Minggu, 20 Maret 2011

USIA LANJUT

A.      Usia Tua dan Gangguan Otak
                   Mayoritas orang-orang usia lanjut mengalami gangguan otak. Gangguan otak yang dialami oleh orang-orang usia lanjut ada dua macam, yaitu gangguan otak demensia dan gangguan otak delirium.
1.      Gangguan Otak Demensia
a.         Pengertian Demensia
       Demensia sering disebut juga sebagai kepikunan. Kepikunan merupkan istilah deskriptif umum bagi kemunduran kemampuan intelektual hingga ke titik yang melemahkan fungsi social dan pekerjaan. Demensia terjadi secara sangat perlahan selama bertahun-tahun, kelemahan kognitif dan behavioral yang hamper tidak terlihatdapat dideteksijauh sebelu orang yang bersangkutan menunjukkan sikap yang tampak jelas (Small dkk, 2000). (Gerald C. Davison dkk, 2006 : 742).
       Kesulitan dalam mengingat banyak hal, terutama berbagai peristiwa-peristiwa baru, ini merupakan simtom utama demensia. Orang-orang yang mengalami demensia mengabaikan standar mereka dan kehilangan kendali atas impuls-impuls mereka.

b.        Penyebab Demensia
       Demensia pada umumnya diklasifikasikan menjadi empat tipe. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit yang pada umumnya menyebabkan demensia. Penyakit Alzheimer merupakan penyakit yang adanya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dan kematian pada jaringan otak  biasanya terjadi 10 atau 12 tahun setelah onset simtom-simtom.

c.         Penanganan Demensia
       Dengan menggunakan psikologis yang diberikan secara umum bersifat suportif, dengan tujuan utamanya untuk meminimalkan gangguan yang ditimbulkan oleh perubahan behavioral pasien. Tujuan ini dicapai dengan memberikan kesempatan bagi pasien dan keluarganya untuk membahas penyakittersebut dan berbagai konsekuensinya, menyediakan informasi yang akurat tentang penyakit, membantu keluarga merawat pasien, dan mendorong dikembangkannya sikap realistic dan bukan katastrofik dalam menghadapi berbagai isu dan tantangan spesifik yang ditimbulkan oleh penyakit otak ini (Knight, 1996; Zarit, 1980).
       Memberikan konseling bagi penderita penyakit Alzheimer merupakan hal yang sulit. Karena menurunnya kemampuan kognitif. Psikoterapi hanya sedikit memberikan manfaat jangka panjang bagi mereka yang mengalami kemunduran parah. Keterbatasan kognitif pada orang-orang menderita demensiaharus selalu ditangani dengan kelembutan.

2.      Gangguan Otak Delirium
a.         Pengertian Delirium
       Istilah delirium berasal dari bahasa Latin de, yang berarti “dari” atau “di luar” dan lira, yang berarti “celah” atau “jalur”. Istilah tersebut merujuk pada kondisi keluar jalur atau menyimpang dari kondisi normal (Wlls & Duncan, 1980).

b.        Penyebab Delirium
       Penyebab delirium pada orang lanjut usia dapat dibagi dalam beberapa kelompok umum, yaitu intokasi obat dan putus obat, ketidakseimbangan metabolism dan nutrisi, infeksi atau demam, gangguan neurologis, dan stress karena perubahan lingkungan sekeliling orang yang bersangkutan (Knight, 1996). Delirium juga dapat terjadi setelah menjalani operasi besar, yang paling sering adalah operasi tulang pinggul (Zarit & Zarit, 1998).
       Penyakit fisik umumnya yang menyebabkan delirium dalam kelompok umur ini mencakup gagal jantung karena penyumbatan, infeksi saluran urin, kanker, gagal ginjal atau hati, malnutrisi, dan kecelakaan atau stroke.

c.         Penanganan Delirium
       Penanganan delirium dapat dilaksankan dengan menggunakan strategi pencegahan primer, yang bertujuan untuk mencegah terjadinya delirium sejak awal.

B.       Usia Lanjut dan Gangguan Psikologis
1.    Prevalensi Lengkap Gangguan Mental di Usia Lanjut
            Mayoritas orang-orang yang berusia 65 tahun atau lebih tidak mengalami psikopatologi serius, namun 10 hingga 20 persen memang mengalami masalah psikologis yang cukup parah sehingga memerlukan perhatian professional. Diantara mereka yang menderita penyakit mental parah, banyak tinggal di tengah-tengah komunitas dan cenderung hidup dalam kemiskinan, menderita tiga macam penyakit fisik atau lebih, dan hanya menerima sedikit bantuan dari sistem kesehatan mental selain pemberian obat. Saat ini, sistem perawatan kesehatan tidak melayani kebutuhan para lanjut usia yang sakit mental dengan baik.   
2.    Depresi
            Sebagian besar orang lanjut usia mengalami depresi, namun depresi yang mereka alami merupakan kelanjutan suatu kondisi yang terjadi di masa usia terdahulu.
            Karakteristik depresi pada lanjut usia pada umumnya rasa khawatir, rasa tidak berguna, sedih, pesimis, tidak dapat tidur, dan sulit untuk mengerjakan segala sesuatu. Penyebabnya adalah penyakit fisik dan pikiran mereka yang negatif.
            Penyakit depresi pada usia lanjut dapat ditangani dengan memberikan psikoterapi kognitif, behavioral, dan psikodinamika.
3.      Gangguan Anxietas
            Gangguan kecemasan lebih banyak terjadi pada orang usia lanjut dibanding depresi. Gangguan anxietas pada usia lanjut dapat merupakan kelanjutan atau kekambuhan dari masalah yang terjadi pada masa usia terdahulu, atau dapat terjadi untuk pertama kali pada masa tua.
            Penyebab kecemasan pada orang usia lanjut mencerminkan beberapa kondisi ketika memasuki usia tua dan dapat merupakan reaksi atas kekhawatiran menderita sakit dan menjadi lemah. Penanganan kecemasan pada orang usia lanjut dapat ditangani dengan menggunakan terapi psiokologis.
4.      Gangguan Delusional (Paranoid)
            Penyebab gangguan delusional paranoia pada pasien lanjut usia dapat merupakan kelanjutan dari gangguan yang terjadi pada usia terdahulu atau dapat menyertai penyakit otak seperti delirium dan demensia. Paranoia bahkan dapat memiliki fungsi tertentu bagi pasien demensia, yaitu mengisi kekosongan memori yang disebabkan hilangnya memori.
            Pemikiran paranoid telah dihubungkan dengan kerusakan sensorik, khususnya kerusakan pendengaran. Beberapa orang meyakini bahwa orang-orang lanjut usia yang mengalami gangguan paranoid parah cenderung mengalami kerusakan pendengaran pada kedua telinga yang telah berlangsung lama. Orang lanjut usia yang telah mengalami ketulian dapat meyakini bahwa orang lain membicarakannya dengan berbisik agar ia tidak mendengar apa yang dikatakan mereka.
            Karena orang-orang yang menjadi paranoid juga memiliki penyesuian sosial yang buruk, simtom-simtom tersebut dapat terjadi setelah suatu periode dimana mereka semakin terisolasi secara sosial. Isolasi social itu sendiri membatasi kesempatan orang yang bersangkutan untuk menguji kecurigaannya terhadap dunia, sehingga memudahkan terbentuknya delusi tersebut.
            Penenganan gangguan delusional. Penanganan paranoia untuk orang lanjut usia sama persis dengan penanganan untuk orang yang lebih muda. Meskipun tidak banyak data terkendali, para ahli klinis berpendapat bahwa pendekatan terbaik adalah pendekatan sopurtif dimana terapis memberikan pengertian empatik kepada pasien atas kekhawatirannya. Secara langsung menentang delusi paranoid atau mencoba mengajak orang yang bersangkutan untuk menalar keyakinannya jarang menghasilkan efektif. Pengakuan tanpa menghakimi penderitaan yang disebabkan oleh paranoia tersebut lebih mungkin meningkatkan hubungan terapeutik dengan pasien.  
5.      Skizofrenia
Simtom-simtom skizofrenia mencakup delusi, hendaya kognitif, halusinasi, dan simtom-simtom negative seperti aspek datar. Prevalensi skizofrenia pada orang lanjut usia secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan prevalensi dalam populasi total orang lanjut usia yang menderita skizofrenia cenderung hidup dalam kemiskinan, memiliki tingkat pendidikan rendah dan tingkat pengangguran tinggi. Bila skizofrenia terjadi untuk pertama kali pada usia lanjut, sering sekali disebut parafrenia. Para psien cenderung orang tidak menikah, hidup dalam kesendirian, hanya memiliki sedikit kerabat yang masih hidup, mengalami kerusakan pendenganran, memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga, dan berasal dari kelas sosioekonomi terendah.
Beberapa peniliti meyakini bahwa pasien berusia lanjut yang didiagnosis mengalami parafrenia sebenarnya mengalami gangguan mood, karena pada banyak orang mengalami simtom-simtom utama, funsi kognitif dan fungsi secara keseluruhan tidak terganggu; hidup mereka tidak mengalami kemunduran dan gangguan yang umum dialami para pengidap skizofrenia.
6.      Gangguan yang Berkaitan dengan Penggunaan Zat
Penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol. Jika orang lanjut usia mengunsumsi 12 gelas minuman dalam seminggu juga dihitung, sekitar 8% orang lanjut usia adalah peminum berat. Berdasarkan perspektif lungitodinal, tampak bahwa para peminum berat cenderung mengurangi minum ketika memasuki usia tua. Mungkin diasumsikan bahwa minum bermasalh pada orang lanjut usia selalu merupakan kelanjutan dari pola yang terbentuk pada masa usia terdahulu, namun tidaklah demikian. Banyak peminum bermasalh mulai mengalami masalah yang berhubungan dengan berhubungan dengan alkohol setelah berusia 60 tahun.
Penyalahgunaan obat terlarang. Beberapa studi terhadap para penyalahgunaan narkotik yang berusia tua yang mengindikasikan bahwa mereka mengawali kebiasaan mereka pada usia muda dan mengurangi konsumsi obat mereka seiring bertambahnya usia, dan diasumsikan bahwa semua pecandu berhenti menggunakannya atau meninggal sebelum mencapai usia tua. Meskipun demikian, sekarang ini tampak bahwa jumlah pecandu heroin yang memasuki usia 60 tahun atau lebih semakin besar.
Penyalahgunaan pengobatan. Penyalahgunaan obat-obatan yang diresepkan dan dijual bebas merupakan masalah yang jauh lebih besar daripada penyalahgunaan alkohol atau obat terlarang dalam populasi orang tua. Tingkat konsumsi obat bebas pada orang lanjut usia secara keseluruhan lebih tinggi daripada kelompok umur manapun, meskipun hanya mencangkup 13% dari populasi, mereka mengkonsumsi sekitar 1/3 dari obat yang diresepkan. Pasien lanjut usia menggunakan lebih banyak obat-obat anti kecemasan dibanding kelompok manapun. Obat-obatan tersebut sering menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologis. Meskipun demikian, karena orang lanjut usia cenderung tidak bekerja secara rutin dan kadang bahkan tidak terlihat didepan umum selama berhari-hari atau berminggu-minggu dalam satu waktu, mereka dapat menyembunyikan penyalahgunaan yang mereka lakukan selama bertahun-tahun.
7.      Hipokondriasis
Para lanjut usia dapat mengalami berbagai macam masalah fisik, diantaranya sakit pada kaki dan punggung, pencernaan yang buruk, sembelit, sesak nafas, dan kedinginan yang amat sangat. Diyakini secara luas bahwa hipokondriasis sangat umum terjadi dalam populasi orang lanjut usia, namun prevalensi hipokondriasis dikalangan orang lanjut usia mungkin tidak lebih besar dibanding dikalangan lain.
Para ahli klinis setuju bahwa secara umum tidak ada gunanya meyakinkan orang yang bersangkutan bahwa ia sehat karena orang-orang tersebut tidak peduli dengan berbagai hasil tes laboratorium yang negatif atau pendapat otoritatif dari berbagai sumber resmi.  
8.      Gangguan Tidur
Insomnia adalah keluhan yang umum terjadi dikalangan orang lanjut usia. Masalah tidur yang sering dialami oleh orang lanjut usia adalah sering terjaga pada malam hari, sering kali terbangun pada dini hari, sulit untuk tertidur, dan rasa lelah yang amat sangat pada siang hari. Keluhan tersebut sejalan dengan bebagai perubahan fsikologis yang terjadi secara normal ketika orang memasuki usia tua.
Penyebab gangguan tidur . selain perubahan yang berhubungan dengan penuaan, berbagai macam penyakit, obat-obatan, kafein, stress, kecemasan, defresi, kurang beraktifitas, dan kebiasaan tidur yang buruk dapat menyebabkan insomnia pada orang lanjut usia.
Penanganan gangguan tidur. Para dokter menyakini bahwa obat-obatan merupakan penanganan yang paling efektif untuk masalah tidur pada orang lanjut usia namun, penelitian baru-baru ini mengenai penanganan nonfarmakologis untuk gangguan tidur pada populasi orang lanjut usia memberikan hasil yang sangat menjanjikan, serta dapat melalui penanganan terapi behavior.
9.      Bunuh Diri
Terdapat beberapa faktor yang membuat orang-orang pada umumnya memiliki resiko yang sangat tinggi untuk bunuh diri: penyakit fisik yang serius dan kelemahan fungsional, penyakit fisikiakrik, rasa putus asa, isolasi sosial, kehilangan orang-orang yang dicintai, kondisi keuangan yang buruk, dan defresi.
Batler dan lewis berpendapat bahwa bunuh diri orang yang lanjut usia yang dilakukan orang lanjut usia mungkin lebih sering merupakan keputusan rasional atau filosofis dibanding orang-orang yang lebih muda. Intervensi untuk mencegah tindakan bunuh diri pada orang lanjut usia dengan menggunakan terapis dengan mencoba membujuk orang yang bersangkutan untuk melihat masalahnya dari sudut pandang yang akan mengurangi keputusannya.

10.  Seksualitas  dan Penuaan
Orang cenderung beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan akan kehilangan minat dan kapasitas untuk berhubungan seks ketika mereka memasuki usia lanjut. Ada sebagian orang yang menyakini bahwa orang-orang yang lanjut usia tidak mampu menikmati hubungan lebih dari sekedar pelukan sayang dan ciuman di pipi. Terlepas dari keyakinan semacam itu, sebagian besar orang lanjut usia memiliki minat dan kapasitas seksual yang besar. Hal ini benar adanya bahkan bagi banyak orang yang berusia 80 hingga 100 tahun dengan kondisi tubuh yang sehat, dimana aktifitas yang lebih disukai cenderung berupa belaian dan masturbasi, dan kadang-kadang melakukan kontak kelamin.
Kaum laki-laki, yang berusia lanjut membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengalami ereksi, bahkan bila mereka distimulasi dengan cara yang mereka sukai. Tidak diketahui apakah perubahan psiologis atau pengendalian yang dipelajari selama bertahun-tahun yang berperan dalam hal ini. Dalam fase orgasme, kontraksi lebih sedikit dan tidak terlalu intens, dan cairan sperma yang dikeluarkan lebih sedikit dengan tekanan yang kurang setelah mencapai orgasme, ereksi melemas dengan lebih cepat pada laki-laki berusia lanjut, kemampuan untuk mengalami ereksi berikutnya tidak secepat pada laki-laki yang berusia lebih muda. Laki-laki berusia lanjut mampu memiliki pola aktivitas seksual yang sama dengan laki-laki yang berusia lebih muda, perbedaan besarnya adalah segala sesuatu memerlukan waktu lebih lama untuk terjadi, dan ketika terjadi, orgensinya berkurang.
Kaum perempuan, perempuan berusia lanjut mampu untuk aktif berhubungan seksual minimal sama dengan kaum laki-laki. Perempuan lanjut usia memerlukan waktu lebih lama untuk mengalami keterangsangan seksual, yang menjadi sesuai dengan lambatnya pola keterangsangan pada laki-laki. Terdapat beberapa bukti bahwa berbagai perubahan fisik tersebut tidak sedemikian ekstensif pada perempuan yang mnedapat stimulasi seksual secara teratur sekali atau dua kali dalam seminggu sepanjang kehidupan seksual mereka.
Masalah yang berhubungan dengan usia, penyakit fisik dapat menghambat hubungan seksual pada orang lanjut usia seperti halnya pada orang yang berusia lebih muda. Karena orang lanjut usia menderita lebih banyak penyakit kronis, potensi hambatan yang bersumber dari penyakit dan obat-obatan lebih besar. Perempuan cenderung lebih sedikit memiliki masalah fisik, mereka dikungkung oleh banyak mitos mengenai seksualitas pada perempuan yang memasuki usia tua. Aktivitas seksual perempuan heteroseksual umumnya dilakukan bila ia memiliki pasangan dan apakah pasangan tersebut dalam keadaan sehat. Oleh karena itu, perempuan berusia lanjut kurang aktif berhubungan seks disbanding laki-laki lanjut usia, mungkin karena mereka kurang memiliki pasangan atau jika mereka berstatus menikah si suami cenderung berusia lebih tua dan memiliki berbagai masalah kesehatan yang signifikan.
Penanganan disfungsiseksual, beberapa orang lanjut usia memilih untuk tidak aktif berhubungan seks, namun orang lanjut usia yang mengalami dan terganggu oleh disfungsiseksual kemungkinan untuk menjadi calon pasien yang cocok untuk tipe terapi seks. Karena sikap terhadap seks pada orang lanjut usia yang ada dewasa ini dipengaruhi oleh masa.
Pada orang lanjut usia perhatian yang diarahkan apad kondisi fisik harus lebih besar dibanding bila menangani orang dewasa yang lebih muda.

Minggu, 06 Maret 2011

Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling


Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling
Pengembangan diri sebagaimana dimaksud dalam KTSP merupakan wilayah komplementer antara guru dan konselor. Penjelasan tentang pengembangan diri yang tertulis dalam struktur kurikulum dijelaskan bahwa :
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada konseli untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap konseli sesuai dengan kondisi Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir konseli.
Dari penjelasan yang disebutkan itu ada beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, sehingga dapat menghindari kerancuan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
  1. Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
  2. Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
  3. Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor (periksa gambar 2).
Telaahan di atas menegaskan bahwa bimbingan dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan (khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan pengembangan diri yang terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum. Sebagian dari pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebgian dari aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Jika dilakukan telaahan anatomis terhadap posisi bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal dapat terlukiskan sebagai berikut (lihat gambar 1).
posisi-bimbingan-dan-konseling-dan-kurikulum-ktsp.jpg
Add caption
Gambar 1.
Posisi Bimbingan dan Konseling dan Kurikulum (KTSP)
dalam Jalur Pendidikan Formal
Dapat ditegaskan di sini bahwa KTSP adalah salah satu subsistem pendidikan formal yang harus bersinergi dengan komponen/subsitem lain yaitu manajemen dan bimbingan dan konseling dalam upaya memfasilitasi konseli mencapai perkembangan optimum yang diwujudkan dalam ukuran pencapaian standar kompetensi. Dengan demikian pengembangan diri tidak menggantikan fungsi bimbingan dan konseling melainkan sebagai wilayah komplementer dimana guru dan konselor memberikan kontribusi dalam pengembangan diri konseli.
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kegiatan bimbingan konseling dapat mencapai hasil yang efektif bila mana dimulai dari adanya program yang disusun dengan baik. Penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah  adalah seperangkat kegiatan yang dilakukan melalui berbagai bentuk survei, untuk menginventarisasi tujuan, kebutuhan, kemampuan sekolah, serta persiapn sekolah untuk melaksanakan program bimbingan dan konseling.
Program bimbingan berisi rencanan kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka pemberian layanan bimbingan dan konseling. Winkel (1991) menjelaskan bahwa program bimbingan merupakan suatu rangkaian kegiatan terencana , terorganisasi, dan terkoordinasi selama periode waktu tertentu.

B.     Tujuan
Memberikan layanan khusus untuk membentu siswa dalam mengadakan penyesuaian diri.

C.    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana program bimbingan di sekolah ?
2.      Bagaimana peranan guru dalam pelaksanaan bimbingan di sekolah?





BAB II
PROGRAM BIMBINGAN DI SEKOLAH DAN PERANAN GURU DALAM PELAKSANAANNYA

A.    Program Bimbingan di Sekolah
Program bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terpadu dari keseluruhan program pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, upaya guru pembimbing maupun berbagai aspek yang tercakup merupakan bagian tidak dapat dipisahkan dari seluruh bagian kegiatan yang diarahkan kepada pencapaian tujuan pendidikan di lembaga yang bersangkutan.

1.      Pengertian Program Bimbingan
Menurut pendapat Hotch dan Costor  yang dikutip oleh Gipson dan Mitchell (1981) program bimbingan dan konseling adalah suatu program yang memberikan layanan khusus yang dimaksudkan untuk membentu individu dalam mengadakan penyesuaian diri. Program bimbingan itu menyangkut dua faktor, yaitu: (1) faktor pelaksana atau orang yang akan menberikan bimbingan, dan (2) faktor-faktor yang berkaitan perlengkapan, metode, bentuk layanan siswa-siswa, dan sebagainya. Yang mempunyai kaitan dengan kegiatan bimbingan (Abu Ahmadi, 1997).
Rochman Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) menyatakan bahwa program bimbingan yang disusun dengan baik dan rinci akan memberikan banyak keuntungan , seperti :
a)      Memungkinkan para petugas menghemat waktu, usaha, biaya, dan menghindari kesalahan-kesalahan, dan usaha coba-coba yang tidak menguntungkan.
b)      Memungkinkan siswa untuk mendapatkan layanan bimbingan secara seimbang dan menyeluruh.
c)      Memungkinkan setiap petugas mengetahui dan memahami peranannya masing-masing.
d)     Memungkinkan para petugas untuk menghayati pengalaman yang sangat berguna untuk kemajuannya sendiri.

2.      Langkah-Langkah Penyusunan Program Bimbingan
Dalam penyusunan program bimbingan perlu ditempuh langkah-langkah seperti dikemukakan oleh Miller yang dikutip oleh Rochman Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) seperti berikut :
a)      Tahap Persiapan
b)      Pertemuan-pertemuan permulaan dengan para konselor yang telah ditunjuk oleh pemimpin sekolah
c)      Pembentukan panitia sementara untuk merumuskan program bimbingan.
d)     Pembentukan panitia penyelenggara program.
e)      Penyusunan program bimbingan dan konseling di sekolah hendaknya dirumuskan dan diinventarisasikan berbagai fasilitas yang ada.
f)       Penyusunan program bimbingan dan konseling hendaknya merumuskan masalah-masalah yang dihadapi.
Di samping rumusan tentang langkah-langkah penyusunan program bimbingan sebagaimana dikemukakan itu, berikut ini dapat pula disajikan langkah-langkah penyusunan program bimbingan yang sederhana, yaitu :
a)      Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan sekolah terutama yang ada kaitannya dengan bimbingan.
b)      Setelah data terkumpul perlu dilakukan penentuan urutan prioritas kegiatan yang akan dilakukan, dan menyusun konsep program bimbingan yang akan dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
c)      Konsep program bimbingan dibahas bersama kepala sekolah dan bila perlu mengundang personel sekolah.
d)     Penyempurnaan konsep program yang telah di bahas bersama kepala sekolah.
e)      Pelaksanaan program yang telah direncanakan
f)       Evaluasi
g)      Revisi

3.      Variasi Program Bimbingan menurut jenjang Pendidikan
Winkel memberikan rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam menyusun program bimbingan di tingakt pendidikan tertentu, yaitu :
a.       Menyusun tujuan pendidikan tertentu
b.      Menyusun tugas-tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik
c.       Menyusun pola dasar sebagi pedoman dalam memberikan layanan
d.      Menentukan komponen-komponen bimbingan yang diprioritaskan
e.       Menentukan bentuk bimbingan yang diutamakan
f.       Menentukan tenaga-tenaga bimbingan yang dapay dimanfaatkan

a.      Pendidikan Taman Kanak-Kanak
Layanan bimbingan dan konseling di taman kanak-kanak hendaknya ditekankan pada :
a)      Bimbingan yang berkaitan dengan kemandirian dan keharmonisan dalam menjalin hubungan social dengan teman sebayanya.
b)      Bimbingan pribadi.
Di samping itu, bimbingan untuk taman kanak-kanak perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan psikologis, seperti pemberian kasih saying dan perasaan aman.

b.      Program Bimbingan di Sekolah Dasar
Program kegiatan bimbingan dan konseling untuk siswa-siswa sekolah dasar lebih menekankan pada usaha pencapaian tugas-tugas perkembangan mereka antara lain mengatur kegiatan belajarnya dengan bertanggung jawab, dapat berbuat dengan cara-cara yang dapat diterima oleh orang dewasa serta teman-teman sebayanya, mengembangkan kesadaran moral berdasarkan nilai-nilai kehidupan dengan membentuk kata hati (Winkel, 1991).
Gibson dan Mitchell (1981) mengemukakan beberapa factor yang harus dipertimbangkan, seperti :
a)      Menekankan pada aktivitas-aktivitas belajar
b)      Masih menggunakan sistem guru kelas
c)      Kecenderungan anak bergantung pada teman sebayanya
d)     Minat orang tua dominan mempengaruhi nilai kehidupan anak
e)      Masalah-masalah yang timbul di SD tidak terlalu kompleks.

c.       Program Bimbingan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Program bimbingan dan konseling di SLTP hendaknya berorientasi kepada pencapaian tugas-tugas perkembangannya. Secara garis besar program bimbingan dan konseling di SLTP hendaknya berorientasi kepada :
a)      Bimbingan belajar
b)      Bimbingan hubungan sosial
c)      Membentuk kelompok sebaya (peer group)
d)     Tugas-tugas perkembangan anak usia 12-15 tahun
e)      Bimbingan karir

d.      Program Bimbingan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
Program bimbingan dan konseling di SLTA hendaknya dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi siswa, sehingga mereka dapat mencapai tugas-tugas perkembangan dengan baik. Oleh sebab itu, program bimbingan di SLTA berorientasi pada :
a)      Hubungan sosial
b)      Pemberian infoemasi pendidikan dan jabatan
c)      Bimbingan cara belajar

e.       Program Bimbingan di Perguruan Tinggi
            Efektivitas dan efesiensi program bimbingan dapat terwujud bila diarahkan kepada masalah-masalah. Oleh sebab itu, program bimbingan di perguruan tinggi hendaknya berorientasi kepada :
a)      Bimbingan belajar di perguruan tinggi atau bimbingan yang bersifat akademik
b)      Hubungan sosial

4.      Tenaga Bimbingan di Sekolah Beserta Fungsi dan Peranannya
            Layanan bimbingan dan konseling merupakan bagian yang integral dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah menjadi tanggung jawab bersama antara personel sekolah (Rochman Natawidjaja dan Moh. Surya 1985). Dengan demikian, diperlukan adanya keterpaduan dan kebersamaan di antara personel sekolah dalam pelaksanaan bimbingan.
a.      Kepala Sekolah
            Dalam pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, kepala sekolah mempunyai tugas sebagai berikut :
a)      Membuat rencana atau program sekolah secara menyeluruh
b)      Mendelegasikan tanggung jawab tertentu dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling
c)      Mengawasi pelaksanaan program
d)     Melengkapi dan menyediakan kebutuhan fasilitas bimbingan dan konseling
e)      Mempertanggungjawabkan program tersebut baik di dalam maupun di luar sekolah
f)       Mengadakan hubungan dengan lembaga-lembaga dalam rangka kerjasama pelaksanaan bimbingan.

b.      Konselor
      Peran dan tugas konselor di sekolah dalam kegiatan bimbingan dan konseling adalah :
a)      Menyusun program bimbingan dan konseling bersma kepala sekolah
b)      Bertanggung jawab terhadap jalannya program
c)      Memberikan laporan kegiatan kepada kepala sekolah
d)     Menerima dan mengklasifikasikan informasi pendidikan
e)      Menganalisis dan menafsirkan data siswa
f)       Menyelenggarakan pertemuan staf
g)      Melaksanakan bimbingan kelompok dan konseling individual
h)      Menilai proses dan hasil pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling
i)        Melakukan studi kelayakan
j)        Berkolaborasi dengan guru mata pelaajran
k)      Mengadministrasikan kegiatan program pelayanan bimbingan dan konseling.

c.       Wali Kelas
      Peran dan tanggung jawab wali kelas adalah :
a)      Mengumpulkan data tentang siswa
b)      Mengadakan kegiatan orientasi
c)      Mengobservasi kegiuatan siswa di rumah
d)     Meneliti kemajuan dan perkembangan siswa
e)      Bekerja sama dengan konselor dalam mengadakan pemeriksaan
f)       Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan maslah peserta didik.

d.      Guru/Pengajar
      Tugas dan tanggung jawab guru dalam kegiatan ini adalah :
a)      Turut serta aktif dalam membantu mellaksanakan kegiatan program BK
b)      Memberikan informasi kepada siswa
c)      Meneliti kesulitan dan kemajuan siswa
d)     Memberikan layanan intruksional
e)      Mengadakan hubungan dengan orang tua siswa
f)       Mengidentifikasi bakat siswa

e.       Petugas Administrasi
      Tugas dan tanggung jawab petugas administrasi dalam kegiatan bimbingan dan konseling adalah :
a)      Mengisi kartu pribadi siswa
b)      Menyimpan catatan-catatan dan data lainnya
c)      Menyelesaikan laporan dan pengumpuilan data tentang siswa
d)     Menyiapkan alat-alat atau formulir-formulir pengumpulan data siswa

5.      Struktur Organisasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah
     
Struktur Organisasi Bimbingan dan Konseling di Sekolah












 






                                        

 







6.      Mekanisme Implementasi Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Untuk melaksanakan program bimbingan dan konseling di sekolah, konselor beserta personel sekolah perlu memperhatikan komponen kegiatan sebagai berikut :
a.      Komponen Pemrosesan Data
Kegiatan layanan bimbingan dan konseling di sekolah meliputi beberapa aspek, yaitu : (1) pengumpulan data, (2) pengklkasifikasian, (3) penyediaan data yang diperlukan, (4) penyimpanan, (5) penafsiran. Data yang perlu diproses adalah tentang keadaan siswa di sekolah yang meliputi : (1) kemampuan skolastik, (2) cita-cita, (3) hubungan social, (4) minat terhadap mata pelajaran, (5) kebiasaan belajar, (6) kesehatan fisik, (7) pekerjaan orang tua, (8) keadaan keluarga.

b.      Komponen Kegiatan Pemberian Informasi
Komponen ini terdiri : (1) pemberian orientasi kehidupan sekolah kepada siswa. (2) pemberian informasi tentang program studi kepada siswa yang dipandang memerlukannya, (3) pemberian informasi jabatan kepada siswa, (4) pemberian informasi pendidikan lanjutan.
c.       Komponen Kegiatan Konseling
Konseling dilakukan terhadap siswa yang mengalami masalah yang sifatnya lebih probadi. Jika ada masalah yang tidak dapat diatasi oleh petugas yang bersangkutan, perlu di alihtangankan kepada pihak yang lebih ahli.

d.      Komponen Pelaksana
Pelaksana jenis kegiatan tersebut adalah konselor sekolah, konselor bersama guru bidang studi dan juga kepala sekolah sesuai dengan fungsi peranannya masing-masing.

e.       Komponen Metode/Alat
Alat yang dipakai untuk melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan itu adalah: angket kartu pribadi, konseling dan sebagainya.

f.        Komponen Waktu Kegiatan
Jadwal kegiatan layanan dapat dilakukan pada awal tahun pelajaran atau waktu lain tergantung  dari jenis atau macam kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

g.      Komponen Sumber Data
Data yang diperlukan dapat diperoleh langsung dari siswa yang bersangkutan. Hal ini tergantung atau jenis data yang diperlukan. Semua kegiatan ini dikoordinasikan oleh konselor dan dipertanggungjawabkan kepada kepala sekolah.

B.     Peranan Guru Dalam Pelaksanaan Bimbingan di Sekolah
Peranan guru dalam bimbingan di sekolah dapat di bedakan menjadi dua, yaitu : (a) tugas dalam layanan bimbingan dalam kelas dan (b) di luar kelas.

a.      Tugas Guru dalam Layanan Bimbingan di kelas
Rochman Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) mengemukakan beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam proses belajar-mengajar sesuai dengan fungsinya dan pembimbing, yaitu :
a)      Perlakuan terhdap siswa didasarkan atas keyakinan bahwa sebagai individu, siswa memiliki potensi untuk dikembangkan dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk madiri.
b)      Sikap yang positif dan wajar terhadap siswa
c)      Pemahaman siswa secara empatik
d)     Penerimaan siswa apa adanya
e)      Penghargaan terhadap martabat siswa sebagai individu

Abu Ahmadi (1977) mengemukakan peran guru sebagai pembimbing dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, sebagai berikut :
a)      Menyediakan kondisi dan kesempatan bagi setiap siswa untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
b)      Membantu memilih jabatan yang cocok, sesuai dengan bakat, kemampuan dan minatnya.
c)      Mengusahakan siswa-siswa agar dapat memahami dirinya, kecakapan-kecakapan sikap, minat, dan pembawaannya.
d)     Mengembangkan sikap-sikap dasar bagi tingkah laku sosial yang baik.
            Di samping tugas-tugas tersebut, guru juga dapat melakukan tugas bimbingan dalam proses pembelajaran seperti berikut :
a)      Melaksanakan kegiatan diagnostic kesulitan belajar.
b)      Memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan dan kewenangannya kepada murid dalam memecahkan masalah pribadi.

b.      Tugas Guru dalam Operasional Bimbingan di Luar Kelas
      Tugas-tugas guru dalam layanan bimbingan di luar kelas antara lain :
a)      Memberikan pengajaran perbaikan (remedial teaching)
b)      Memberikan pengayaan dan pengembangan bakat siswa
c)      Melakukan kunjungan rumah (home visit)
d)     Menyelenggarakan kelompok belajar

C.    Kerjasama Guru dengan Konselor dalam Layanan Bimbingan
      Dalam kegiatan-kegiatan belajar-mengajar sangat diperlukan adanya kerja sama antara guru dengan konselor demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Rochman Natawidjaja dan Moh. Surya (1985) mengutip pendapat Miller yang mengatakan bahwa :
a)      Proses belajar menjadi sangat efektif, apabila bahan yang dipelajari dikaitkan langsung dengan tujuan-tujuan pribadi siswa.
b)      Guru yang memahami siswa dan masalah-masalah yang dihadapinya, lebih peka terhadap hal-hal yang dapat memperlancar dan mengganggu kelancaran kelas.
c)      Guru dapat memperhatikan perkembangan masalah atau kesulitan siswa secara lebih nyata.
            Guru juga mempunyai beberapa keterbatasan. Menurut Koestoer Partowisastro (1982) keterbatasan-keterbatasan guru tersebut antara lain :
a)      Guru tidak mungkin lagi menangani masalah-masalah siswa yang bermacam-macam, karena guru tidak terlatih untuk melaksanakan tugas  itu.
b)      Guru sendiri sudah berat tugas mengajarnya, sehingga tidak mungkin lagi di tambah tugas yang banyak untuk memecahkan masalah-masalah siswa.














BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            program bimbingan dan konseling adalah suatu program yang memberikan layanan khusus yang dimaksudkan untuk membentu individu dalam mengadakan penyesuaian diri. Bimbingan dan konseling dilakukan secara bersam dengan personel sekolah yang sudah mempunyai peran masing-masing dalam melaksanakan program bimbingan dan konseling.
            Untuk dapat menyukseskan misi bimbingan dan konseling diperlukan program yang komprehensif dan mantap. Oleh karena itu, program bimbingan dan konseling setiap jenjang pendidikan berbeda satu sama lain sesuai denagn masalah yang di hadapi siswa masing-masing.
            Guru mempunyai peranan yang amat penting dalam pelaksanaan bimbingan di sekolah. Hal ini di sebabkan oleh posisi guru yang memungkinkan lebih dekat dengan siswa, oleh karenanya, guru dapat memerankan bimbingan kepada siswa baik di dalam maupun di luar kelas.

B.     Saran-Saran
a)      Konselor
b)      Guru-guru
c)      Siswa






DAFTAR PUSTAKA


Soetjipto, dkk. 2009. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta
Sukardi, Ketut Dewa. 2008. Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta
Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Bandung: Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Universitas Pendidikan Indonesia
Ahmadi, Abu. 1977. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Semarang: Toha Putra
Mu’awanah, Elfi. 2009. Bimbingan Konseling Islami di Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara
Juntika Nurihsan, Achmad. 2004. Manajemen Bimbingan dan Konseling di SMP. Jakarta: Grasindo