman siswa , panca darma, adat istiadat dan
semboyan atau lambang. Semboyan yang terkenal yang di buat oleh Ki Hajar
dewantara adalah ing ngarsa sung telada, ing madya mangun karso dan tut wuri
handayani. Tokoh selanjutnya Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi
Islam dengan nama Muhammadiyah. Pendidikan muhammadiyah ini sebagian besar
memusatkan diri pada pengembangan agama islam dengan tujuan mewujudkan orang muslim
yang berakhlak mulia dan percaya kepada diri sendiri.
Ada beberapa Sejarah
pendidikan yang memiliki peranan penting untuk diketahui ,yaitu keadaan
pendidikan di masa Belanda , Jepang dan pendidikan indonesia Masa kini
Zaman Kolonial Belanda
Pada Awal Abad ke
20 masalah pendidikan mendapat perhatian yang besar oleh pemerintah
belanda hal itu berhubungan dengan dilaksanakan politik etis. Sekolah
sekolah mulai banyak didirikan namun tetap pembangunan sekolah tidaklah
seimbang dengan jumlah pendduduk. Didirikannya sekolah desa dan sekolah modern.
Sistem pendidikannya masih menyangkut kepentingan belanda tujuannya pendidikan
tersebut yaitu agar anak indonesia bisa dipekerjakan menjadi pegawai rendah.
Sejak dijalankannya
Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih pesat dalam bidang pendidikan
selama beberapa dekade. Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa
penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai
berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa
Belanda untuk anak belanda (ELS), (HCS) indonesia, dan (HIS) cina. sekolah
dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2)
Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO,HBS, AMS) dan
pendidikan kejuruan.
Menurut (Nasution.M.A,
1983:145) ada 6 prinsip politik pendidikan kolonial belanda di indonesia yaitu
: pertama : dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah anak belanda dan
untuk anak pribumi, untuk anak orang berada dan tidak berada; kedua :
Gradualisme yang ekstrim dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana
mungkin bagi anak indonesia; ketiga : prinsip konkordansi yang memaksa semua
sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah di nederland dan menghalangi
penyesuannya dengan keadaan di indonesia; keempat : Kontrol sentral yang ketat;
kelima : tidak adanya perencanaan pendidikan sistematis dan keenam : pendidikan
pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
Zaman Kolonial Jepang
Masa jepang kegiatan
pendidikan dan pengajaran menurun akibatnya angka buta huruf meningkat oleh
karena itu diadakannya program pemberantasan buta huruf yang di pelopori
oleh Putera Namun Di bidang pendidikan Jepang telah menghapus dualisme
pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang sama
bagi semua orang. Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang
memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan.
Hal-hal tersebut antara lain: (1) Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda; (2) Adanya integrasi
sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas
sosial di era penjajahan Belanda.
Sistem pendidikan pada
masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1)
Pendidikan / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR adalah Sekolah
Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi
pribumi di masa Hindia Belanda. (2) Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu
Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko
(Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3 tahun. Sekolah guru terdiri
dari sekolah guru 2 tahun, sekolah guru 3 tahun dan sekolah guru lama
pendidkannya 6 tahun. (waridah, sukardi, & sunarto, 2003 : 179).
Zaman Kemerdekaan sampai saat ini
Setelah indonesia
merdeka hal yang dilakukan adalah melakukan pembangunan pada saat itu di
bangunlah pembangunan dalam bidang ekonomi diharapkan bidang ekonomi bisa
mendukung bidang-bidang yang lainnya.seiringnya berjalannya waktu pemerintah
pendidikan terus berkembang ke arah yang lebih baik hal ini telah ditandainya
muncul Pasal 2 tahun 1989 yang mengatur tentang sistem pendidkan. Saat
ini sistem pendidikan nasional terdapat pada UU RI No. 20 Th. 2003, Bab VI,
Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan, Bagian kesatu, Umum, pasal 13, jalur
pendidikan terdiri atas pendidiknan formal, nonformal, dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya pendidikan.
Secara UUD memang
pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelenggarakan pendidikan
dengan sebaik-baiknya, setiap tahun dan setiap ada pergantian pimpinan selalu
berupaya menyempurnakan kurikulum, pola dan starategi pembelajaran, namun
demikian penyempurnaan tersebut hanya terarah kepada pembinaan pengetahuan dan
keterampilan, terarah pada pembinaan pola dan sterategi pembelajaran dan
peningkatan mutu pendidikan. Akan tetapi Peningkatan Mutu menjadi sebuah PR
yang belum terselesaikan oleh pemerintah saat ini. Karena belum adanya
pemerataan pendidikan, sehingga mutu pendidikan pun masih belum sesuai dengan
yang di kehendaki.
Isu-Isu Problematika
dalam Histori Pendidikan
Ada beberapa isu yang
kami angkat dalam makalah ini yaitu masalah Pemerataan pendidikan.Mutu
Pendidikan
Masalah
Pemerataan Pendidikan
Masalah pemerataan
pendidikan adalah bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang
luas dalam mendapat pembelajaran. Masalah pemerataan pendidikan ini
timbul masih banyak warga negara yang tidak ditampung dalam sistem pendidikan
karena kurangnya fasilitas pendidikan. Dalam hal ini harusnya pemerintah
membangun sekolah SD Kecil pada tempat terpencil atau bisa dibuat sistem guru
kunjung.
Masalah
Mutu Pendidikan
Isu selanjutnya
yaitu tentang mutu pendidikan. Mutu pendidikan menjadi sebuah masalah karena
kebanyakan hasil yang dinilai dari sebuah mutu itu hanya di nilai dari sebuah
nilai kognitifnya atau nilai akhir dari Ujian nasional dan Mutu nilai tersebut
harus sama antara desa dan kota. Sehingga proses pembelajarannya terfokus untuk
meraih nilai UN tersebut. Padahal ada yang harus dipikirkan oleh guru yaitu
bagaimana membentuk seorang anak sehingga ilmu yang di dapat tersebut dapat
dibawa dalam dunia kerja.
Masalah Otonomi
Daerah dalam bidang pendidikan
Otonomi daerah sebagai
salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya ditujukan untuk
memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih
mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintah untuk mewujudkan
cita-cita masyarakat yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih
adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi bidang
pendidikan dimulai dengan keluarnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan
kemudian ditindak lanjuti dengan PP No. 20 tentang Peribangan Keuangan Daerah
yang di dalamnya mengatur tentang sektor-sektor yang didesentralisasikan dan
yang tetap menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pendidikan termasuk salah satu
sektor yang didesentralisasikan, sehingga sejak itu pendidikan terutama dari TK
sampai dengan SMA menjadi urusan kabupaten/kota. Sedangkan pendidikan tinggi
menjadi urusan Pemerintah Pusat dan Provinsi..
Sejak urusan
pendidikan didesentralisasikan, signal-signal adanya banyak masalah baru sudah
tampak. Diantaranya, adalah tarik menarik kepentingan untuk urusan guru serta
saling lempar tanggung jawab untuk pembangunan gedung sekolah. Pengelolaan guru
menjadi tarik menarik, karena jumlahnya yang banyak, sehingga banyak
kepentingan politik maupun ekonomi yang bermain di dalamnya. Sedangkan
pembangunan gedung sekolah, utamanya gedung SD menjadi lempar-lemparan tanggung
jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemda karena besarnya dana yang diperlukan
untuk itu. Sementara, di lain pihak, baik Pemerintah Pusat maupun Pemda
sama-sama mengeluh tidak memiliki dana.
Masalah
Kurikulum
Perkembangan Kurikulum
di indonesia selalu berubah-ubah dalam pendidikan masa kini kurikulum yang di
pakai yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan angin segar
bagi dunia pendidikan dasar dan menengah. KTSP dimaknai sebagai kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
Ini berarti satuan pendidikan tertantang untuk menterjemahkan standar isi yang
ditentukan oleh Depdiknas. Bahkan diharapkan sekolah mampu mengembangkan lebih
jauh standar isi tersebut.
Meskipun sekolah
diberi kelonggaran untuk menyusun kurikulum, namun tetap harus memperhatikan
rambu-rambu panduan KTSP yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). Hal ini diharapkan agar selalu ada sinkronisasi antara standar isi dan
masing-masing KTSP.
Dalam prakteknya,
peluang ini juga akan menghadapi kendala yang tidak ringan, Pertama,
belum semua guru atau bahkan kepala sekolah mempunyai kemampuan untuk menyusun
kurikulum. Kedua, semua komite sekolah atau bahkan orang Depdiknas
belum memahami tatacara penyusunan sebuah kurikulum yang baik. Ketiga, kebingungan
pelaksana dalam menerjemahkan KTSP.
Sudah sering
dikemukakan oleh berbagai kalangan, ketidaklogisan KTSP terjadi karena seolah
diberikan kebebasan untuk mengolaborasikan kurikulum inti yang dibuat
Depdiknas, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah dengan melalui Ujian
Nasional (UN) justru yang paling menentukan kelulusan siswa.
Kesimpulan
Dari rangkaian masa
dalam sejarah yang menjadi landasan historis kependidikan di Indonesia, kita
dapat menyimpulkan bahwa sejarah sangatlah penting untuk diketahui apalagi
sejarah pendidikan indonesia dari perjuangan para tokoh-tokoh pendidik di
indonesia serta peran pemerintah untuk mengembang dunia pendidikan.Seluruh
perjuangan yang dilakukan sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan
mengembangkan individu peserta didik, dalam arti memberi kesempatan kepada
mereka untuk mengembangkan potensi mereka secara alami dan seperti ada adanya,
tidak perlu diarahkan untuk kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu,
pendidikan pada dasarnya hanya memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan
segala sesuatunya. Sejarah juga menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi
kemerdekaan dibandingkan dengan perjuangan mengusir penjajah.
Dengan demikian mereka
berharap hasil pendidikan dapat berupa ilmuwan, innovator, orang yang peduli
dengan lingkungan serta mampu memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban
manusia.
Hal ini dikarenakan
pendidikan selalu dinamis mencari yang baru, memperbaiki dan memajukan diri,
agar tidak ketinggalan jaman, dan selalu berusaha menyongsong zaman yang akan
datang atau untuk dapat hidup dan bekerja senafas dengan semangat perubahan
zaman.
Akhir kata, pendidikan
mewariskan peradaban masa lampau sehingga peradaban masa lampau yang memiliki
nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan diajarkan lalu digunakan generasi
penerus dalam kehidupan mereka di masa sekarang. Dengan mewariskan dan
menggunakan karya dan pengalaman masa lampau, pendidikan menjadi
pengawal,perantara,dan pemelihara peradaban. Dengan demikian, pendidikan
memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya dan bukan merupakan
“harta karun” yang tersia-siakan.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta:
IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1992. PTS dan Potensinya di
Hari Depan: Memoir Seorang PUrek I.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Nasution.M.A, P. D.
(1983). Sejarah pendidikan indonesia. bandung: jemmars bandun
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah
Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di
indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia.Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sigit, Sardjono. 1992. Peranan dan Partisipasi Perguruan
Swasta di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Waridah, s., sukardi,
j., & sunarto, p. (2003). sejarah nasional dan umum. jakarta:
PT. Bumi aksara.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahirobbilaalamin,
puji syukur kehadirat kehadirat Allah SWT , Sang Pemiliki sirkulasi Waktu, Sang
Maha Tahu, Sang Maha Pemilik Segala Ilmu atas ijin – Nya memberikan waktu
kepada penyusun sehingga makalah berjudul Landasan historis dan filosofis Pendidikanini dapat diselesaikan sebagai salah satu
bagian tugas dari mata kuliah Landasan Pendidikan dibawah bimbingan yang
penyusun banggakan yaitu bapak Dr. H. Saraka,M.pd.
Pembahasan makalah ini memasuki wilayah Landasan pendidikan yang
ditinjau dari segi historis dan filosofis, diharapkan dengan memahami sejarah
dan landasan filosofis pendidikan kita dapat memecahkan dan mengembangkan serta
menjawab permasalahan dan tantangan dalam dunia pendidikan yang kita hadapi
saat ini. Melalui tinjauan masa lalu yang menghasilkan sistem , yang sedikit
banyak jika bukan seluruhnya, telah kita adopi saat ini dapat dijadikan
landasan dalam rancangan pendidikan untuk masa depan tanpa meninggalkan
pendidikan masa lalu. Sebagaimana dinyatakan oleh salah satu pakar pendidikan
terkemuka dunia sebagai berikut:
“ masa lalu
hanyalah masa lalu yang tidak lebih dari sebuah peristiwa. Jika hal itu
seluruhnya telah pergi dan terjadi, maka hanya ada satu alasan yang masuk akal
terhadap hal tersebut (sebagai bahan renungan) . Biarkanlah sukma terkubur
bersama dengan jasadnya. Tapi ilmu pengetahuan terhadap masa lalu merupakan
kunci untuk memahami saat ini. Sejarah sesuai dengan masa lalu, tapi
masa lalu tersebut ialah sejarah saat ini ”.
Sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik ALLAH SWT sang Maha
Pemilik Hikmah dan Kebijaksanaan. Makalah sederhana ini tentu saja masih perlu
penyempurnaan, untuk itu kritik dan saran perbaikan, kami harapkan demi
penyempurnaannya, sekaligus menambah wawasan bagi kita semua. Terimaksih.
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1. LATAR BELAKANG
Sebagai guru yang memiliki kesempatan dan menekuni
dunia pendidikan serta sebagai salah satu pilar penggerak dan perancang
pendidikan masa depan, kita memiliki pertanyaan besar yang dihadapkan ke kita
tentang pentingnya penyelidikan terhadap sejarah pendidikan. Bagaimanakah peran
dan tinjauan tentang sejarah pendidikan ? atau pertanyaan klasik yang krusial,
bagaimanakah sistem pendidikan yang telah dilaksanakan di masa lalu
? begitu pula pertanyaan – pertanyaan penting tentang sejarah
pendidikan seperti berikut ini :
1. Mengapa guru seharusnya menyelidiki sejarah
pendidikan ?
2. Bagaimanakah pengelola pendidikan dan para
pendidik di masa lalu mendefinisikan ; kedudukan pendidikan, ilmu pengetahuan,
pendidikan, sekolah, pengajaran dan pembelajaran ?
3. Apakah konsep – konsep dari orang terdidik
yang mendominasi selama periode sejarah pendidikan barat?
4. Bagaimankah ide – ide pendidikan telah berubah
melalui perjalanan waktu ?
5. Bagaimanakah teori – teori pendidikan dan
kedudukan para pendidik di dunia barat telah berkontribusi terhadap pendidikan
modern ?
Mengapa ? mungkin kita bertanya demikian , haruskah kita peduli
dengan masa lalu sementara konsentrasi dan kepedulian kita saat ini adalah apa
yang harus kita lakukan dikelas kita besok ?
Ide
– ide John Dewey, salah satu filsuf pendidikan terkemuka dunia, menyarankan
sebuah hal yang masuk akal untuk penyelidikan dan penggunaan sejarah
(pendidikan) masa lalu. Kemudian dia, dalam bukunyaDemocracy and
Education, menegaskan bahwa “ masa lalu hanyalah masa lalu yang tidak
lebih dari sebuah peristiwa. Jika hal itu seluruhnya telah pergi dan terjadi,
maka hanya ada satu alasan yang masuk akal terhadap hal tersebut. Biarkanlah
sukma terkubur bersama dengan jasadnya. Tapi ilmu pengetahuan terhadap masa
lalu merupakan kunci untuk memahami saat ini. Sejarah sesuai dengan
masa lalu, tapi masa lalu tersebut ialah sejarah saat ini ”.
Dewey
menyatakan bahwa kamu adalah kamu yang sekarang karena masa lalumu. Harapan –
harapan dan permasalahan – permasalahan mu adalah hasil dari sejarah masa
lalumu tersebut. Pandangan Dewey kemudian tentang pengalaman manusia
menyarankan bahwa sejarah pendidikan akan bernilai dengan alasan – alasan
sebagai berikut :
1. Isu – isu dan permasalahan – permasalahan
pendidikan berakar pada masa lalu oleh karena itu penyelidikan terhadap sejarah
pendidikan dapat membantu kita untuk memahami dan memecahkan masalah – masalah
kekinian.
2. Usaha – usaha nyata untuk menata ulang dan
mereformasi pendidikan mulai dengan situasi saat ini, yang merupakan
produk dari masa lalu kita; dengan menggunakan tinjauan dan telaahan masa lalu
kita dapat merencang masa depan.
3. Penyelidikan terhadap pendidikan di
masa lalu menyediakan dan menghadirkan sebuah pandangan yang menjelaskan
menerangkan secara nyata akan kegiatan – kegiatan kita saat ini sebagai para
guru atau pendidik.
Pencapaian terhadap penyelidikan sejarah pendidikan dari
perspektif kepedulian kita terhadap pendidikan saat ini barangkali
akan membantu jika kita melihat dan belajar pada pengalaman para pendidik di
masa lalu untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan yang akan kita hadapi sebagai
seorang guru.
1.2. RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Penyajian
makalah ini memfokuskan dan membatasi pembahasan pada landasan historis dan
filosofis pendidikan dari sistem pendidikan di zaman
purbakala/primitif sampai pada pengaruh pendidikan barat, yang
dirincikan sebagai berikut:
1. Pendidikan pada Masyarakat Primitif.
2. Pendidikan pada Zaman Yunani Kuno.
3. Pendidikan pada Zaman Romawi Kuno.
4. Pengaruh Pembelajaran Arab (Islam) terhadap
Pendidikan Barat.
5. Pendidikan dan Kebudayaan pada Zaman
Pertangahan.
6. Pendidikan Humanisme Klasik Zaman Renaisance
7. Pendidikan dan Reformasi Keagamaan
8. Pengaruh Pencerahan Terhadap Dunia Pendidikan
Barat
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pendidikan pada Masyarakat Primitif.
Didalam
rentang yang panjang hingga saat ini, manusia telah mengembangkan menciptakan,
melanjutkan, dan mentransfer aspek kecakapan hidup dan budaya yang mereka
miliki. Konsep budaya bertahan hidup inilah yang telah berlangung dari zaman
prasejarah hingga saat ini, yang menjadi landasan / peletak dasar berdirinya
sekolah – sekolah formal. Individu – individu/orang yang buta huruf atau tidak
terpelajar menghadapi masalah – masalah dan tantangan – tantangan bertahan
hidup (dalam artian luas) di lingkungan mereka yang membenturkannya
dalam menghadapi kekuatan alam, binatang, dan musuh – musuh lain manusia. Untuk
bertahan hidup, sudah menjadi kodrat manusia pasti membutuhkan makanan, tempat
bernaung/pemukiman, kehangatan, dan pakaian. Agar perubahan yang cepat dari
lingkungan yang penuh tantangan didalam kehidupan yang berkelanjutan untuk
tetap bertahan hidup maka manusia mengambangkan kecakapan hidup yang menjadi
simpul – simpul dan rumusan budaya yang dihasilkan (R.F.Butts, A
Cultural History of Western Education. New York; McGraw Hill 1955,hal. vii
– x , 1 – 8 )
Agar
budaya dari kelompok tertentu tetap berlangsung dan bertahan maka budaya tersebut
harus di transfer dari kelompok tua dan dewasa kepada yang lebih muda atau anak
– anak. Karena anak – anak belajar ;bahasa, kecakapan/keterampilan, ilmu
pengetahuan, dan nilai – nilai sosial. Dapat dikatakan bahwa kegiatan mereka
tersebut merupakan perwujudan nyata dari proses pewarisan konsep dan budaya
serta landasan pendidikan. Pola dan rumusan awal pendidikan di zaman primitif
meliputi ; 1)pembuatan alat atau instrumen, 2) adat istiadat dari kehidupan
kelompok, dan .3) pembelajaran bahasa.
Berikut ini
adalah tabel yang menunjukkan cakupan pendidikan pada periode zaman primitif.
Kelompok/masyarakat sejarah dan periode
|
Tujuan Pendidikan
|
Kurikulum
|
Agen
|
Pengaruh Terhadap Pendidikan Barat
|
Masyarakat Primitif
7.000 – 5000 sm
|
1. Mengajarkan kecakapan
hidup kelompok
2. merekatkan
ikatan
kelompok
|
1. Latihan
keterampilan berburu, memancing dan mengumpulkan makanan
2. Ketarampilan
/Kemampuan bercerita, menyanyi, berpuisi, menari dan pengajaran mitos.
|
1. Orang
Tua
2. Anggota
Suku Tertua
3. Pemuka
Agama
|
Penekanan pada aturan – aturan
pendidikan informal dalam pemahaman nilai dan keterampilan.
|
Dari pemaparan
tersebut diatas maka dapat diasumsikan beberapa kesimpulan tentang Landasan
Filosofis dan Landasan Historis Pendidikan, sebagai berikut :
a. Landasan Filosofis
Pendidikan di Zaman Primitif :
Adanya kebutuhan untuk
bertahan hidup dan mengajarkan kecakapan hidup sederhana untuk menghadapi dan
memecahkan masalah – masalah dan tantangan – tantangan di lingkungan
yang membenturkannya dalam menghadapi kekuatan alam, binatang, dan musuh –
musuh lain manusia. Untuk bertahan hidup, sudah menjadi kodrat manusia pasti
membutuhkan makanan, tempat bernaung/pemukiman, kehangatan, dan pakaian.
b. Landasan Historis
Pendidikan di Zaman Primitif :
Agar
sistem pendidikan dan budaya dari kelompok tertentu tetap berlangsung dan
bertahan maka hal tersebut perlu di transfer dari kelompok tua dan dewasa
kepada yang lebih muda atau anak – anak. Karena anak – anak belajar ;bahasa,
kecakapan/keterampilan, ilmu pengetahuan, dan nilai – nilai sosial. Dapat
dikatakan bahwa kegiatan mereka tersebut merupakan perwujudan nyata dari proses
pewarisan konsep dan budaya serta landasan pendidikan. Pola dan rumusan awal
pendidikan di zaman primitif meliputi ; 1)pembuatan alat atau instrumen, 2)
adat istiadat dari kehidupan kelompok, dan .3) pembelajaran bahasa.
2. Pendidikan Pada Masyarakat Yunani Kuno
Ahli
– ahli sejarah dan pendidikan pada masyarakat barat sering melakukan tinjauan
dan penelaahan terhadap Masyarakat Yunani Kuno lalu mengambil kesimpulan bahwa
budaya dan sistem pendidikan Yunani Kuno merupakan sumber dan referensi asli /
dasar dari pembentukan budaya Barat. Penyelidikan pada budaya klasik Yunani
menerangkan dengan jelas terhadap masalah – masalah dan tantangn – tantangan
yang dihadapi oleh para pendidik dimasa kini.
Beberapa
pertanyaan mendasar yang seyogyanya dipecahkan pada pembahasan ini seperti ; 1)
Apakah model – model (pembelajaran) yang bermanfaat sehingga materi belajar
dapat ditiru dan difahami oleh anak –anak /peserta didik ? 2)
Bagaimanakah (sistem) pendidikan membantu dalam membentuk tatanan masyarakat
yang baik? 3) Bagaimankah pendidikan merefleksikan perubahan sosial, ekonomi,
dan kondisi politik ? Bagaimanakah pendidikan melayani manusia dalam mencari
kebenaran ?
Butir pembahasan pada
pendidikan pada masyarakat Yunani Kuno, sebagai berikut:
a. Pendidikan Homeric
b. Pendidikan para Ahli Filsuf ; Guru – guru
Pengembara
· Socrates dan Plato ; sebagai filsuf moralitas
· Aristotle ; yang berusaha merumuskan fenomena
alam secara rasional/akal dan menjelaskannya secara sistematis.
· Isocrates ; Sang pendidik dan ahli retorika.
Secara detail
dijabarkan sebagai berikut :
a. Pendidikan Epik Homeric
Para generasi pembaca telah bergairah dan bersemangat dalam
suasana tegang ketika membaca puisi – puisi epik dan heroik dari Homer, the
Illiad and Odyssey. Puisi epik karangan dan rancangan Homer ini menetapkan
tujuan pendidikan melalui cerita – cerita dan puisi heroik, sehingga melalui
tokoh heroik yang ditunjukkan dan diperkenalkan maka anak – anak sebagai
peserta didik dapat meniru dan memahami konsep – konsep kepahlawanan, sikap
ksatria. Melalui pembelajaran tentang karakter dan sifat dari para heroik
tersebut anak muda Yunani akan belajar tentang ; 1) karakter, sifat, tingkah
laku, ciri – ciri dan kualitas yang membuat hidup menjadi berharga. 2) tingkah
laku dan karakter yang diharapkan menjadi anak muda yang ksatria. 3) kelemahan
pada karakter manusia akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Masyarakat Athena lebih menekankan pada nilai – nilai pengajaran
kemanusiaan, rasionalitas, dan demokrasi guna membentuk tatanan sosial dan
politik nya. Sementara itu ,Sparta sebagai musuh dan rival dari Athena , lebih
menekankan pada pendidikan militer dan melaksanakan pemerintahan nya dengan
nuansa militer yang diktator.
Bagi
Yunani, budaya – penyerapan dan partisipasi di dalam budaya – sangat penting
daripada sekolah formal. Melalui proses budaya anak muda Yunani belajar menjadi
salah satu unsur masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. Kebanyakan di pusat
– pusat kota Yunani pendidikan formal disediakan untuk anak – anak muda pria.
Di Athena contohnya para anak putri umunya belajar tentang keterampilan dalam
pengelolaan rumah tangga dan menjadi ibu rumah tangga yang terampil. Sementara
itu, berbeda dengan yang dilakukan di Sparta, para putri muda Sparta lebih
banyak bersekolah, yang meliputi latihan – latihan atletik yang berat dan
melelahkan untuk mempersiapkan mereka menjadi ibu yang sehat bagi para prajurit
masa depan Sparta.
b. Pendidikan Para Filsuf
Di pertengahan abad 50 sm, perubahan secara global akan kondisi
ekonomi berakibat pada berubahnya pula tatanan sosial dan pendidikan di Yunani,
khususnya di Athena. Para tuan – tuan tanah yang kaya raya dan aristokrat
tidak lagi ditempatkan sebagai kelas yang tertinggi karena goncangan
perekonomian yang melanda mereka. Perubahan sosial ini menghasilkan situasi dan
kondisi baru bagi generasi baru pendidik yakni ahli – ahli filsuf.
Para filsuf tersebut menempati strata tertinggi ditatanan
pendidik profesional yang diharapkan mampu menciptkan metode – metode
pengajaran yang beragam pada kelas – kelas komersial di Athena dan Sparta
sehingga menghasilkan generasi yang memiliki kemampuan intelektual dan
kecakapan retorika yang handal. Para filsuf tersebut juga mengklaim bahwa
mereka mampu mengajarkan ilmu dan kecakapan/skill apapun yang ingin masyarakat
pelajari, bahkan mereka mampu berkontribusi dalam mobilitas sosialekonomi
masyarakat yang tidak mampu dilakukan para ahli sebelumnya, meskipun,
malangnya, ternyata ada beberapa diantaranya ialah filsuf palsu atau
gadungan yang menyesatkan.
Ilmu seperti pengajaran tata bahasa, logika, retorika kemudian
menghasilkan ahli – ahli retorika yang hebat, kesenian yang bebas, bahkan
menghasilkan ahli advokat dan legislator yang handal.
Kehadiran para filsuf ini menjadikan dunia pendidikan bagi
Yunani Kuno lebih terstruktur, berikut merupakan beberapa filsuf yang dimaksud
,yakni:
1. Protagoras ; metodenya meliputi :
1) presenter hebat dalam berdeklamasi sehingga mampu menjadikannya figur yang
baik dalam berpidato. 2) ujian berorasi skala besar pada masyrakat digunakan
sebagai model / tata cara berdeklamasi atau berpidato. 3) penyelidikan mendalam
terhadap retorika, tata bahasa dan logika.4) latihan orasi bagi orator – orator
muda yang kemudian akan dikritisi oleh para guru pengajar. 5) orasi publik yang
dilakukan oleh murid di depa umum.
2. Socrates dan Plato ; sebagai filsuf moralitas
Filosofi Socrates
ialah etika sederhana yang menyatakan bahwa seseorang mencari dan menjalani
kehidupan harus menggunakan moral yang mulia dan budi pekerti yang
baik. Socrates menyelam dalam alam pemikiran untuk menemukan prinsip – prinsip
semesta terhadap kebenaran, keindahan, dan ketuhanan.
Plato , yang merupakan
murid dari Socrates, mencetuskan ide tentang kebenaran dan nilai – nilai
sejati. Teori Plato tentang ilmu pengetahuan ialah berdasarkan teori “ Reminiscence” yang
mana individu – individu diarahkan untuk memanggil ide – ide dan
kebenaran – kebenaran yang pada saat kini masih tersembunyi didalam pikiran.
Teori ini menganggap bahwa jiwa seseorang, sebelum ia lahir, telah hidup di
dalam sebuah dunia ide spiritualistis, yang tidak lain adalah sumber segala
kebenaran dan ilmu pengetahuan.
3. Aristotle ; yang berusaha merumuskan fenomena
alam secara rasional/akal dan menjelaskannya secara sistematis.
Murid dari Plato
yakni, Aristotle meupakan guru dan pembimbing dari Raja Alexander Agung.
Aristotle mendirikan “the Lyceum” yaitu sekolah filsafat Athena. Dan
menulis secara luas pelajaran seperti fisika, astronomi, pertanian, ilmu hewan,
logika, etika, dan metafisika. Sebagai filsuf realis, Aristotle menganggap
bahwa realitas diposisikan di dalam sebuah tatanan yang objektif. Objek,
tersusun dari bentuk dan zat, eksis / ada secara independen dari pengetahuan
kita terhadap objektif tersebut. Manusia merupakan perwujudan dari
rasionalitas, Oleh karena itu mereka memiliki kemampuan megetahui dan
mengobservai hukum – hukum alam yang membangun dan menyusun mereka.
Di dalam bidang
pendidikan Aristotle meletakkan landasan teori pendidikan yang menyatakan bahwa
komunitas yang baik didasarkan pada penanaman pada rasionalitas. Ia memandang
bahwa pendidikan ditanamkan diantara dua elemen, yakni, rasionalita seseorang
secara individu dan rasionalitas masyarakat.
4. Isocrates ; Sang pendidik dan ahli retorika.
Isocrates adalah ahli
retorika Yunani yang penting didalam sejarah pendidikan Barat karena dia
mengembangkan pembangunan teori pendidikan yang baik yang berdasarkan kecakapan
retorika dan ilmu pengetahuan. Bagi Isocrates, pendidikan mempunyai
objektifitas yang mengandung peranan penting bagi pelayanan publik karena
segala hal dan kegiatan yang disusun berdasarkan koridor ilmu
pengetahuan.
Berikut ini
adalah tabel yang menunjukkan cakupan pendidikan pada periode Pendidikan
Masyarakat Yunani Kuno .
Kelompok/masyarakat sejarah dan periode
|
Tujuan Pendidikan
|
Kurikulum
|
Agen
|
Pengaruh Terhadap Pendidikan Barat
|
Masyarakat Yunani Kuno
1.600 –300 sm
|
1. Untuk
menanamkan identitas tanggung jawab kewarganegaraan warganya
2. Athena;
untuk mengembangkan karakter mulia tiap individu
Sparta ; untuk mengembangkan para
prajurit dan pemimpin militer.
|
Athena ; kecakapan membaca,
menulis, aritmatika, drama, musik, pendidikan fisik, sastra dan puisi.
Sparta; latihan dan lagu militer
serta taktik perang.
|
1. Athena ;
guru privat dan sekolah, filsuf
2. Sparta;guru
dan pemimpin militer
|
Athena; untuk mengembangkan
karakter mulia tiap individu
Dan pendidikan bebas pada tiap
individu
Sparta ; konsep militer terpusat.
|
Dari pemaparan
tersebut diatas maka dapat diasumsikan beberapa kesimpulan tentang Landasan
Filosofis dan Landasan Historis Pendidikan pada Masyarakat Yunani Kuno, sebagai
berikut :
a. Landasan Filosofis
Pendidikan pada Masyarakat Yunani Kuno.
Bagi Yunani, budaya – penyerapan dan partisipasi di dalam budaya
– sangat penting daripada sekolah formal. Melalui proses budaya anak muda
Yunani belajar menjadi salah satu unsur masyarakat dalam kehidupan sosial
mereka. Kebanyakan di pusat – pusat kota Yunani pendidikan formal disediakan
untuk anak – anak muda pria. Di Athena contohnya para anak putri umunya belajar
tentang keterampilan dalam pengelolaan rumah tangga dan menjadi ibu rumah
tangga yang terampil. Sementara itu, berbeda dengan yang dilakukan di Sparta,
para putri muda Sparta lebih banyak bersekolah, yang meliputi latihan – latihan
atletik yang berat dan melelahkan untuk mempersiapkan mereka menjadi ibu yang
sehat bagi para prajurit masa depan Sparta.
Para filsuf menempati strata tertinggi ditatanan pendidik
profesional yang diharapkan mampu menciptkan metode – metode pengajaran yang
beragam pada kelas – kelas komersial di Athena dan Sparta sehingga menghasilkan
generasi yang memiliki kemampuan intelektual dan kecakapan retorika yang
handal. Para filsuf tersebut juga mengklaim bahwa mereka mampu mengajarkan ilmu
dan kecakapan/skill apapun yang ingin masyarakat pelajari, bahkan mereka mampu
berkontribusi dalam mobilitas sosialekonomi masyarakat yang tidak mampu
dilakukan para ahli sebelumnya, meskipun, malangnya, ternyata ada
beberapa diantaranya ialah filsuf palsu atau gadungan yang menyesatkan.
Ilmu seperti pengajaran tata bahasa, logika, retorika kemudian
menghasilkan ahli – ahli retorika yang hebat, kesenian yang bebas, bahkan
menghasilkan ahli advokat dan legislator yang handal.
b. Landasan Historis
Pendidikan pada Masyarakat Yunani Kuno
Puisi epik karangan dan rancangan Homer ini menetapkan tujuan
pendidikan melalui cerita – cerita dan puisi heroik, sehingga melalui tokoh
heroik yang ditunjukkan dan diperkenalkan maka anak – anak sebagai peserta
didik dapat meniru dan memahami konsep – konsep kepahlawanan, sikap ksatria.
Melalui pembelajaran tentang karakter dan sifat dari para heroik
tersebut anak muda Yunani akan belajar tentang ; 1) karakter, sifat, tingkah
laku, ciri – ciri dan kualitas yang membuat hidup menjadi berharga. 2) tingkah
laku dan karakter yang diharapkan menjadi anak muda yang ksatria. 3) kelemahan
pada karakter manusia akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Masyarakat Athena lebih menekankan pada nilai – nilai pengajaran
kemanusiaan, rasionalitas, dan demokrasi guna membentuk tatanan sosial dan
politik nya. Sementara itu ,Sparta sebagai musuh dan rival dari Athena , lebih
menekankan pada pendidikan militer dan melaksanakan pemerintahan nya dengan
nuansa militer yang diktator.
3. PENDIDIKAN PADA MASYARAKAT ROMAWI
Pada
saat Yunani sedang mengembangkan konsep – konsep budaya dan pandidikannya di
belahan timur Mediterania, di sisi lain di belahan dunia
Barat Mediterania, yakni negara Romawi sedang menggabungkan dan
mengkombinasikan kedudukan politik nya di Semenanjung Italia melalui wilayah
Barat Mediterania. Di dalam perjalanan dari bentuk Negara Republik yang Kecil
menjadi Kerajaan yang Megah dan Besar, Orang – orang Romawi terkonsentrasi
dengan peperangan dan politik.
Setelah
bangsa Romawi mampu menciptakan dan membentuk kerajaan / imperium nya, kemudian
mereka memfokuskan diri pada pembenahan administrasi, hukum, dan
diplomasi/politik yang diperlukan untuk mempertahankan tatanan kerajaan yang
telah mereka bangun. Jika bangsa Yunani terfokus pada
filsafat, maka Bangsa Romawi justru sangat tertarik dengan pendidikan , politik
praktis dan kemampuan administrasi. Pendidikan ideal bagi bangsa Romawi
diberikan teladan dan contoh oleh konsep orator, yakni Isocrates. Orator Romawi
merupakan orang – orang yang terdidik yang liberal dan berpandangan luas
didalam kehidupan kemasyarakatan yang menjelma sebagai senator, pengacara,
pegawai negeri sipil, dan politisi. Cicero dan Quintilian ialah tokoh yang
sangat berpengaruh di zaman tersebut.
a. CICERO ; Sang Orator Ulung
Cicero,
yang merupakan senator yang berbeda dan unggul dibandingkan yang
lain, telah melakukan penyelidikan dan penelitian tentang tata
bahasa, sastra, sejarah, dan retorika antara Yunani dan Latin. Dia menilai dan
sangat menghargai antara kaum tua bangsa Romawi terhadap nilai – nilai praktis
dan kegunaan sesuatu serta perhatian bangsa Yunani terhadap kemanusiaan dan
kebudayaan bebas.
Cicero
menghasilkan sebuah karya, yaitu : “ de Oratore”mengkombinasikan
konsep – konsep Romawi dan Yunani terhadap konsep manusia yang terdidik (Aubrey
Gwynn, 1966). Konsep Romawi menyebutkan bahwa hasil – hasil latihan orator
adalah dengan memenangkan debat dan argumen – argumen di sebuah
forum. Cicero menambahkan pandangan Yunani terhadap pendidikan retorika dengan
menekankan budaya kebebasan dan universalitas atau humanitas. Cicero merekomendasikan
bahwa setiap orator, sebagai manusia yang berfikir rasional, seharusnya dididik
dengan seni kebebasan dan seharusya menggunakan pendidikan yang
mereka perolah untuk kepentingan masyarakat umum. Cicero juga menganjurkan pada
para pendidik untuk mengajarkan unsur – unsur kebahasaan seperti tata bahasa,
puisi dan sastra. Dia juga yakin bahwa untuk menghasilkan orator yang ulung dan
hebat mestinya diajarkan juga pada mereka tentang seni bebas, etika,
psikologi,ilmu pengetahuan militer,farmasi,ilmu alam,geograpi,astronomi,sejarah,
hukum, dan filsafat, dengan penekanan pada pembelajaran sejarah. Cicero juga
menekankan pendidikan moral dengan menggunakan aturan Hukum Dua Belas Tabe
Klasik Romawi , yang diantaranya menyebutkan untuk menghormati orang tua,
menjaga harta/tanah yang dimiliki, dan untuk melayani negara.
b. QUINTILIAN ; Sang Guru Retorika.
Terlahir dengan nama lengkap Marcus Fabius Quintilianus (35 – 95
sm) yang bekerja sebagai asisten pengacara/ahli hukum yang merupakan landasan
awalnya sebagai ahli retorika yang kemudian memberikan nya kedudukan sebagai
ahli retorika latin pertama. Sebagai ahli terkemuka retorika Romawi, Quintilian
mengabdi pada kerajaan Romawi. Selanjutnya, program – program pendidikan orator
Quintilian ialah refleksi dari kenyataan – kenyataan yang terjadi di kerajaan /
imperium Romawi, yang diatur oleh titah daripada keputusan kelompok / kesepakatan
bersama yang membentuk suatu argumen retoris. Berbeda dengan Cicero yang
merupakan abdi bagi senat Roma, Quintilian ialah juga sebagai seorang guru yang
memimpin ranah pendidikan di zaman tersebut di Romawi.
Pada tahun 94 sm berdiri lah Quintilian’s Institute
Oratoria yang memfokuskan pada teori retorika, penyelidikan tentang
retorika, pendidikan retorika, kemampuan berdeklamasi dan berbicara di depan
publik. Quintilian mengenalkan bahwa pembelajaran harus berdasarkan pada
tingkat / taraf dari perkembangan dan tahapan pertumbuhan manusia. Adapun
tingkatan yang dimaksud berdasrkan teori Quintilian ada 3 tahap yakni ;
Tahap Pertama, ditahapan ini usia potensial untuk dilakukan pembelajaran
berusia dari lahir sampai pada usia tujuh tahun. Anak diberikan kepedulian,
perhatian dan dipenuhi segala kebutuhan dasarnya. Bagi orang tua dan pendidik
perlu mempelajari pedagogi untuk memahami lebih mendalam tentang bakat anak
juga harus secara terus menerus mengenalkan cara pengucapan yang benar dalam
menggunakan bahasa dalam bebiasaan sehari - hari, termasuk menggunakan jasa
pelayan / pengasuh dari Yunani, sehingga dengan mendengarkan dan memahami dari
usia dini tentang cara pengucapan yang benar dan cara bertutur yang benar pula
diharapkan menghasilkan anak – anak berbakat di bidang orator dan retorika di
masa depan.
Tahap
Kedua, pembelajarn pada
tahapan ini dimulai dari (7) usia tujuh tahun sampai dengan (14) empat belas
tahun. Di tahapan ini, anak – anak belajar dari pengalaman – pengalaman yang bermanfaat,
membentuk ide – ide yang jelas, dan melatih ingatan mereka. Anak – anak mampu
menuliskan bahasa yang mereka gunakan dalam bertutur. Lebih lanjut para
pendidik lebih menekankan pada pembelajaran menulis dan membaca. Para guru –
yang kompeten – ahli membaca dan menulis dalam pengajarannya harus
mengajarkan bahasa tutur maupun tulisan dengan perlahan dan mendalam
pemahamannya.
Tahap
Ketiga, pembelajaran diusia 15 tahun sampai dengan dewasa dan matang
ini, Quintilian menekankan pembelajaran pada seni beraliran bebas serta tata
bahasa Yunani dan Latin pada tingkat sekolah menengah atas. Termasuk sastra
Yunani dan Romawi, sejarah,mitologi,musik,geometri,astronomi,dan gimnastik
dipelajari juga.
Setelah
mempelajari tata bahasa dan seni bebas orator yang berpotensial lalu belajar
tentang ilmu retorika, yang di aplikasikan dalam pelajaran drama,
puisi,sejarah,hukum,filsafat dan retorika.
Bagi
Quintilian, kesempurnaan oratoris / retorika tergantung pada keluhuran moral dari
sang orator itu sendiri (William M.Smail, Quintilian on
Education.1966). untuk mempengaruhi publik pendengar atau audience
orator seyogyanya harus dipercaya terlebih dahulu. Pemikiran, program dan teori
– teori Quintilian secara signifikan diaplikasikan pada sistem pendidikan Barat
pada sistem pembelajaran dan pengajarannya. Untuk mengantisipasi kebutuhan para
pendidik modern terahdap perbedaan individual pelajar Quintilian
merekomendasikan bahwa pembelajaran yang dirancang mestinya sesuai dengan kefahaman
dan kemampuan dari pelajar/siswa. Dia juga merekomendasikan bahwa guru harus
memotivasi para siswa serta dapar menciptakan dan mengkondisikan pembalajaran
yang menarik dan attraktif.
Berikut ini adalah
tabel yang menunjukkan cakupan pendidikan pada periode Pendidikan Masyarakat
Romawi .
Kelompok/masyarakat sejarah dan periode
|
Tujuan Pendidikan
|
Kurikulum
|
Agen
|
Pengaruh Terhadap Pendidikan Barat
|
ROMAWI
750 – 450 sm
|
· Untuk mengembangkan pemahaman dan tanggung jawab
kewarganegaraan dalam sistem republik yang kemudian berubah menjadi kerajaan.
· Untuk mengembangkan kecakapan pada tatanan sistem
adminstrasi dan militer.
|
Bacaan , tulisan,aritmatika,hhukum
dua belas tabel,hukum, dan filsafat.
|
Sekolah umum dan sekolah khusus,
guru,sekolah – sekolah retorika.
|
Penekanan pada kemampuan untuk
menggunakan pendidikan untuk pengembangan kecakapan administrasi, berkaitan
dengan pendidikan dan tanggung jawab kewarganegaraan
|
Berikut
ini merupakan landasan filosofis dan historis pendidikan pada zaman Romawi:
a. Landasan Filosofis Pendidikan Zaman Romawi
Adanya
kebutuhan dalam pembenahan administrasi, hukum, dan diplomasi/politik yang
diperlukan untuk mempertahankan tatanan kerajaan yang telah
mereka bangun melalui pendidikan , politik praktis dan kemampuan
administrasi yang diaplikasikan melalui pembelajaran retorika, oratoris yang
kemudian di kembangkan oleh Cicero dan Quintilian di bawah kendali imperium.
b. Landasan Historis Pendidikan Zaman Romawi
Jika
bangsa Yunani terfokus pada filsafat, maka Bangsa Romawi justru sangat tertarik
dengan pendidikan , politik praktis dan kemampuan administrasi. Pendidikan
ideal bagi bangsa Romawi diberikan teladan dan contoh oleh konsep orator, yakni
Isocrates. Orator Romawi merupakan orang – orang yang terdidik yang liberal dan
berpandangan luas didalam kehidupan kemasyarakatan yang menjelma sebagai
senator, pengacara, pegawai negeri sipil, dan politisi. Cicero dan Quintilian
ialah tokoh yang sangat berpengaruh di zaman tersebut.
Cicero
menghasilkan sebuah karya, yaitu : “ de Oratore”mengkombinasikan
konsep – konsep Romawi dan Yunani terhadap konsep manusia yang terdidik (Aubrey
Gwynn, 1966). Konsep Romawi menyebutkan bahwa hasil – hasil latihan orator
adalah dengan memenangkan debat dan argumen – argumen di sebuah
forum. Cicero menambahkan pandangan Yunani terhadap pendidikan retorika dengan
menekankan budaya kebebasan dan universalitas atau humanitas. Cicero
merekomendasikan bahwa setiap orator, sebagai manusia yang berfikir rasional,
seharusnya dididik dengan seni kebebasan dan seharusya menggunakan
pendidikan yang mereka perolah untuk kepentingan masyarakat umum. Cicero juga
menganjurkan pada para pendidik untuk mengajarkan unsur – unsur kebahasaan
seperti tata bahasa, puisi dan sastra.
Sedangkan Quintilian Pada tahun 94 sm berdiri lahQuintilian’s
Institute Oratoria yang memfokuskan pada teori retorika, penyelidikan
tentang retorika, pendidikan retorika, kemampuan berdeklamasi dan berbicara di
depan publik. Quintilian mengenalkan bahwa pembelajaran harus berdasarkan pada
tingkat / taraf dari perkembangan dan tahapan pertumbuhan manusia. Adapun
tingkatan yang dimaksud berdasrkan teori Quintilian ada 3 tahap yakni ;
Tahap Pertama, ditahapan ini usia potensial untuk
dilakukan pembelajaran berusia dari lahir sampai pada usia tujuh tahun. Anak
diberikan kepedulian, perhatian dan dipenuhi segala kebutuhan dasarnya.
Termasuk menggunakan jasa pelayan / pengasuh dari Yunani, sehingga dengan
mendengarkan dan memahami dari usia dini tentang cara pengucapan yang benar dan
cara bertutur yang benar pula diharapkan menghasilkan anak – anak berbakat di
bidang orator dan retorika di masa depan.
Tahap Kedua, pembelajarn pada tahapan ini dimulai dari (7) usia tujuh tahun
sampai dengan (14) empat belas tahun. Di tahapan ini, anak – anak belajar dari
pengalaman – pengalaman yang bermanfaat, membentuk ide – ide yang jelas, dan
melatih ingatan mereka. Anak – anak mampu menuliskan bahasa yang mereka gunakan
dalam bertutur.
Tahap Ketiga, pembelajaran diusia 15 tahun sampai dengan dewasa dan matang
ini, Quintilian menekankan pembelajaran pada seni beraliran bebas serta tata
bahasa Yunani dan Latin pada tingkat sekolah menengah atas. Termasuk sastra
Yunani dan Romawi, sejarah,mitologi,musik,geometri,astronomi,dan gimnastik
dipelajari juga. Setelah mempelajari tata bahasa dan seni bebas orator yang
berpotensial lalu belajar tentang ilmu retorika, yang di aplikasikan dalam
pelajaran drama, puisi,sejarah,hukum,filsafat dan retorika.
4. PENGARUH PEMBALAJARAN ISLAMIS ARAB PADA
PENDIDIKAN BARAT
Pada
abad ke 10 dan 12, Sistem pembalajaran Arab memiliki pengaruh nyata terhadap
perkembangan pendidikan barat (western). Terutama sekali pada evolusi dari
sistem sekolah abad pertengahan ( dibawah pemikiran filosofis pembelajaran
menengah dan tinggi). Dari adanya persentuhan dengan pelajar – pelajar dan
sarjana – sarjana dari Arab di Utara Afrika dan Spanyol, pendidik dari Barat
belajar cara dan pemikiran baru tentang matematika, ilmu pengetahuan alam,
farmasi, dan filsafat.
Ilmu
pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan yang lainnya dari Arab berakar dari
refolusi keagamaan yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW yang telah mengenalkan
Agama Islam. Yang kemudian disebarkan oleh pengikutnya melalui Afrika Utara dan
Spanyol dan wilayah – wilayah lainnya. Beberapa kontribusinya antara lain : 1)
pengembangan dalam ilmu pengetahuan matematika, 2) Penerjemahan literatur
Yunani kedalam bahasa Arab.
5. BUDAYA DAN PENDIDIKAN PADA ABAD PERTENGAHAN
Tahun – tahun antara kejatuhan
Roma dan bangkitnya era Renaissance telah ditandai oleh ahli – ahli sejarah
sebagai abad pertengahan atau periode pertengahan. Era dari budaya dan
pendidikan Barat ini mulai dari akhir periode klasik dari Yunani Kuno dan
Romawi dan berakhir pada awal era modern.
Periode pertengahan pertama – tama
dicirikan dengan sebuah penolakan terhadap pembelajaran dan kemudian suatu
kebangkitan kembali dari pendidik – pendidik sistem sekolah. Dengan tidak
adanya kekuatan; kewenangan politik berpusat; tatanan kehidupan , , sosial
kemasyarakatan, dan pendidikan telah dibawa dan diarahkan pada suatu tiruan dan
penyatuan oleh gereja Katolik Latin dibawah pimpinan Paus di Roma.
Selama periode ini, tradisi
pembelajaran pada tingkat dasar diadakan oleh pendeta / jemaah gereja, koor
nyayian gereja, sekolah – sekolah biara, di bawah arahan gereja
pembantu/wilayah. Sedangkan pada tingkat menengah diadakan oleh, antara sekolah
– sekolah biara dan sekolah katedral yang menawarkan sebuah kurikulum umum.
Sekolah yang menyediakan pendidikan dasar juga sama baiknya dalam melakukan
pelatihan yang dilakukan oleh ahli serikat gereja dan juga pedagang.
Para ksatria / prajurit menerima pelatihan mereka didalam taktik militer dan
kode kesatriaan dan kesopanan di istana.Pada periode pertengahan ini dikenal
pula tokoh pendidik yakni ; Aquinas.
Aquinas : Pendidikan Sistem
Skolastik
Pada abad ke 12 ini,
pendidik pertengahan telah mengembangkan sistem skolastik, yakni suatu metode
penyelidikan/inquiri, ilmu pengetahuan, dan pengajaran.
Para praktisi dan pelaku
pendidikan pada sekolah dalam hal ini yang merupakan pengajar ialah para kaum
pendeta dipanggil dan dipercaya dalam keagamaan dan dan menjadi alasan sebagai
sumber pelengkap akan kebenaran. Mereka menerima kitab Injil dan tulisan –
tulisan dari pendeta – pendeta / Bapa gereja sebagai sumber dari kata dan
pernyataan Tuhan dan alasan sebagai manusia yang dipercaya. Ahli skolastik
percaya bahwa pemikiran dan otak manusia dapat mengambil kesimpulan terhadap
pelajaran jika memiliki sandaran dan sumber dari kitab suci mereka. Ketika ahli
skolastik tersebut menemukan pekerjaan yang telah dilakukan oleh Aristotle dan
dan filsuf Yunani lainnya yang mengadopsi sistem dan pembelajaran Arab, mereka
akhirnya menemui permasalahan dan tantangan terhadap perdamaian dari tinjauan
filsafat dan prinsip – prinsip keagamaan.
Saint Thomas Aquinas, seorang ahli
teologi Dominika, berkonsentrasi pada ajaran bahwa perlu mengkombinasikan dan
mengupayakan penyatuan secara damai antara kepercayaan yang bersumber pada
kitab Injil dan prinsip – prinsip rasionalitas dari Yunani yang
diwakili oleh ajaran Aristotle, dalam memahami hubungan antara tuhan dan
manusia juga termasuk prinsip – prinsip ketuhanan agama kristen.
Di dalam karyanya yang
berjudul De Magistro atau Tentang Guru, Aquinas mendiskusikan
dan menyebutkan pekerjaan guru salah satunya ialah mengombinasikan agama, cinta
– kasih sayang, dan pembelajaran (John W.Donohu, St.Thoma Aquinas and
Education.1968). Aquinas juga mengenalkan tentang pendidikan informal
dan pendidikan formal. Menurut dia pendidikan informal harus menghubungkan
penuh hati – hati dengan disiplin dari sekolah formal.
Pendidikan informal meliputi semua
agen dan pelaksana yang mungkin terlibat dengan siswa seperti keluarga, teman,
dan lingkungan, yang dapat mengembangkan dan meningkatkan keunggulan dan
kebajikan individu/siswa. Sementara itu, sekolah, sebagai pelaksana pendidikan
formal melakukan proses pembelajaran melalui pembelajaran formal. Ia menyatakan
bahwa guru harus memilih dan menseleksi bahasa yang efektif yang digunakan
untuk menyampaikan pelajaran kepada siswa. Di dalam hal kurikulum Aquinas
mengikuti tradisi seni bebas/liberal yang muatan kurikulum nya yaitu : Logika,
Matematika, Filsafat alam dan moral, metafisika, dan teologi yang disusun bagi
perguruan dan sekolah yang lebih tinggi.
Para ahli skolastik dan Aquinas
telah mendefinisikan ide – ide tentang makna pendidikan, ilmu pengetahuan alam,
dan tujuan sekolah. Bagi ahli skolastik, ilmu pengetahuan bersumber dari dua
hal sebagai pelengkap dan pendukung yang menguntungkan yakni : kepercayaan
(keagamaan) dan akal. Oleh karena itu maka sistem pendidikan yang
disusun berdasarkan ajaran agama (kristen) yang bersumber dari kitab Injil dan
diaplikasikan oleh unsur – unsur gereja. Dan sebagai tambahan bahwa akibat dari
adanya peperangan salib maka terjadi persentuhan dalam bidang pendidikan dan
kemudian sistem tersebut diadopsi yang berasal dari Sistem sekolah Arab dan
Yunani Byzantine yang memiliki para pakar pendidik seperti
Aristotle, Euclid, Ptolemy, Galen, dan Hippokrates. Beberepa universitas yang
berdiri antara abad 12 dan 15 masehi yakni ; Universitas Padua dan
Universitas Naples di Italia, Universitas Montpellier, Orleans, dan Toulouse di
Perancis, Universitas Oxford, Cambridge di Inggris, Universitas Erfurt,
Heidelberg, dan Cologne di Jerman, Universitas St.Andrew dan Aberdeen di
Skotlandia, Eropa. Dll.
6. Pendidikan Humanisme Klasik Era Renaissance.
Renaissance
yang terjadi pada abad ke 14 masehi dan puncaknya pada abad ke 15 menjadi saksi
terhadap ketertarikan manusia terhadap aspek – aspek ke manusiaan Yunani dan
Latin. Zaman ini juga merupakan periode transisi antara era pertangahan dan era
modern. Praktisi pendidikan yang beraliran humanis klasik Renaisance memiliki
kesamaan dengan model skolastik abad pertengahan, menemukan para pendahulu dari
ahli – ahli pendidikan mereka di masa lalu dan menekankan pada naskah – naskah
klasik sebagai tolok ukur dan sumber sistem pendidikan mereka (artinya bahwa
mereka mengadopsi dan memperbaharui sistem pendidikan dari Yunani, Latin bahkan
Romawi) . Mekipun begitu, tidak seperti para ahli skolastik, pendidik beraliran
humanis lebih tertarik dengan pengalaman – pengalaman kebumian manusia daripada
pandangan bahwa Tuhan sebagai pusat dunia satu - satunya. Ahli yang ada pada
periode ini seperti Dante, Petrarch, dan Boccaccio.
Pengaruh
dari Renaisance nampak sangat di Itali yang memfokuskan pembangunan dan
pendidikan mereka pada bidang seni, sastra dan arsitektur, yang lalu
memproklamirkan bahwa mereka adalah “penjaga ilmu pengetahuan”.
Di
sisi lain, pendidikan humanis klasik menantang model skolastik / sekolahan yang
lebih dahulu ada. Pihak istana yang merupakan didikan logika skolastik tidak
lagi menjadi model orang yang berpendidikan. Berikut ini salah satu pakar
pendidik di era Renaissance:
Erasmus
: Sang Pelopor Reformasi yang Kritis
Dia
yang lahir di Rotterdam , Belanda tahun 1465 – 1536 masehi merupakan pelopor
sistem pendidikan sekolah klasik ala Renaissance. Kritisinya tentang
pembelajaran klasikal bahasa ialah dia menasehatkan bahwa guru seharusnya
menghubungkan dengan baik antara pembelajaran bahasa dengan arkeologi, astronomi,
etimologi, sejarah, dan kitab Injil. Alasannya ialah bahwa pada wilayah ini
berkaitan dengan penyelidikan literature klasik.
Berkenaan
dengan pentingnya masa kanak – kanak, Erasmus merekomendasikan bahwa pendidikan
bagi anak – anak harus dimulai secepat dan sedini mungkin. Orang Tua
memiliki tanggung jawab sangat vital bagi pendidikan anak – anak mereka. Anak
seharusnya menerima pembelajaran denga cara – cara yang baik dan (seperti)
mendengarkan cerita – cerita yang bermanfaat terhadap perkembangan kepribadian
mereka. Erasmus yakin bahwa memahami makna dan isi lebih penting daripada
penguasaan gaya dan tata bahasa. Siswa seharusnya mengerti makna melalui ;
percakapan dari bahasa yang akan membuat pembelajaran menjadi menarik,
permainan dan adu pertunjukkan juga dianjurkan.
Erasmus
sangat peduli dengan isi dan tidak hanya gaya yang tampak terihat dengan jelas
pada metode pengajarannya. Bagi pengajar bahasa dia merekomendasikan, guru
semestinya ; 1) mempresentasikan biografi pengarang, 2) menguji jenis – jenis
tema dari pelajaran yang diterima siswa, 3) mendiskusikan alur dasar (cerita),
4) menganalisa gaya penulis, 5) memperhatikan pelajaran moral dari pelajaran
yan dipelajari, 6) menjelaskan isu – isu filosofis yang timbul dari pelajaran
yang dipelajari.
7. Reformasi Keagamaan dan Pendidikan
Reformasi
keagamaan pada ke 15 dan 17 berhubungan dengan kritisi dari lembaga kaum
humanis dari utara Eropa. Kebangkitan dari kelas ekonomi / srata
menengah dan bersamaan dengan kebangkitan kebangsaan nasional merupakan faktor
yang juga sangat penting. Meskipun begitu, bagaimanapun juga, para pelaku
reformasi keagamaan dalam hal ini agama Protestan seperti ; John Calvin, Martin
Luther, Philip Melanchthon, dan Ulrich Zwingli mencari kebebasan bagi dirinya
sendiri dan pengikutnya dari kekuasaan Paus dan merekonstruksi doktrin dan
bentuk keagamaan yang mereka yakini.para pereformasi ini dikenal dengan aliran
humanisme klasik yang mencari cara untuk mengembangkan lembaga dan landasan filosofis
pendidikan yang akan mendukung ketercapaian reformasi keagamaan mereka secara
total.
Pereformasi
Protestan ini secara signifikan membentuk / membingkai pengembangan filosofis
dan lembaga pendidikan pada masa tersebut. Banyaknya bermunculan sekte – sekte
keagamaan mampu mengembangkan toeri – teori pendidikan mereka sendiri,
mendirikan sekolah – sekolah mereka, menyusun kurikulumnya, dan mencari jalan
untuk meyakinkan anak – anak mereka terhadap kebenaran ajaran dari reformasi
keagamaan (Kristen Protestan ) yang mereka yakini dan diajarkan kepada mereka.
Pengaruh
kuat secara umum dari Reformasi Protestan terhadap pendidikan adalah sebuah
dorongan terhadap tingkatan kesustraan yang lebih luas diantara segenap
masyarakat. Kebanyakan dari pereformasi tersebut memaksakan bahwa orang – orang
yang beriman / percaya harus membacakan kItab Injil dalam bahasa ibu
(daerah) mereka.
Komitmen
untuk mempertahankan kepercayaan juga memiliki peranan penting dengan
menggunakan metode yang mudah diingat dan menarik dari pembelajaran keagamaan
seperti penggunaan sebuah buku yang merangkum prinsip – prinsip keagamaan
Kristen yang diinterpretasikan dengan satuan – satuan yang beragam kedalam
bentuk pertanyaan dan jawaban yang sistematis. Metode ini diyakini
bahwa sebagai suatu hasil dari metode yang menarik dan mudah maka dalam hal
menghafal / mengingat pelajaran siswa dapat menyerap prinsip – prinsip
keagamaan yang mereka yakini. Sekolah – sekolah Vernakular (lembaga pendidikan
dasar yang menawarkan kurikulum ; membaca (reading), menulis (writing),
aritmatika, dan agama) digunakan untuk menciptakan kelas – kelas dasar dari
sastra, pembelajaran bahasa yang merupakan alat komunikasi dari komunitas
tersebut.
Sekolah
Vernakular (sekolah di daerah yang mengajarkan bahasa daerah) di
Inggris, contohnya, menggunakan bahasa Inggris dalam pengajaran bahasanya, juga
bermacam – macam jenis sekolah menengah yang dipertahankan untuk mendidik kelas
yang lebih tinggi di Latin dan Yunani. Pembelajaran gimnastium di Jerman, tata
bahasa Latin di Inggris, dll. Adalah contoh perguruan tinggi yang mempersiapkan
dan melatih siswanya untuk menjadi pemimpin – pemimpin elit.
Meskipun
ada banyak sekali para pelopor reformasi Protestan dan pereformasi yang
bertentangan Katolik Roma, perhatian khusus diberikan kepada Martin Luther,
Sang Pendukung Reformasi, atas ide – idenya dalam bidang pendidikan dan
reformasi keagamaan dan dalam membentuk tatanan budaya Barat. Pada tahun 1517
Lutrher memakukan suratnya yang terkenal “ ninety – five theses” ke
pintu benteng gereja di Wittenberg. Sejak saat itu Luther terlibat dalam
rangkaian tindakan dan gerakan untuk menentang pihak gereja Katolik Roma dan
juga Paus yang berkenaan dengan perihal kemanjaan, kewenangan Paus , dan
kebebasan untuk bersuara sesuai hati nurani.
Luther
yang merupakan seorang professor pada sebuah universitas, mengenalkan bahwa
reformasi pendidikan ialah sebuah kekuatan gabungan dari reformasi keagamaan.
Pihak gereja, negara, keluarga, dan sekolah adalah agen dari reformasi.
Keluarga
merupakan agen penting dalam membentuk karakter anak – anak dengan memahamkan
nilai – nilai kekristenan. Dia menganjurkan skala prioritas bagi orang tua
untuk mengajarkan membaca dan nilai – nilai agama pada anak – anak mereka.
Setiap kelurga keluarga seharusnya berdoa bersama – sama, membaca kitab Injil,
mempelberjari katekismus dan melatih kemampuan berwirausaha. Luther percaya dan
berpendapat bahwa pejabat publik sebagai pemangku kebijakan harus disadarkan
terhadap tanggung jawab pendidikan mereka bagi masyarakat. Surat
yang berjudul “ Letter to the Mayors and Aldermen of All Cities of
Germany in Behalf of Cristian School” – surat untuk para
walikota dan anggota dewan (penyusun undang – undang) di seluruh kota di Jerman
untuk kepentingan Sekolah – sekolah Kristiani – menekankan
muatan pengajaran / muatan kurikulum nya pada ; nilai – nilai spiritual,
materi, dan manfaat – manfaat politik yang berasal dari sekolah.
Sekolah yang merupakan tempat untuk menghasilkan masyarakat yang terpalajar dan
sebagai anggota gereja. Mereka akan mempersiapkan menteri – menteri terlatih
yang akan memimpin kaum mereka dalam reformasi keagamaan
kristianinya. Pandangan Luther tentang sosial, keagamaan, dan kedudukan
pendidikan bagi perempuan secara substansial tidak berbeda dengan pandangan
dari abad pertengahan. Dia meyakini bahwa seorang suami sebagai pemimpin rumah
memiliki otoritas penuh terhadap istrinya.
Didalam
penerapan reformasi pendidikannya, Luther dibantu oleh Philip Melanchton.
Keduanya menginginkan untuk mengakhiri tindakan monopoli dari
gereja Katolik Roma melalui pendidikan dan sekolah – sekolah formal.
Mereka mengharapkan negara untuk mengawasi sekolah – sekolah dan melisensi guru.
Pada tahun 1559 m Melancthon membuat draf undang – undang dan peraturan –
peraturan sekolah Wurtemberg yang kemudian menjadi model bagi negara Jerman.
Sekolah – sekolah daerah didirikan disetiap desa untuk mengajarkan agama,
membaca, menulis, aritmatika dan musik. Pada sekolah menengah di ajarkan
gimnastium dan pada tingkat yang lebih tinggi diajarkan bahasa secara klasikal.
Sementara itu dalam hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam mereka
menggunakan sandaran pada kitab Injil.
8. Pengaruh Pencerahan terhadap Pendidikan Barat
Para
filsuf, ilmuwan, dan sarjana dari era Pencerahan dengan jelas meyaikini bahwa
adalah hal yang mungkin bagi manusia untuk mengembangkan kehidupan mereka,
lembaga – lembaga mereka, dan keadaan mereka dengan menggunakan akal mereka
dalam memecahkan segala persoalan. Misalnya, penggunaan metode ilmiah, para
ilmuwan merumuskan tentang aturan – aturan / hukum alam.
Ahli
– ahli terpelajar yang ada di era ini seperti Diderot, Rousseau, Franklin, dan
Jefferson yang komitmen terhadap pandangan bahwa manusia sedang maju dan
menyongsong kearah sebuah dunia baru yang lebih baik. Jika manusia mengikuti
alasan dan menggunakan metoda ilmiah, hal ini akan memungkinkan untuk
melanjutkan kemajuan – kemajuan diplanet ini. Lebih khusus dalam pendidikan
pada kurikulum sekolah mereka menekankan pada individualisme, persamaan
derajat/penyetaraan, tanggung jawab kewarganegaraan, dan pemikiran
intelektualitas.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kita telah menguji pertanyaan – pertanyaan sesuai konteks
sejarah (pendidikan) yang berkenaan dengan pembelajaran dan pengajaran yang
alamiah yang dirumuskan pada awal makalah ini. Apakah pengetahuan? Apa yang
dimaksud dengan pendidikan? Apakah yang dimaksud dengan sekolah ? siapa yang seharusnya
hadir di sekolah? Bagaimanakah pengajaran dan pembelajaran seharusnya
ditangani?
Dengan jelas, beberapa jawaban yang diberikan oleh para pakar
pendidik dimasa lalu telah mempengaruhi kita di masa kini. Meskipun
tanggapan dari jawaban tersebut diterjemahkan dengan tidak lengkap dan bersifat
ambigu.
Asal dari pendidikan Amerika yang telah ditemukan oleh
pengalaman pendidik di Eropa. Meskipun hubungan antara pendidikan pada
masyarakat primitif dan masyarakat Amerika sangatlah berbeda tipis. Sekolah,
yang telah melalui abad dari sejarah manusia, telah melibatkan tingkatan dan
derajat perpindahan dari warisan budaya dari generasi ke generasi berikutnya.
Corak dan ciri ini telah ditemukan pada pendidikan primitif dan modern. Pada
Yunani kuno, konsep manusia terpelajar/terdidik, penyelidikan dengan landasan
rasionalitas, dan kebebasan berpikir yang telah dicetuskan oleh Socrates,
Plato, dan Aristotle.
Ide – ide pendidikan retorika telah dikembangkan oleh ahli –
ahli filsafat yang disarikan oleh Isocrates, Cicero dan Quintilian.
Sementara itu selama periode abad pertengahan peletak
dasar dari universitas – universitas modern dibentuk / didirikan di Bologna dan
Paris. Pendidikan pertengahan dipengaruhi oleh suatu tingkatan matematika dan
kontribusi ilmu pengetahuan yang telah memasuki dunia Barat dari sebuah jalan
dari Arab. Konsep manusia terdidik yang liberal dikembangkan oleh ahli pendidik
humanis klasik era Renaissance. Dengan penekanan terhadap melek hurufnya dan
pendidikan ala sekolah (pendidikan) daerah/vernakular, pereformasi protestan
memiliki pengaruh langsung terhadap sekolah yang telah dibentuk di kolonial
Amerika. Ide – ide pencerahan khususnya berpengaruh di Amerika setelah perang
revolusioner, tapi mereka meneruskan untuk mempengaruhi pendidikan khususnya
Amerika hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ornstein,c.Allan and
Levine, U.Daniel. An Introduction to the Foundations of Education;
third edition. Houghton Mifflin Company, Boston, New Jersey. 1884.
United Stated of America.
Landasan Historis
Pendidikan di Indonesia
LANDASAN HISTORIS
PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA
PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA
I. PENDAHULUAN
Secara umum, pendidikan merupakan segala pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup. Secara khusus,
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan
pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan, yang
berlangsung di dalam dan luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan
peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup
secara tepat di masa yang akan datang (Mudyaharjo, 2008: 3, 11).
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya yang Pancasilais yang dimotori oleh pengembangan afeksi,
seperti sikap suka belajar, tahu cara belajar, rasa percaya diri, mencintai
prestasi tinggi, punya etos kerja, kreatif dan produktif, serta puas akan
sukses yang akan dicapai (Pidarta, 2007: viii)
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka secara formal dimulai sejak
Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya kepada dunia pada tanggal 17 Agustus
1945. Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka ini merupakan kelanjutan dari
cita-cita dan praktek-praktek pendidikan masa lampau yang tersurat atau
tersirat masih menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan ini (Mudyaharjo, 2008:
214)
Dalam proses pertumbuhan menjadi negara maju, Indonesia telah
mengalami pelbagai perubahan, termasuk bidang pendidikannya.
Perubahan-perubahan itu merupakan hal yang wajar karena perubahan selalu
dipengaruhi oleh berbagai factor yang bisa berganti selaras dengan perkembangan
serta tuntutan zaman pada saat itu. Tidaklah mengherankan apabila system
pendidikan yang kita anut segera setelah merdeka adlah sistem kontinental
karena kontak kita pada saat itu adlah dengan negara-negara Eropa, khususnya
negeri Belanda (Dardjowidjojo, 1991: ix)
Pengambilalihan sistem kontinental itu tentu kita lakukan dengan
penuh kesadaran bahwa sistem tersebut belum tentu cocok dan langgeng dengan
perkembangan pendidikan yang kita kehendaki.
Setelah kita merdeka dan menerapkan sistem pendidikan kontinental
sekitar lima windu, kita dapati bahwa pendidikan dengan sistem Eropa tidak
cocok lagi dengan tuntutan perkembangan zaman (Dardjowodjojo, 1992: 1).
Proses pendewasaan pun berlanjut, dan pengalaman telah banyak
mengajarkan kepada kita untuk memetik mana yang baik dan mana yang buruk.
Keadaan politik nasional dan internasional, perekonomian dunia, hubungan antar
bangsa, dan peran yang dimainkan bangsa Indonesia pun bergeser dan berubah,
yang sedikit banyak mendorong kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian
tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini meliputi:
A. Apa yang menjadi landasan historis Pendidikan Nasional
Indonesia?
B. Apa implikasi konsep pendidikan yang bersumber dari landasan
historis ini?
II. LANDASAN HISTORIS KEPENDIDIKAN DI INDONESIA
Sejarah atau history keadaan masa lampau dengan
segala macam kejadian atau kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu.
Sejarah penuh dengan informasi-informasi yang mengandung kejadian, model,
konsep, teori, praktik, moral, cita-cita, bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007:
109).
Informasi-informasi di atas merupakan warisan generasi terdahulu
kepada generasi muda yang tidak ternilai harganya. Generasi muda dapat belajar
dari informasi-informasi ini terutama tentang kejadian-kejadian masa lampau dan
memanfaatkannya untuk mengembangkan kemampuan diri mereka. Sejarah telah
memberi penerangan, contoh, dan teladan bagi mereka dan semuanya ini diharapkan
akan dapat meningkatkan peradaban manusia itu sendiri di masa kini dan masa
yang akan datang.
Misalnya, Indonesia dan negara-negara lainnya pada tahap awal
perkembangan ekonomi mereka telah mengembangkan sistem pendidikan yang baik dan
berdasarkan kebudayaan tradisional. Pada masa kolonial, sistem pendidikan
berkembang dengan berdasar pada sistem pendidikan sebelumnya ini. Pada masa
modern seperti sekarang, sistem pendidikan yang berlaku juga berdasarkan
pengembangan dari sistem pendidikan kolonial (Williams, 1977: 17).
Dengan kata lain, tinjauan landasan sejarah atau historis
Pendidikan Nasional Indonesia merupakan pandangan ke masa lalu atau pandangan
retrospektif (Buchori, 1995: vii). Pandangan ini melahirkan studi-studi
historis tentang proses perjalanan pendidikan nasional Indonesia yang terjadi
pada periode tertentu di masa yang lampau.
Perjalanan sejarah pendidikan di tanah air yang sangat panjang,
bahkan semenjak jauh sebelum kita menacapai kemerdekaan pada tahun 1945, baik
sebagai aktivitas intelektualisasi dan budaya maupun sebagai alat perjuangan
politik untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonialisme, telah diwarnai
oleh bermacam-macam corak (Sigit, 1992: xi) . Menjelang 64 tahun Indonesia
merdeka, dengan system politik sebagai penjabaran demokrasi Pancasila di Era
Reformasi ini yang telah mewujudkan pola Pendidikan Nasional seperti sekarang,
kita mulai dapat melihat dengan ke arah mana partisipasi masyarakat dalam ikut
serta menyelenggarakan pendidikan itu. Semua corak tersebut memiliki pandangan
atau dasar pemikiran yang hampir sama tentang pendidikan; pendidikan diarahkan
pada optimasi upaya pendidikan sebagai bagian integral dari proses pembangunan
bangsa.
Di samping itu, pendidikan memiliki peranan strategis menyiapkam
generasi berkualitas untuk kepentingan masa depan. Pendidikan dijadikan sebagai
institusi utama dalam upaya pembentuk sumber daya manusia (SDM) berkualitas
yang diharapkan suatu bangsa. Apalagi kini semakin dirasakan bahwa SDM
Indonesia masih lemah dalam hal daya saing (kemampuan kompetisi) dan daya
sanding (kemampuan kerja sama) dengan bangsa lain di dunia (Anzizhan, 2004: 1).
Dengan demikian, setiap bidang kegiatan yang ingin dicapai manusia
untuk maju, pada umumnya dikaitkan dengan bagaimana keadaan bidang tersebut
pada masa yang lampau (Pidarta, 2007: 110). Demikian juga halnya dengan bidang
pendidikan. Sejarah pendidikan merupakan bahan pembanding untuk memajukan
pendidikan suatu bangsa.
Berikut ini adalah pembahasan landasan sejarah kependidikan di
Indonesia yang meliputi:
A. SEJARAH PENDIDIKAN DUNIA
Perjalanan sejarah pendidikan dunia telah lama berlangsung, mulai
dari zaman Hellenisme (150 SM-500), zaman pertengahan (500-1500), zaman
Humanisme atau Renaissance serta zaman Reformasi dan Kontra Reformasi (1600-an).
Namun pendidikan pada zaman ini belum memberikan kontribusinya pada pendidikan
zaman sekarang (Pidarta, 2007: 110). Oleh karena itu, pendidikan pada zaman ini
tidak dijabarkan dalam makalah ini.
Makalah ini membahas sejaran pendidikan dunia yang meliputi
zaman-zaman: (1) Realisme, (2) Rasionalisme, (3) Naturalisme, (4)
Developmentalisme, (5) Nasionalisme, (6) Liberalisme, Positivisme, dan
Individualisme, serta (7) Sosialisme.
1. Zaman Realisme
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan alam yang didukung oleh
penemuan-penemuan ilmiah baru, pendidikan diarahkan pada kehidupan dunia dan
bersumber dari keadaan dunia pula, berbeda dengan pendidikan-pendidikan
sebelumya yang banyak berkiblat pada dunia ide, dunia surga dan akhirat.
Realisme menghendaki pikiran yang praktis (PIdarta, 2007: 111-14). Menurut
aliran ini, pengetahuan yang benar diperoleh tidak hanya melalui penginderaan
semata tetapi juga melalui persepsi penginderaan (Mudyahardjo, 2008: 117).
Tokoh-tokoh pendidikan zaman Realisme ini adalah Francis Bacon dan
Johann Amos Comenius. Sedangkan prinsip-prinsip pendidikan yang dikembangkan
pada zaman ini meliputi:
Ø Pendidikan lebih dihargai daripada pengajaran,
Ø Pendidikan harus menekankan aktivitas sendiri,
Ø Penanaman pengertian lebih penting daripada hafalan,
Ø Pelajaran disesuaikan dengan perkembangan anak,
Ø Pelajaran harus diberikan satu per satu, dari yang paling mudah,
Ø Pengetahuan diperoleh dari metode berpikir induktif (mulai dari
menemukan fakta-fakta khusus kemudian dianalisa sehingga menimbulkan simpulan)
dan anak-anak harus belajar dari realita alam,
Ø Pendidikan bersifat demokratis dan semua anak harus mendapatkan
kesempatan yang sama untuk belajar (ibid.: 111-14).
2. Zaman Rasionalisme
Aliran ini memberikan kekuasaan pada manusia untuk berfikir
sendiri dan bertindak untuk dirinya, karena itu latihan sangat diperlukan
pengetahuannya sendiri dan bertindak untuk dirinya. Paham ini muncul karena
masyarakat dengan kekuatan akalnya dapat menumbangkan kekuasaan Raja Perancis
yang memiliki kekuasaan absolut.
Tokoh pendidikan pada zaman ini pada abad ke-18 adalah John Locke.
Teorinya yang terkenal adalah leon Tabularasa, yaitu
mendidik seperti menulis di atas kertas putih dan dengan kebebasan dan kekuatan
akal yang dimilikinya manusia digunakan unutk membentuk pengetahuannya sendiri.
Teori yang membebaskan jiwa manusia ini bisa mengarah kepada hal-hal yang
negatif, seperti intelektualisme, individualisme, dan materialisme (ibid.:
114-15).
3. Zaman Naturalisme
Sebagai reaksi terhadap aliran Rasionalisme, pada abad ke-18
muncullah aliran Naturalisme dengan tokohnya, J. J. Rousseau. Aliran ini
menentang kehidupan yang tidak wajar sebagai akibat dari Rasionalisme, seperti
korupsi, gaya hidup yang dibuat-buat dan sebagainya. Naturalisme menginginkan keseimbangan
antara kekuatan rasio dengan hati dan alamlah yang menjadi gurr, sehingga
pendidikan dilaksanakan secara alamiah (pendidikan alam) (ibid.: 115-16).
Naturalisme menyatakn bahwa manusia didorong oleh kebutuhan-kebutuhannya, dapat
menemukan jalan kebenaran di dalam dirinya sendiri (Mudyaharjo, 2008: 118).
4. Zaman Developmentalisme
Zaman Developmentalisme berkembang pada abad ke-19. Aliran ini
memandang pendidikan sebagai suatu proses perkembangan jiwa sehingga aliran ini
sering disebut gerakan psikologis dalam pendidikan. Tokoh-tokoh aliran ini
adalah: Pestalozzi, Johan Fredrich Herbart, Friedrich Wilhelm Frobel, dan
Stanley Hall.
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh aliran ini meliputi:
Ø Mengaktualisasi semua potensi anakyang masih laten, membentuk
watak susila dan kepribadian yang harmonis, serta meningkatkan derajat social
manusia.
Ø Pengembangan ini dilakukan sejalan dengan tingkat-tingkat
perkembangan anak (Pidarta, 2007: 116-20) yang melalui observasi dan eksperimen
(Mudyahardjo, 2008: 114)
Ø Pendidikan adalah pengembangan pembawaan (nature) yang
disertai asuhan yang baik (nurture).
Ø Pengembangan pendidikan mengutamakan perbaikan pendidikan dasar
dan pengembangan pendidikan universal (Mudyaharjo, 2008: 114).
5. Zaman Nasionalisme
Zaman nasionalisme muncul pada abad ke-19 sebagai upaya membentuk
patriot-patriot bangsa dan mempertahankan bangsa dari kaum imperialis.
Tokoh-tokohnya adalah La Chatolais (Perancis), Fichte (Jerman), dan Jefferson
(Amerika Serikat).
Konsep pendidikan yang ingin diusung oleh aliran ini adalah:
Ø Menjaga, memperkuat, dan mempertinggi kedudukan negara,
Ø Mengutamakan pendidikan sekuler, jasmani, dan kejuruan,
Ø Materi pelajarannya meliputi: bahasa dan kesusastraan nasional,
pendidikan kewarganegaraan, lagu-lagu kebangsaan, sejarah dan geografi Negara,
dan pendidikan jasmani.
Akibat negatif dari pendidikan ini adalah munculnya chaufinisme, yaitu
kegilaan atau kecintaan terhadap tanah air yang berlebih-lebihan di beberapa
Negara, seperti di Jerman, yang akhirnya menimbulkan pecahnya Perang Dunia I
(Pidarta, 2007: 120-21).
6. Zaman Liberalisme, Positivisme, dan Individualisme.
Zaman ini lahir pada abad ke-19. Liberalisme berpendapat bahwa
pendidikan adalah alat untuk memperkuat kedudukan penguasa/pemerintahan yang
dipelopori dalam bidang ekonomi oleh Adam Smith dan siapa yang banyak
berpengetahuan dialah yang berkuasa yang kemudian mengarah pada individualisme.
Sedangkan positivisme percaya kebenaran yang dapat diamati oleh panca indera
sehingga kepercayaan terhadap agama semakin melemah. Tokoh aliran positivisme
adalah August Comte (ibid.: 121).
7. Zaman Sosialisme
Aliran sosial dalam pendidikan muncul pada abad ke-20 sebagai
reaksi terhadap dampak liberalisme, positivisme, dan individualisme.
Tokoh-tokohnya adalah Paul Nartrop, George Kerchensteiner, dan John Dewey.
Menurut aliran ini, masyarakat memiliki arti yang lebih penting
daripada individu. Ibarat atom, individu tidak ada artinya bila tidak berwujud
benda. Oleh karena itu, pendidikan harus diabdikan untuk tujuan-tujuan sosial
(ibid.: 121-24).
B. SEJARAH PENDIDIKAN INDONESIA
Pendidikan di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang.
Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno/tradisional yang dimulai dengan zaman
pengaruh agama Hindu dan Budha, zaman pengaruh Islam, zaman penjajahan, dan
zaman merdeka (ibid.: 125). Mudyahardjo (2008) dan Nasution (2008) menguraikan
masing-masing zaman tersebut secara lebih terperinci.
Berikut ini adalah uraian dan rincian perjalanan sejarah
pendidikan Indonesia:
1. Zaman Pengaruh Hindu dan Budha
Hinduisme and Budhisme datang ke Indonesia sekitar abad ke-5.
Hinduisme dan Budhisme merupakan dua agama yang berbeda, namun di Indonesia
keduanya memiliki kecenderungan sinkretisme, yaitu keyakinan
mempersatukan figur Syiwa dengan Budha sebagai
satu sumber Yang Maha Tinggi. Motto pada lambang Negara Indonesia yaituBhinneka
Tunggal Ika , secara etimologis berasal dari keyakinan tersebut
(Mudyahardja, 2008: 215)
Tujuan pendidikan pada zaman ini sama dengan tujuan kedua agama
tersebut. Pendidikan dilaksanakan dalam rangka penyebaran dan pembinaan
kehidupan bergama Hindu dan Budha (ibid.: 217)
2. Zaman Pengaruh Islam (Tradisional)
Islam mulai masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dan mencakup
sebagian besar Nusantara pada abad ke-16. Perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam di Nusantara, baik
sebagai agama maupun sebagai arus kebudayaan (ibid.: 221). Pendidikan Islam
pada zaman ini disebut Pendidikan Islam Tradisional.
Tujuan pendidikan Islam adalah sama dengan tujuan hidup Islam,
yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT sesuai dengan ajaran yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan
akhirat. (ibid.: 223)
Pendidikan Islam Tradisional ini tidak diselenggarakan secara
terpusat, namun banyak diupayakan secara perorangan melalui para ulamanya di
suatu wilayah tertentu dan terkoordinasi oleh para wali di Jawa, terutama Wali
Sanga.Sedangkan di luar Jawa, Pendidikan Islam yang dilakukan oleh
perseorangan yang menonjol adalah di daerah Minangkabau (ibid.: 228-41).
3. Zaman Pengaruh Nasrani (Katholik dan Kristen)
Bangsa Portugis pada abad ke-16 bercita-cita menguasai perdagangan
dan perniagaan Timur-Barat dengan cara menemukan jalan laut menuju dunia Timur
serta menguasai bandar-bandar dan daerah-daerah strategis yang menjadi mata
rantai perdagaan dan perniagaan (Mudyahardjo, 2008: 242).
Di samping mencari kejayaan (glorious) dan kekayaan (gold),
bangsa Portugis datang ke Timur (termasuk Indonesia) bermaksud pula menyebarkan
agama yang mereka anut, yakni Katholik (gospel). Pada akhirnya
pedagang Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu
dihasilkan. Namun kekuasaan Portugis melemah akibat peperangan dengan raja-raja
di Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun 1605 (Nasution,
2008: 4). Dalam setiap operasi perdagangan, mereka menyertakan para paderi
misionaris Paderi yang terkenal di Maluku, sebagai salah satu pijakan Portugis
dalam menjalankan misinya, adalah Franciscus Xaverius dari orde Jesuit.
Orde ini didirikan oleh Ignatius Loyola (1491-1556) dan memiliki
tujuan yaitu segala sesuatu untuk keagungan yang lebih besar dari Tuhan
(Mudyahardjo, 2008: 243). Yang dicapai dengan tiga cara: memberi khotbah,
memberi pelajaran, dan pengakuan. Orde ini juga mempunyai organisasi pendidikan
yang seragam: sama di mana pun dan bebas untuk semua. Xaverius memandang
pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama (Nasution, 2008: 4).
Sedangkan pengaruh Kristen berasal dari orang-orang Belanda yang
datang pertama kali tahun1596 di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan
tujuan untuk mencari rempah-rempah. Untuk menghindari persaingan di antara
mereka, pemerintah Belanda mendirikan suatu kongsi dagang yang disebut VOC (vreenigds
Oost Indische Compagnie)atau Persekutuan Dagang Hindia Belanda tahun 1602
(Mudyahardjo, 2008: 245).
Sikap VOC terhadap pendidikan adalah membiarkan terselenggaranya
Pendidikan Tradisional di Nusantara, mendukung diselenggarakannya
sekolah-sekolah yang bertujuan menyebarkan agama Kristen. Kegiatan pendidikan
yang dilakukan oleh VOC terutama dipusatkan di bagian timur Indonesia di mana
Katholik telah berakar dan di Batavia (Jakarta), pusat administrasi colonial.
Tujuannya untuk melenyapkan agama Katholik dengan menyebarkan agama Kristen
Protestan, Calvinisme (Nasution, 2008: 4-5).
4. Zaman Kolonial Belanda
VOC pada perkembangannya diperkuat dan dipersenjatai dan dijadikan
benteng oleh Belanda yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di
sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi
basis politik dan territorial. Setelah pecah perang kolonial di berbagai daerah
di tanakh air, akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan
Belanda (ibid.: 3).
Pada tahun 1816 VOC ambruk dan pemerintahan dikendalikan oleh para
Komisaris Jendral dari Inggris. Mereka harus memulai system pendidikandari
dasar kembali, karena pendidikan pada zaman VOC berakhir dengan kegagalan
total. Ide-ide liberal aliran Ufklarung atauEnlightement, yang mana
mengatakan bahwa pendidikan adalah alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan
social, banyak mempengaruhi mereka (ibid.: 8).
Oleh karena itu, kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal
dengan masuknya ide-ide liberal tersebut yang bertujuan mengembangkan kemampuan
intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial. Pada awalnya kurikulum ini hanya
diterapkan untuk anak-anak Belanda selama setengah abad ke-19.
Setelah tahun1848 dikeluarkan peraturan pemerintah yang
menunjukkan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih
besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen
Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan rakyat
Indonesia (ibid.: 10-13).
Pada tahun 1899 terbit sebuah atrikel oleh Van Deventer berjudulHutang
Kehormatan dalam majalah De Gids. Ia menganjurkan
agar pemerintahnnya lebih memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Ekspresi
ini kemudian dikenal dengan Politik Etis dan bertujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat melalui irigasi, transmigrasi, reformasi, pendewasaan,
perwakilan yang mana semua ini memerlukan peranan penting pendidikan (ibid.:
16). Di samping itu, Van Deventer juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda.
Menurutnya, mereka yang menguasai Belanda secara kultural lebih maju dan dapat
menjadi pelopor bagi yang lainnya (ibid.: 17).
Sejak dijalankannya Politik Etis ini tampak kemajuan yang lebih
pesat dalam bidang pendidikan selama beberapa dekade. Pendidikan yang berorientasi
Barat ini meskipun masih bersifat terbatas untuk beberapa golongan saja, antara
lain anak-anak Indonesia yanorang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda,
telah menimbulkan elite intelektual baru.
Golongan baru inilah yang kemudian berjuang merintis kemerdekaan
melalui pendidikan. Perjuangan yang masih bersifat kedaerahan berubah menjadi
perjuangan bangsa sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908 dan semakin
meningkat dengan lahirnya Sumpah Pemuda tahun 1928.
Setelah itu tokoh-tokoh pendidik lainnya adalah Mohammad Syafei
dengan Indonesisch Nederlandse School-nya, Ki Hajar Dewantara
dengan Taman Siswa-nya, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Pendidikan
Muhammadiyah-nya yang semuanya mendidik anak-anak agar bisa mandiri dengan jiwa
merdeka (Pidarta, 2008: 125-33).
5. Zaman Kolonial Jepang
Perjuangan bangsa Indonesia dalam masa penjajahan Jepang tetap
berlanjut sampai cita-cita untuk merdeka tercapai. Walaupun bangsa Jepang
menguras habis-habisan kekayaan alam Indonesia, bangsa Indonesia tidak pantang
menyerah dan terus mengobarkan semangat 45 di hati mereka.
Meskipun demikian, ada beberapa segi positif dari penjajahan
Jepang di Indonesia. Di bidang pendidikan, Jepang telah menghapus dualisme
pendidikan dari penjajah Belanda dan menggantikannya dengan pendidikan yang
sama bagi semua orang. Selain itu, pemakaian bahasa Indonesia secara luas
diinstruksikan oleh Jepang untuk di pakai di lembaga-lembaga pendidikan, di
kantor-kantor, dan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini mempermudah bangsa
Indonesia untuk merealisasi Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945
cita-cita bangsa Indonesia menjadi kenyataan ketika kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan kepada dunia.
6. Zaman Kemerdekaan (Awal)
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan bangsa Indonesia tidak
berhenti sampai di sini karena gangguan-gangguan dari para penjajah yang ingin
kembali menguasai Indonesia dating silih berganti sehingga bidang pendidikan
pada saai itu bukanlah prioritas utama karena konsentrasi bangsa Indonesia
adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan perjuangan
yang amat berat.
Tujuan pendidikan belum dirumuskan dalam suatu undang-undang yang
mengatur pendidikan. Sistem persekolahan di Indonesia yang telah dipersatukan
oleh penjajah Jepang terus disempurnakan. Namun dalam pelaksanaannya belum
tercapai sesuai dengan yang diharapka bahkan banyak pendidikan di daerah-daerah
tidak dapat dilaksanakan karena faktor keamanan para pelajarnya. Di samping
itu, banyak pelajar yang ikut serta berjuang mempertahankan kemerdekaan sehingga
tidak dapat bersekolah.
7. Zaman ‘Orde Lama’
Setelah gangguan-gangguan itu mereda, pembangunan untuk mengisi
kemerdekaan mulai digerakkan. Pembangunan dilaksanakan serentak di berbagai
bidang, baik spiritual maupun material.
Setelah diadakan konsolidasi yang intensif, system pendidikan
Indonesia terdiri atas: Pendidikan Rendah, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan
Tinggi. Dan pendidikan harus membimbing para siswanya agar menjadi warga negara
yang bertanggung jawab. Sesuai dengan dasar keadilan sosial, sekolah harus
terbuka untuk tiap-tiap penduduk negara.
Di samping itu, Pendidikan Nasional zaman ‘Orde Lama’ adalah
pendidikan yang dapat membangun bangsa agar mandiri sehingga dapat
menyelesaikan revolusinya baik di dalam maupun di luar; pendidikan yang secara
spiritual membina bangsa yang ber-Pancasila dan melaksanakan UUD 1945,
Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, dan
merealisasikan ketiga kerangka tujuan Revolusi Indonesia sesuai dengan Manipol
yaitu membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia berwilayah dari Sabang
sampai Merauke, menyelenggarakan masyarakat Sosialis Indonesia yang adil dan
makmur, lahir-batin, melenyapkan kolonialisme, mengusahakan dunia baru, tanpa
penjajahan, penindasan dan penghisapan, ke arah perdamaian, persahabatan
nasional yang sejati dan abadi (Mudyahardjo, 2008: 403).
8. Zaman ‘Orde Baru’
Orde Baru dimulai setelah penumpasan G-30S pada tahun 1965 dan
ditandai oleh upaya melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Haluan
penyelenggaraan pendidikan dikoreksi dari penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh Orde Lama yaitu dengan menetapkan pendidikan agama menjadi mata
pelajaran dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Menurut Orde Baru, pendidikan adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam sekolah dan di luar sekolah
dan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumahtangga,
sekolah dan masyarakat(Ibid.: 422, 433). Pendidikan pada masa memungkinkan
adanya penghayatan dan pengamalam Pancasila secara meluas di masyarakat, tidak
hanya di dalam sekolah sebagai mata pelajaran di setiap jenjang pendidikan
(ibid.: 434).
Di samping itu, dikembangkan kebijakan link and
match di bidang pendidikan. Konsep keterkaitan dan kepadanan ini
dijadikan strategi operasional dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan
kebutuhan pasar (Pidarta, 2008: 137-38). Inovasi-inovasi pendidikan juga
dilakukan untuk mencapai sasaran pendidikan yang diinginkan. Sistem
pendidikannya adalah sentralisasi dengan berpusat pada pemerintah pusat.
Namun demikian, dalam dunia pendidikan pada masa ini masih
memiliki beberapa kesenjangan. Buchori dalam Pidarta (2008: 138-39)
mengemukakan beberapa kesenjangan, yaitu (1) kesenjangan okupasional (antara pendidikan
dan dunia kerja), (2) kesenjangan akademik (pengetahuan yang diperoleh di
sekolah kurang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari), (3) kesenjangan
kultural (pendidikan masih banyak menekankan pada pengetahuan klasik dan
humaniora yang tidak bersumber dari kemajuan ilmu dan teknologi), dan (4)
kesenjangan temporal (kesenjangan antara wawasan yang dimiliki dengan wawasan
dunia terkini).
Namun demikian keberhasilan pembangunan yang menonjol pada zaman
ini adalah (1) kesadaran beragama dan kenagsaan meningkat dengan pesat, (2)
persatuan dan kesatuan bangsa tetap terkendali, pertumbuhan ekonomi Indonesia
juga meningkat (Pidarta, 2008: 141).
9. Zaman ‘Reformasi’
Selama Orde Baru berlangsung, rezim yang berkuasa sangat leluasa
melakukan hal-hal yang mereka inginkan tanpa ada yang berani melakukan
pertentangan dan perlawanan, rezim ini juga memiliki motor politik yang sangat
kuat yaitu partai Golkar yang merupakan partai terbesar saat itu. Hampir tidak
ada kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, termasuk kebebasan untuk
berbicara dan menyaampaikan pendapatnya (ibid.: 143).
Begitu Orde Baru jatuh pada tahun 1998 masyarakat merasa bebas
bagaikan burung yang baru lepas dari sangkarnya yang telah membelenggunya
selama bertahun-tahun. Masa Reformasi ini pada awalnya lebih banyak bersifat
mengejar kebebasan tanpa program yang jelas.
Sementara itu, ekonomi Indonesia semakin terpuruk, pengangguran
bertambah banyak, demikian juga halnya dengan penduduk miskin. Korupsi semakin
hebat dan semakin sulit diberantas. Namun demikian, dalam bidang pendidikan ada
perubahan-perubahan dengan munculnya Undang-Undang Pendidikan yang baru dan
mengubah system pendidikan sentralisasi menjadi desentralisasi, di samping itu
kesejahteraan tenaga kependidikan perlahan-lahan meningkat. Hal ini memicu
peningkatan kualitas profesional mereka. Instrumen-instrumen untuk mewujudkan
desentralisasi pendidikan juga diupayakan, misalnya MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah), Life Skills (Lima Ketrampilan Hidup), dan TQM (Total
Quality Management).
III. IMPLIKASI SEJARAH TERHADAP KONSEP PENDIDIKAN NASIONAL
INDONESIA.
Masa lampau memperjelas pemahaman kita tentang masa kini. Sistem
pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang
tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lalu
(Nasution, 2008: v).
Pembahasan tentang landasan sejarah di atas memberi implikasi
konsep-konsep pendidikan sebagai berikut:
A. Tujuan Pendidikan
Pendidikan diharapkan bertujuan dan mampu mengembangkan berbagai
macam potensi peserta didik serta mengembangkan kepribadian mereka secara lebih
harmonis. Tujuan pendidikan juga diarahkan untuk mengembangkan aspek keagamaan,
kemanusiaan, kemanusiaan, serta kemandirian peserta didik. Di samping itu,
tujuan pendidikan harus diarahkan kepada hal-hal yang praktis dan memiliki
nilai guna yang tinggi yang dapat diaplikasikan dalam dunia kerja nyata.
B. Proses Pendidikan
Proses pendidikan terutama proses belajar-mengajar dan materi
pelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik,
melaksanakan metode global untuk pelajaran bahasa, mengembangkan kemandirian
dan kerjasama siswa dalam pembelajaran, mengembangkan pembelajaran lintas
disiplin ilmu, demokratisasi dalam pendidikan, serta mengembangkan ilmu dan
teknologi.
C. Kebudayaan Nasional
Pendidikan harus juga memajukan kebudayaan nasional. Emil Salim
dalam Pidarta (2008: 149) mengatakan bahwa kebudayaan nasional merupakan
puncak-puncak budaya daerah dan menjadi identitas bangsa Indonesia agar tidak
ditelan oleh budaya global.
D. Inovasi-inovasi Pendidikan
Inovasi-inovasi harus bersumber dari hasil-hasil penelitian
pendidikan di Indonesia, bukan sekedar konsep-konsep dari dunia Barat sehingga
diharapkan pada akhirnya membentuk konsep-konsep pendidikan yang bercirikan Indonesia.
IV. PENUTUP
Dari rangkaian masa dalam sejarah yang menjadi landasan historis
kependidikan di Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa masa-masa tersebut
memiliki wawasan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Mereka
sama-sama menginginkan pendidikan bertujuan mengembangkan individu peserta
didik, dalam arti memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan potensi
mereka secara alami dan seperti ada adanya, tidak perlu diarahkan untuk
kepentingan kelompok tertentu. Sementara itu, pendidikan pada dasarnya hanya
memberi bantuan dan layanan dengan menyiapkan segala sesuatunya. Sejarah juga
menunjukkan betapa sulitnya perjuangan mengisi kemerdekaan dibandingkan dengan
perjuangan mengusir penjajah.
Dengan demikian mereka berharap hasil pendidikan dapat berupa
ilmuwan, innovator, orang yang peduli dengan lingkungan serta mampu
memperbaikinya, dan meningkatkan peradaban manusia.
Hal ini dikarenakan pendidikan selalu dinamis mencari yang baru,
memperbaiki dan memajukan diri, agar tidak ketinggalan jaman, dan selalu
berusaha menyongsong zaman yang akan datang atau untuk dapat hidup dan bekerja
senafas dengan semangat perubahan zaman.
Akhir kata, pendidikan mewariskan peradaban masa lampau sehingga
peradaban masa lampau yang memiliki nilai-nilai luhur dapat dipertahankan dan
diajarkan lalu digunakan generasi penerus dalam kehidupan mereka di masa
sekarang. Dengan mewariskan dan menggunakan karya dan pengalaman masa lampau,
pendidikan menjadi pengawal , perantara, dan pemelihara peradaban. Dengan
demikian, pendidikan memungkinkan peradaban masa lampau diakui eksistensinya
dan bukan merupakan “harta karun” yang tersia-siakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anzizhan, Syafaruddin. 2004. Sistem Pengambilan Keputusan
Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Buchori, Mochtar. 1995. Transformasi Pendidikan. Jakarta:
IKIP Muhammadiyah Jakarta Press.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1991. Pedoman Pendidikan
Tinggi. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia.
Dardjowidjojo, Soenjono. 1992. PTS dan Potensinya di Hari
Depan: Memoir Seorang PUrek I. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Pengantar Pendidikan: Sebuah
Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di
indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasution, S. 2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Pidarta, Made. 2007. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu
Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sigit, Sardjono. 1992. Peranan dan Partisipasi Perguruan
Swasta di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Wiiliams, Gareth. 1977. Towards Lifelong Education: A New
Role for Higher Education Institutions. Paris: UNESCO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar